Kenyataan Buruk Tentang Ardo

2191 Words
Silla masih ragu, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Benar dia memang penasaran ingin melihat apa yang sedang dilakukan suaminya dengan dua wanita tadi, tapi di sisi lain dia juga tak sanggup jika harus melihat langsung suaminya bercinta dengan wanita lain di saat pria itu tak pernah menyentuhnya sejak mereka menikah. “Aku pasti bisa. Aku harus tahu apa yang Kak Ardo lakukan di dalam kamar ini.” Hingga Silla pun sudah yakin dengan tekadnya itu. Tangan kanannya terulur menuju kenop pintu, bergetar karena sungguh dia gugup bukan main. Hingga akhirnya dia benar-benar memberanikan diri membuka pintu tersebut. Namun, ada sesuatu yang aneh ketika Silla membuka pintu karena tak seperti yang dia duga sebelumnya bahwa dia akan melihat Ardo sedang bersama dua wanita tadi di atas ranjang, yang Silla lihat sekarang justru ranjang dalam kondisi kosong. Tak ada siapa pun yang menempatinya, bahkan tak terlihat ada tanda-tanda orang pernah berbaring di ranjang yang masih terlihat rapi itu. Silla heran bukan main, padahal dia yakin tak salah memasuki kamar. Dia memang masuk ke kamar nomor satu yang dikatakan sang resepsionis. “Jangan-jangan resepsionis itu berbohong padaku. Bukan kamar ini yang ditempati Kak Ardo dan dua wanita tadi.” Silla berpikir demikian, tapi dia tetap ingin memastikannya. Silla pun masuk ke dalam kamar yang tampak sepi itu, dan di detik berikutnya Silla memekik kaget tatkala tangannya tiba-tiba ditarik seseorang dari belakangnya. Silla pun berbalik badan dan menemukan Ardo pelakunya. Ternyata pria itu ada di kamar tersebut, tapi dia bersembunyi di balik pintu dan menangkap Silla ketika wanita itu sudah masuk ke kamar seolah dia sudah tahu Silla akan masuk ke kamar tersebut. Silla semakin memekik histeris ketika tubuhnya didorong oleh Ardo hingga punggungnya membentur dinding. “Sakit, Kak,” ringis Silla yang memang kesakitan. Ardo menekan tubuhnya begitu kuat pada dinding, kedua tangan wanita itu pun dicengkeramnya dengan erat. “Sakit? Salah sendiri kamu berani membuntuti aku. Aku baru tahu ternyata kamu seorang penguntit. Apa sebenarnya maumu, hah?!” Ardo membentak keras, Silla semakin meringis kesakitan karena alih-alih melepaskannya, Ardo justru semakin menekannya kuat ke dinding dan semakin erat mencengkeram kedua tangannya. “Kamu pikir aku tidak tahu kamu mengikutiku sejak aku keluar dari apartemen? Aku tahu mobilmu terus mengikutiku di belakang.” “Kalau Kak Ardo tahu aku membuntuti ke sini, berarti tadi Kak Ardo tahu waktu ada pria mabuk yang menggangguku?” Silla menanyakan ini karena dia ingat betul saat dirinya diganggu pria mabuk tadi Ardo sama sekali tak menolongnya. “Ya, tentu saja aku tahu. Kamu menimbulkan keributan di kelab ini.” Silla merasakan hatinya sakit luar biasa mendengar jawaban Ardo ini. “Kalau Kakak tahu kenapa tidak menolongku? Padahal istrimu ini ada pria lain yang mengganggu?” “Huh, salahmu sendiri datang ke tempat seperti ini. Memang wajar banyak orang mabuk di tempat seperti ini. Jadi, apa pun yang menimpamu di sini sepenuhnya salahmu karena kamu datang ke sini.” “Aku datang ke kelab ini karena Kak Ardo datang ke sini.” “Siapa yang menyuruhmu mengikutiku?!” Ardo kembali membentak. “Aku sudah bilang padamu sejak awal, jangan ikut campur urusanku. Kita jalani saja hidup masing-masing.” “Aku tidak bisa seperti itu, Kak!” Kali ini Silla pun ikut meninggikan suaranya. “Aku tidak bisa pura-pura tak peduli ketika melihat suamiku sendiri pergi bersama wanita lain. Aku tidak sanggup melihatnya, Kak.” Kedua