=LUCAS=
.
.
Rembrandt sepertinya memang memiliki otak kiri yang luar biasa. Hasil kelihaian tangannya sungguh mengagumkan—karya tiga dimensi yang mirip objek asli. Menurut sejarah yang k****a, dia mampu menghasilkan berbagai ekspresi wajah dengan ketelitian dan ketepatan komposisi warna dalam impasto awal yang sungguh luar biasa. Walau berusaha mengikuti alirannya sedikit membuatku frustasi, tapi makin sering menggoreskan cat, membuatku hanyut dalam kesenangan. Melukis adalah satu caraku untuk membuang frustasi, melepaskan emosi terpendam yang tidak pernah bisa kuungkapkan pada siapa pun.
Melegakan? Tidak selalu!
Seperti saat ini, membuat satu lukisan potret Marry Ann justru malah membuatku frustrasi. Entah kenapa, wajahnya yang tersenyum di benakku, lama kelamaan terlihat memudar. Aku tahu dia masih di sana, tapi seperti sudah melebur menjadi atmosfer tak kasat mata. Dia ada tapi makin tak terlihat, seperti telah menyatu menjadi bagian diriku, tapi tidak lagi berwujud.
I miss you, my dear ....
Kuoleskan satu sapuan pisau palet dengan warna campuran cokelat tanah dan kuning gading. Berharap bisa memetakan wajahnya dengan sempurna seperti biasa. Namun, yang terjadi malah warna kuning itu membuatku teringat pada perempuan lain. Gadis liar yang sama sekali tidak terlihat menaruh rasa takut padaku.
Shit! Pisau paletku terjatuh.
Saat membungkuk , tanpa sengaja siku tanganku menyenggol meja tempat cat. Tak ayal lagi botol-botol itu bergelimpangan, juga kuas-kuas beraneka bentuk.
"Arrrrrrrgghh!" teriakku frustrasi.
Kulepas apron melukis, menghempaskannya ke lantai, lalu melangkah ke luar balkon. Angin yang berembus sedikit membuat emosiku menguap. Kusisir rambut dengan jari, lantas menumpukan tangan di railing balkon. Ketenangan batinku benar-benar terusik akhir-akhir ini. Tekanan dari Regina, bisnis jual beli tanah yang makin ketat, juga kesepian yang melingkupi tiap aku pulang ke rumah, semakin membuatku merasa hampa.
Sepertinya, cuaca yang masuk ke musim panas memang membawa pengaruh besar bagiku. Seasonal affective disorder (SAD), kata Ruly—terapis yang membantuku melewati masa depresi sepeninggal Marry Ann—adalah jenis depresi ringan yang harus kuhadapi tiap masuk musim panas. Mungkin sudah saatnya aku menemuinya lagi, setelah sekian lama.
Segera saja aku masuk, lantas menuju ruangan di sebelah gallery. Aku akan menghubunginya untuk membuat janji.
"Ruly speaking, what can I do for you?" jawab di seberang, begitu nada sambung kedua berbunyi.
"Its me, Lucas."
"Hello, there. Bagaimana kabarmu? Kuharap kau menelepon karena hanya ingin bicara ringan," katanya.
Aku bersandar di sandaran kursi, melepas embusan napas berat. "Aku merasa frustrasi lagi."
"Oke, teruskan."
"Menjelang musim panas, seperti biasa, rasanya semua seperti mimpi buruk. Insomnia," aku berhenti untuk menarik napas sejenak,"lalu, kualihkan dengan mengunjungi makam Marry Ann. Tapi, kenapa perasaanku seperti tumpul, kebas. Sudah tidak ada rasa sakit dan sedih itu lagi, ternyata lebih menakutkan, aku mati rasa, hampa."
"I see. Bagaimana pekerjaanmu?"
"Itulah, Ruly. Jual beli tanah sudah ditangani anak buahku. Permintaan untuk pembukaan lahan pun tidak terlalu banyak. Sehingga aku sekarang bingung harus melakukan apa," jawabku frustrasi.
"Kau masih melukis?"
"Iya, dan hasilnya makin kacau. Rasanya aku seperti robot, melakukan rutinitas yang membosankan berulang-ulang," rutukku.
"Hmm, cobalah berlibur Lucas. Lakukan kegiatan yang baru. Musim panas bukankah sangat cocok untuk kegiatan outdoor? Dibanding kau berkutat dengan surat-surat kepemilikan tanah dan menghitung rugi laba. Kekayaanmu tidak akan habis oleh tujuh turunan!" kelakarnya, lantas dia tertawa.
"Yah, itu juga jadi masalah. Regina mengirim Avindale untuk memaksaku mencari istri lagi. Tapi ...." Sengaja kugantung kalimat itu.
"We need a deep talk about it. Aku free hari Senin depan. Bagaimana?" ujarnya menawarkan.
"Oke, makan siang lanjut minum teh sore Senin depan, kalau begitu?" timpalku.
"Sempurna, tapi kenapa kedengarannya seperti kencan ya? Hahahahah." Tawa renyahnya memancingku untuk ikut tertawa.
