ADELL
-----------
Tertegun di tengah ruangan yang sangat familiar ini, aku mengamati sekeliling dengan kerinduan yang membuncah. Jika saja tidak ada pria itu di sini, mungkin diriku sudah tergugu menangis sekarang, karena perasaan bahagia yang tidak terkendali.
"Selamat datang di ruang utama," ujarnya membuatku kembali ke alam nyata.
Terpaksa aku tersenyum saat pandangan kami bertemu.
"Mari," ajaknya, menuju tangga lebar yang berada di seberang ruangan. "Di sini biasanya saya mengadakan perjamuan penting atau sekedar bertemu tamu," jelasnya yang kubalas dengan anggukan kepala, saat kami berdua berjalan bersisian membelah ruangan besar ini.
Dulu, di sisi sebelah kanan ruangan terdapat perapian yang hangat. Di sana aku sering menghabiskan waktu dengan membaca buku dari perpustakaan mini. Sekarang ruang utama ini terlihat kaku, perapian itu masih ada, tapi perpustakaan mini itu telah digantikan oleh bar yang pada bagian belakangnya ditempatkan lemari kaca untuk memajang beberapa minuman.
Menoleh ke sisi kiri ruangan, terdapat satu meja kerja dengan kursi yang agak besar berlapis kulit. Mungkin dia banyak menghabiskan waktunya di sini. Ada berbagai tumpukan kertas dan sebuah lemari kayu di sebelah meja itu, mungin untuk menyimpan arsip dan sebagainya.
Lucas mulai menaiki anak tangga. "Anda bisa melihat-lihat nanti, sebaiknya kita bergegas sekarang. Saya masih ada sedikit urusan yang harus diselesaikan malam ini juga," ujarnya.
"Oh, maafkan saya, Sir. Saya, saya hanya tertarik pada penataan ruangan manor Anda,"jawabku merasa bersalah.
"Its okey, mari," ajaknya sopan.
Jika dia bersikap lembut seperti ini, seolah menjadi orang yang berbeda. Tidak seperti saat awal kami bertemu, cenderung arogan dan temperamental. Atau mungkin ini hanyalah ketenangan sesaat sebelum badai? Bisa saja, tapi tetap saja harus waspada, mengingat perlakuannya yang menegaskan bahwa pelanggaran yang kulakukan layak dihukum berat.
Tangga lebar yang kami naiki ini setengah berputar untuk sampai di atas dengan ujung yang terpecah menjadi belokan ke sisi kiri dan kanan. Lucas mengambil arah ke koridor di sisi kiri. Dari sini aku bisa melihat setengah ruangan di bawah, karena memang lantai dua ini tidak tertutup sepenuhnya. Terdapat railing yang memagari koridor setengah terbuka, sehingga kita bisa mengamati ruangan utama di bawah.
Satu pintu ruangan sudah kami lewati, hingga akhirnya Lucas berhenti di pintu kedua, masih ada satu pintu lagindi ujung koridor. "Ini kamar Anda, Nona. Selamat beristirahat. Akan kuperintahkan seorang pelayan kemari untuk menemani Anda."
"Terima kasih, Tuan. Tidak perlu repot, saya bisa mengatasinya sendiri," jawabku.
"Kalau begitu, saya mohon diri. Selamat beristirahat," ujarnya lantas buru-buru berbalik.
Aku memutar handle pintu. Namun terkunci. Kucoba sekali lagi, masih juga tidak mau terbuka. "Em, Sir Kingstone!" panggilku, mumpung dia belum jauh, masih berada di ambang tangga.
"Iya, Miss?"
"Pintunya macet," ujarku.
"Oh." Dia kembali naik dan berjalan mendekat.
Aku bergeser memberinya ruang untuk membuka pintu. Diukurkannya tangan untuk memutar kenop itu. Dengan satu gerakan, terdengar suara kunci terbuka. "Ceklek!"
Aku terbelalak. "Eh, tadi benar-benar tidak bisa dibuka. Aku yakin!" ujarku membela diri, takut dia menyangka kalau aku hanya mengada-ada.
Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman yang mirip seringai. "Jangan katakan ini hanya akal-akalan Anda untuk menahanku pergi, Nona."
"Saya, saya—"
Masih menatapku, dia membuka daun pintu kamar lebar-lebar lantas melangkah masuk.
Aku mematung di tempat, memandangi kamar bernuansa biru langit yang dimasuki pria berpostur tinggi itu.
Dia berjalan melewati sebuah tempat tidur berukuran Queen menuju jendela besar, di seberang ruangan. Usai menyibakkan tirai tipisnya, kemudian daun jendela ganda yang besarnya hampir setinggi tubuhku itu dibuka.
"Dari jendela ini Anda bisa melihatku di ruangan sebelah sana," ujarnya.
Aku bergeming, bingung memberikan respon pada penjelasannya.
"Aku akan menemui Anda nanti, Nona, untuk menyelesaikan urusan kita. Sekarang, biarkan aku pergi untuk menyelesaikan urusan lain. Permisi," pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban, dia pergi begitu saja, meninggalkan aku dalam kekeluan lidah. Sama sekali tidak bisa membantah satu pun perkataan yang dilontarkan olehnya.