mata Ardo memicing tajam. “Tidak sanggup melihatnya kamu bilang?” Dia pun mendengus keras. “Jangan bicara seolah kamu mencintaiku.” Silla sudah membuka mulut, berniat mengatakan dia memang mencintai Ardo. Tak akan dia tutupi perasaannya itu. “Karena aku tahu itu mustahil mengingat kita belum lama bertemu dan saling mengenal. Kalau bukan karena perjodohan, kita tidak mungkin menikah seperti ini. Jadi mustahil kamu mencintaiku.” Silla pun kembali mengatupkan mulut, mengurungkan niatnya untuk mengakui perasaan cintanya karena Ardo yang tak memberinya kesempatan untuk bicara. “Di restoran ketika kita bertemu untuk pertama kali, aku sudah mengatakan rumah tangga kita tidak akan seperti pasangan lain, kenapa sekarang kamu jadi seperti terganggu melihatku bersama wanita lain?” Silla yang sedang menundukan kepala itu pun seketika mengangkat kepala. “Aku memang terganggu melihatnya.” Ardo mendengus. “Kenapa terganggu? Toh aku tidak merugikanmu, kan? Jika kamu ingin, kamu juga bebas pergi dengan pria lain. Aku sama sekali tidak keberatan.” Silla tertegun mendengar perkataan Ardo yang begitu menyakiti hatinya. Ternyata pria itu memang tak memiliki perasaan cinta sedikit pun untuknya. “Kita sudah sepakat akan menjalani hidup masing-masing, jangan ikut campur urusan masing-masing. Aku sudah mengatakannya dengan jelas, bukan? Jadi kenapa sekarang sikapmu jadi berbeda?” “Aku sudah bilang tidak sanggup jika tidak peduli melihat suamiku sendiri berselingkuh di belakangku. Aku tidak bisa, Kak.” Suara dengusan Ardo mengalun keras. “Kalau begitu seharusnya kamu tidak menikah denganku. Aku sudah memberimu pilihan untuk menolak pernikahan kita waktu itu. Kenapa kamu bersikeras tetap menikah denganku?” Silla rasanya ingin menjawab dia bersikeras menikah dengan Ardo karena hatinya tak memungkiri dia jatuh cinta pada pria itu. Perasaan cinta yang sudah tumbuh sejak dia masih remaja. Siapa yang akan menolak ketika pria yang akan menjadi suaminya tidak lain merupakan cinta pertamanya yang tak pernah bisa Silla lupakan hingga wanita itu bahkan tak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun. Silla juga selalu menolak setiap pria yang mencoba mendekatinya. Tak terhitung banyaknya pria yang mengajaknya berpacaran tapi Silla selalu menolaknya dan itu terjadi karena di hatinya hanya ada Ardo seorang, walau dia tak yakin akan kembali dipertemukan dengan pria itu, siapa sangka dia justru dijodohkan. Dengannya. Wanita mana pun jika berada di posisi Silla pasti tidak mungkin menolak perjodohan itu, bukan? “Aku menerima perjodohan kita karena tidak bisa menolak permintaan Tante Lidya.” Namun, tentu saja Silla tak mungkin mengakui perasaan cintanya di saat dia tahu Ardo tak memiliki perasaan yang sama dengannya. “Huh, aku juga sama denganmu. Aku bersedia menikah denganmu karena tidak bisa menolak permintaan ibuku yang sedang sakit. Kita memiliki alasan yang sama makanya sampai terjadi pernikahan ini, jadi apa yang perlu dipermasalahkan? Seharusnya bagus kan karena kita masih bisa hidup bebas meski sudah terikat pernikahan?” Silla menggelengkan kepala tak setuju pemikiran Ardo tersebut. “Tidak bisa begitu, Kak. Walau kita menikah karena didasari perjodohan, tapi kita yang sudah resmi menjadi suami istri tidak bisa dipungkiri. Kita setidaknya harus menjaga nama baik masing-masing. Aku akan menjaga nama baik Kak Ardo sebagai suamiku, aku harap Kak Ardo pun demikian, tolong jaga nama baikku, Kak. Apa kata orang-orang jika mereka mengetahui Kak Ardo sering mabuk-mabukan dan main dengan wanita lain di tempat ini padahal