"Yah, anggap saja begitu. Kecuali memang sesi terapi seperti itu tidak kauanjurkan."
"Aku hanya bercanda, Lucas. Kau tahu kan, aku sangat profesional? Tidak boleh mencampur adukkan antara pekerjaan dan urusan pribadi."
Kalimat yang selalu dia ulang dengan serius saat aku mulai menggodanya. Entahlah, mungkin karena Rully sangat menyenangkan, menggodanya adalah satu kesenangan tersendiri.
"Oke-oke Dok! Aku tidak akan mengganggumu lagi. Sampai jumpa Senin depan," tukasku.
"Baguslah kalau begitu. Untuk sementara ini, coba lakukan sesuatu yang baru, make some fun. Sampai ketemu Senin depan."
Aku menutup telepon dengan perasaan lega. Setidaknya bisa mengurangi 'kebas' yang kurasakan, Rully memang selalu bisa membuatku tersenyum. Seharusnya dia tidak perlu menjadi ahli jiwa, cukup menjadi pelawak saja, hahahaha.
Suara langkah tergesa terdengar mendekat. "Sir Lucas, ternyata Anda di sini." Ines mendekat dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa?"
"Nona, maksudku tamu Anda mengusirku. Dia tidak mau menghadiri jamuan teh sore ini, bahkan mengunci pintu kamar dari dalam," lapornya dengan napas masih terengah-engah.
Aku sedikit terkejut mendengar laporannya. "Oh ya?"
"Iya, Sir. Awalnya dia membolehkan ku masuk saat mengantarkan gaun untuk ganti. Tapi, begitu kukatakan Anda mengundangnya untuk minum teh, dia langsung marah-marah dan mengusirku. Sudah kuketuk pintunya berkali-kali tapi tidak ada sahutan," jelasnya.
"Hmm." Menarik! Mungkin benar kata Avindale, dia keras kepala dan sedikit menyulitkan. Tapi, aku butuh dia untuk menjadi tamengku terhadap Regina. Mungkin jika tahu aku mengundangnya bicara baik-baik untuk melakukan kesepakatan, dia pasti tidak akan menolak tawaranku.
"Baiklah, terimakasih Ines. Urus saja acara minum teh sorenya. Biar aku yang bicara padanya," jawabku.
"Baik, Sir. Maafkan saya."
"Never mind." Setelah mengatakan itu, aku keluar ruangan dan berjalan menuju bagian depan manor. Aku tidak tergesa-gesa, toh dia tidak akan ke mana-mana.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, kuketuk tiga kali.
Senyap. Tidak ada jawaban.
"Miss Leverton! Buka pintunya!" teriakku sambil terus mengetuknya.
Masih sama, tidak terdengar sahutan.
"Buka pintunya, Miss Leverton!" teriakku lagi. Tidak mungkin dia tidak mendengar. Bahkan pelayan pribadiku saja datang menghambur.
"Ada apa Sir?" tanya Richard.
"Ini, tamu kita mengunci diri di dalam. Dari tadi kugedor dia tidak menjawab." Jujur saja aku jadi agak khawatir. Gadis seumuran dia masih labil, memang. Apa mungkin nekat kabur lewat jendela?
"Oh, apa perlu kuambilkan kunci duplikat Sir?"
"Dia menggunakan gerendel, bukan kunci putar," jelasku.
"Kita dobrak?" tanyanya lagi.
"Aku punya ide lebih baik," jawabku.
Richard hanya mengangguk dan mengikuti saat aku masuk kamar sebelah. Ya, aku kan coba masuk lewat balkon, karena Selasar tiga kamar atas yang berderet ini memang menyatu. Hanya perlu melompati penyekat railing yang setinggi d**a. Kebetulan kamar yang ditempati Miss Leverton ada di tengah.
"Biar aku saja," cegahku saat dia hendak naik railing. Richard lima belas tahun lebih tua dariku, sangat tidak pantas jika harus membiarkannya memanjat.
"Tapi, Sir?"
"Sudah, tunggu saja aku di sini. Siapa tahu aku butuh bantuan," ujar sambil melepas sepatu.
"Baik Sir!"
Aku pun mulai naik railing balkon yang terbuat dari beton. Setelah sampai di atas, ternyata cukup mengerikan juga, sudah lama aku tidak naik-naik ke atas bangunan. Terakhir kali adalah saat renovasi deretan kamar ini. Aku sendiri yang mendesain, jadi benar-benar paham seluk beluknya.
Berada di lantai dua yang tingginya sekitar sepuluh meter, cukup lumayan membuat adrenalin kuterpacu. Perlahan kulangkahkan kaki ke kamar sebelah berpijak pada railing yang hanya selebar dua puluh sentimeter, sambil menempelkan tubuh ke dinding. Sedikit lagi, dan ... hap!
Aku melompat turun ke Selasar balkon kamar Nona Leverton.
Jendela kamarnya masih terbuka lebar. Angin pun menerbangkan tirainya. Tanpa mengalami kesulitan aku masuk ke dalam kamar lewat jendela. Namun pemandangan yang kutemui di atas tempat tidur, begitu mencengangkan.