Buru-buru aku masuk kamar dan membanting pintu. "Arrrrggggghhh!" teriakku frustasi, begitu bisa bersuara. Kuhempaskan tubuh di kasur dalam posisi tertelungkup. Masih dalam posisi yang sama aku berteriak ke dalam bantal meluapkan emosi. Rasanya benar-benar menjengkelkan!
Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu! Benar-benar menjatuhkan harga diriku. Dikiranya dia siapa? b******k! Aku bangun lalu memukul guling dengan tinju bertubi-tubi, membayangkan kalau guling itu adalah Lucas. Namun, rasa kesal itu belum hilang juga, sampai akhirnya kulempar guling itu ke lantai.
Belum puas meluapkan kemarahan, tanganku merenggut kasar rambut palsu di kepala, lantas melemparkannya sembarangan. Setelah itu aku menjatuhkan tubuh ke belakang, dan menendang-nendang ke segala arah, persis balita yang sedang tantrum. Malu, kesal, marah, sedih, sebal, semuanya bercampur aduk di dalam dadaku sampai sesak rasanya. Lantas tanganku meraih bantal dan menutupkannya ke muka.
"Aaaarrrrrrrrrg!" teriakku sekali lagi, lagi, dan lagi sampai rasanya kerongkongan teriritasi. Puas melakukannya, diriku pun tergeletak kehabisan energi. Dadaku naik turun mengatur napas, sementara dari sudut mata keluar air yang sedari tadi mendesak untuk mengalir.
Kubiarkan saja meleleh sesukanya.
Seluruh peristiwa hari ini kembali berkelebat, seolah memori itu sengaja menunjukkan kesialan demi kesialan yang terjadi. Namun di satu titik, aku menyadari sesuatu. Bahwa misi untuk kembali mengenang masa lalu sekaligus mengungkap misterinya, kini telah mendapat jalan. Walau memang sama sekali tidak sesuai rencana, tapi paling tidak aku sudah di sini, di rumah lamaku.
Aku tersenyum simpul. Mengesampingkan masalah dengan Lucas, ini adalah satu progress yang cukup bagus. Paling tidak, selama sebulan aku mendapat akses penuh untuk menjelajahi Manor tanpa dicurigai. Pun juga sekaligus menghindari dari acara debut yang diatur oleh paman. Seperti mendapat suntikan semangat baru, aku bangkit dan duduk.
Sialnya dalam posisi ini, aku langsung menghadap cermin rias. Rambut merah yang setengah terlepas sanggulnya, baju berantakan dan kusut, juga muka sembab dan hidung merah. Melihat pantulan diriku yang awut-awutan di sana, aku tersenyum geli sembari menghapus sisa air mata. Parah, benar-benar parah, mirip orang sakit jiwa. Hahahaha!
Suara ketukan di pintu membuatku terlonjak.
"Nona, bolehkah kami masuk?" tanya seorang wanita dari balik pintu.
"Siapa?" Duh, ada saja orang yang menggangu di saat seperti ini.
"Pelayan Anda Nona," jawabnya lagi.
"Masuk saja, tidak dikunci!" teriakku.
Perlahan terdengar suara knop pintu diputar dan membuka. Sorang wanita setengah baya bergaun hitam dan bercelemek putih masuk ke dalam kamar. Di tangannya terdapat kain berwarna marun yabg terlipat rapi.
"Good afternoon my Lady. Perkenalkan, nama saya Ines ditugaskan Sir Kingstone khusus untuk melayani Anda," katanya, seraya meletakkan bawaannya di atas meja rias.
"Hai Ines. Sepertinya aku belum membutuhkan apa pun sekarang, kau boleh pergi," usirku halus.
"Tapi, saya diperintahkan untuk menemani Anda. Tuan ingin Anda membersihkan diri dan bersiap-siap untuk minum teh sore," katanya lagi sembari jalan mendekat.
Aku menatapnya lurus-lurus. "Bilang pada Tuanmu, aku tidak mau! Dan jika aku tidak mau tidak ada seorang pun yang bisa memaksaku, jelas?" kataku dengan anda agak tinggi.
Memang dipikirnya siapa dia? Mengatur-atur seenak jidat!
"Tapi, Nona—"
"Apakah perkataanku kurang jelas?" Segera aku turun dari tempat tidur. Lalu melangkah lebar-lebar ke hadapan perempuan setengah baya itu. Kupegangi lengan atasnya, lantas membalikkan badannya menuju pintu.
"Nona, kumohon—"
Aku setengah mendorongnya berjalan menuju pintu. Setelah dia berada di luar kamar, "Sampaikan salamku, selamat sore!"
Kututup daun pintu itu segera, sebelum pelayan itu menjawab. Lalu buru-buru kugeser gerendel untuk menguncinya dari dalam.
"Nona! Nona!" Wanita itu masih memanggil sambil menggedor pintu.
"Tinggalkan aku sendiri!" balasku dengan teriakan nyaring.
Huh! Pelayan dan tuannya sama saja, tidak menghormati privasiku.
Ines masih memanggil sembari mengetuk pintu saat aku kembali berjalan ke kasur. Kuhempaskan tubuh di sana, lantas menutup telinga dengan bantal.
Acara minum teh? Bodo amat!