sudah memiliki istri?” Ardo tersenyum miring, terlihat jelas dia tak tertarik mengabulkan permintaan Silla tersebut. “Tidak pernah ada kesepakatan seperti ini di antara kita berdua sebelum pernikahan berlangsung. Karena itu, sekarang kamu terima saja resiko menjadi istriku. Jika kamu masih keberatan melihat gaya hidupku yang seperti ini, aku tidak akan menolak jika kamu ingin meminta cerai dariku.” Silla melebarkan mata, terkejut bukan main. Tak menyangka begitu mudah Ardo mengumbar tentang perceraian di saat usia pernikahan mereka baru beberapa hari. “Lagi pula aku tidak bermain dengan wanita lain kok.” Silla mengerutkan kening. “Apa? Jadi Kak Ardo tidak mau mengakui tadi bermesraan dengan dua wanita di tempat ini? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Kak. Bahkan mungkin kedua wanita itu masih ada di kamar ini. Kakak sengaja menyembunyikannya, kan?” Ardo tertawa, mencemooh ucapan Silla secara terang-terangan. “Kamu seenaknya menuduhku. Mana mungkin aku menyembunyikan wanita di kamar ini.” “Aku melihatnya sendiri, Kak, tadi Kakak bermesraan dengan dua w*************a yang mungkin sudah Kak Ardo bayar untuk melayani Kakak di sini. Lagi pula untuk apa Kak Ardo memesan kamar ini jika bukan untuk melakukan tindakan tak senonoh dengan dua wanita tadi?” Ardo melepaskan cengkeramannya pada kedua tangan Silla, pria itu juga menjauh dari tubuh wanita itu sehingga Silla kini bisa bergerak dengan bebas. Silla mengusap-usap tangannya yang terasa berdenyut sakit karena cengkeraman Ardo yang terlalu kuat. “Silakan kamu buktikan sendiri apa aku menyembunyikan wanita di kamar ini. Aku memesan kamar ini karena ingin istirahat. Aku tadi minum cukup banyak, aku tidak berani mengendarai mobil jika kondisiku begini.” “Kak Ardo bohong. Aku melihat sendiri dengan mataku ada dua wanita yang terus menempel pada Kak Ardo.” “Kalau begitu silakan cari mereka, buktikan sendiri apa pemikiranmu itu benar.” Silla terdiam beberapa detik, sebelum kedua kakinya melangkah, melakukan seperti yang Ardo minta yaitu mencari keberadaan dua wanita tadi yang mungkin memang disembunyikan Ardo di kamar itu. Silla memeriksa kamar mandi, tapi tak ada siapa pun di sana. Tak ada pula tanda-tanda kamar mandi itu sudah digunakan. Belum puas memeriksa kamar mandi, Silla memeriksa ke dalam lemari, bahkan bawah tempat tidur pun ikut dia periksa. Tak lupa di balkon dan balik tirai pun ikut Silla periksa dan hasilnya adalah nihil. Dia tak menemukan kedua wanita itu di mana pun. “Bagaimana? Apa kamu menemukan kedua wanita yang kamu maksud tadi?” tanya Ardo yang sudah merebahkan diri di kasur, dia terlentang sambil menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. “Kak Ardo pasti menyuruh kedua wanita itu pergi karena tahu aku mengikuti Kakak, kan?” Ardo berdecak. “Terserah kamu mau berpikir apa. Hanya saja perlu kamu ketahui, jika aku ingin, aku tidak peduli meskipun kamu mengikutiku dan akan memergokiku, aku akan tetap bermain dengan wanita mana pun yang aku inginkan.” Silla meringis, merasa tersinggung mendengar ucapan Ardo di saat ada dirinya di samping pria itu yang siap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Untuk apa Ardo mencari kesenangan dengan wanita lain? Silla semakin merasa dirinya memang tak dianggap istri oleh pria itu. “Jika sudah puas mencari kedua wanita yang kamu maksud tadi, lebih baik kamu pulang saja sekarang,” ucap Ardo seraya menunjuk pintu keluar dengan dagunya. “Keberadaanmu di sini hanya menggangguku. Pulang sana, aku ingin tidur.” “Kak Ardo pulang saja bersamaku ke apartemen. Kakak bisa menumpang di mobilku.” Silla mencoba berbaik hati menawarkan demikian. Namun, dengan tegas Ardo menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku akan menginap di sini malam ini. Lagi pula tidur di sini lebih menyenangkan daripada tidur di apartemen yang sudah tak senyaman dulu lagi.” Silla mengepalkan tangan karena tidak secara langsung Ardo mengatakan bahwa keberadaannya di apartemen membuat pria itu tak merasa nyaman dan lebih memilih beristirahat di tempat lain. “Kenapa masih berdiri di sana? Apa perlu aku menelepon security untuk menyeretmu pergi?” Silla tak meragukan lagi Ardo memang tak sedikit pun menghargainya sebagai seorang istri. Tak tahan lagi dengan semua sikap kasar dan ucapan Ardo yang menyakitkan, Silla pun memilih melangkah pergi, dia tinggalkan Ardo yang tak peduli dengannya dan justru mulai memejamkan matanya. *** Sudah hampir 30 menit Silla duduk di café itu, tapi dia sama sekali tak fokus. Sejak tadi hanya memainkan es kopi pesanannya dengan mengadu-aduknya alih-alih meminumnya. Bahkan lawan bicaranya pun tak dia pedulikan. Tasya yang sejak tadi mengajaknya bicara sambil melihat-lihat majalah fashion, tak dia tanggapi sedikit pun. “Bagus kan ya gaun ini, Sil? Rencananya aku mau beli gaun ini untuk dipakai di acara ulang tahun pacarku,” ucap Tasya, untuk kesekian kalinya mengajak Silla berbicara. Tadi Tasya memang tak mempermasalahkan kediaman Silla karena dia sedang fokus melihat-lihat gaun yang akan dia beli, tapi kini berbeda, Tasya merasa heran dengan Silla yang tak mengatakan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaannya barusan. “Hei, Silla.” Silla tersentak kaget karena Tasya yang menggebrak meja dengan kencang. “Isssh, kamu kenapa sih, Tas?” “Kamu yang kenapa dari tadi melamun terus aku perhatikan? Itu kopi pesanan kamu bukannya diminum malah diaduk-aduk begitu. Kamu kenapa, hm? Aku bertanya pendapatmu tentang gaun juga, kamu malah diam saja.” Silla menghela napas panjang. “Aku sedang bingung, Tas.” “Bingung kenapa?” “Bingung dengan suamiku.” “Ardo? Memangnya kenapa dengan dia?” Silla awalnya tak ingin menceritakan tentang rumah tangganya pada siapa pun termasuk Tasya, tapi kini dia sadar membutuhkan seseorang untuk menjadi tempatnya berkeluh kesah. “Ada apa, Sil? Ceritakan padaku kalau kamu ada masalah dengan suamimu itu.” Silla pun akhirnya menceritakan semuanya, tentang Ardo yang berbohong karena sebenarnya dia tak pernah bersikap romantis di saat sedang berduaan dengannya. Atau tentang Ardo yang tidak menganggapnya sebagai seorang istri. Kebiasaan buruk pria itu yang sering datang ke kelab, minum-minuman keras dan bermesraan dengan wanita lain ikut dia ceritakan pada Tasya. “Huh, sudah kuduga pernikahanmu dengan Ardo tidak akan berjalan lancar.” Silla mengernyitkan kening. “Memangnya kenapa kamu berpikir begitu, Tas?” “Karena aku tahu kebusukan Ardo.” “Kebusukan Kak Ardo? Maksudnya?” “Kamu yakin ingin tahu, Sil?” Tanpa ragu Silla menganggukan kepala karena walau mungkin akan menyakitkan, dia tetap ingin mengetahui semua hal tentang suaminya yang tidak dia ketahui. “Reputasi Ardo sebenarnya sudah dikenal cukup buruk oleh banyak orang. Dia dikenal seorang playboy yang sering gonta ganti pasangan. Dan apa kamu tahu dia menjalin hubungan dengan sekretarisnya sendiri? Mungkin saja dia masih menjalin hubungan dengan sekretarisnya itu walau sudah menikah denganmu.” Detik itu juga Silla melebarkan mata, terkejut bukan main karena kabar itu baru dia dengar sekarang. Benarkah Ardo seburuk itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD