=LUCAS=
Aku terpaku memandangnya, mendengar tiap kata yang keluar dari bibirnya. Entah kenapa, dia terlihat sedikit sedih saat memandang lukisan itu, seperti memiliki keterikatan emosional.
"Baiklah, Nona-nona. Silakan menikmati dulu galery pribadi milik Sir Kingstone, sembari kami mendiskusikan siapa pemenang review lukisan hari ini," kata Avindale mengakhiri kompetisi review para gadis itu.
Gadis-gadis itu bubar dan menyebar ke seluruh galeri. Sementara Avindale tersenyum padaku sembari berjalan mendekat. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.
"Bagaimana?" tanyaku saat kami cukup dekat.
"Di luar dugaan, gadis incaranmu sangat jeli," pujinya. Jarang sekali dia memberikan pujian terang-terangan seperti itu.
"Jadi sudah jelas, tidak perlu ada rekayasa bukan? Dia bisa mendapatkan hadiah itu," kataku sebelum melegakan tenggorokan dengan batuk yang dibuat-buat.
Aneh, baru kali ini aku merasa gugup.
Avindale mengangkat satu sudut bibirnya. Seolah membaca pikiranku.
"What?" sergahku jengah.
"Oh, bukan apa-apa. Baiklah, akan kuumumkan pemenangnya nanti. Biar mereka menikmati koleksimu dulu."
"Oke!"
"By the way, lukisan itu memangnya mau dilelang?" tanya Avindale.
"Awalnya iya, karena aku punya beberapa lagi di loteng. Belum sempat dibereskan. Sementara jika dipajang di sini, akan sangat kontras dengan lukisan realis lainnya. Entah, mungkin akan kubuatkan satu tempat khusus atau bagaimana, kita lihat saja nanti," jelasku.
"Oh, I see. Oke, aku mau ke bawah mengambil minum dulu," pamitnya.
"Help your self, anggap saja rumah sendiri."
Begitu Avindale berlalu, terlihat pemandangan yang cukup mengejutkan. Adel sedang menyentuh permukaan lukisan itu dengan pelan. Seperti sebelumnya, dia terlihat menghayati saat melakukannya.
Perlahan aku berjalan mendekat, hanya ingin mengamati, tidak ingin mengganggunya.
"Sir Lucas?" sapa seorang gadis, yang mencegatku tiba-tiba.
"Yes, Miss. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan, sekadar berbasa basi.
"Apakah Anda menjual lukisan itu?"
"Yang mana?"
"Yang baru saja kita bahas. Saya tertarik membelinya," ujarnya terus terang.
"Em, boleh. Namun, untuk saat ini saya belum bisa memberikan penawaran yang pantas. Masih butuh analisis lebih jauh dari Avindale, biasanya dia yang merekomendasikan harganya. Mungkin nanti Anda bisa langsung menghubunginya," jawabku diplomatis. Entah kenapa aku merasa lukisan itu cukup berharga bagi si rambut merah. Sehingga rasanya agak enggan untuk melepasnya bagi orang lain.
"Oh, begitu. Baiklah Tuan, terima kasih. maaf sudah menyita waktu Anda," kata gadis berambut blonde itu.
Sebuah anggukan sopan menjadi tanda mohon diri untuk meninggalkannya. Saat itulah baru kusadari jika gadis dengan rambut hitam palsu yang tadi berada di depan lukisan, telah menghilang. Sekeliling ruangan tidak luput dari pengamatan, tapi tetap saja dia tidak kelihatan di mana pun.Tidak mungkin secepat itu dia bisa meninggalkan ruangan ini tanpa melewatiku.
Sedikit frustasi, aku mendekati lukisan yang baru saja menjadi pusat perhatian itu. Sama sekali bukan seleraku. Jikalau memang ada yang menghendaki, lebih baik kujual saja, dari pada memenuhi galery ini. Huh! Sedikit frustasi aku jadinya.
"Sir Kingstone," sapa seorang gadis lain.
Ah, mereka kenapa ada di mana-mana.
"Yes, Miss?"
"Bagaimana menurut pendapat pribadi Anda mengenai review saya? Apakah berpeluang untuk menang?" tanya gadis bergaun biru langit itu.
"Emm, bagus Miss. Namun keputusan tidak bisa saya ambil sepihak. Lebih baik kita tunggu pengumuman resmi dari Avindale," elakku.
Entah kenapa, melihat senyum lebar di bibirnya yang tiba-tiba memudar, membuatku puas. Hahahaha! Merepotkan saja gadis-gadis ini. Saat menoleh ke arah balkon, mataku menangkap sekelebat gaun kuning gading yang tidak asing.
"Saya permisi sebentar," pamitku buru-buru.
Langsung saja kuhampiri balkon, dan benar saja. Si rambut palsu sedang ada di sana. Sendirian.
"Ehem!" Sengaja aku ingin memberi tanda kehadiran padanya.
Gadis itu menoleh dan tidak menyembunyikan keterkejutannya. "Sir," sapanya singkat.
"Menikmati pemandangan dari atas sini?" tanyaku basa basi, sembari berjalan mendekatinya.
"Em, iya. Halaman belakang Manor Anda sangat mempesona," jawabnya sembari kembali menghadap ke arah taman. Sepertinya dia sengaja menghindari tatapanku.
"Analisis Anda cukup jeli, kata Avindale," kataku begitu sudah berdiri di sampingnya. Angin sepoi-sepoi meniupkan aroma mawar dan mist yang menyegarkan.
"Oh, terima kasih Sir. Saya hanya mengatakan apa yah saya lihat, semua itu berasal dari ilmu Mr. Avindale yang diajarkan pada kami di kelas." Ia masih menatap lurus ke depan. Sama sekali tidak berniat memandangku.
"Apakah Anda akan menerima hadiah saya jika diumumkan sebagai pemenang?" tanyaku tanpa basa basi.
"Oh?" Dia menoleh. Sepertinya membuatnya terkejut adalah cara yang jitu agar mau menatapku. "Maksud Anda saya tinggal di Manor ini selama musim panas?"
"Ya, sesuai janji saya. Di samping itu, kita bisa menyelesaikan urusan tresspassing yang belum usai."
"Oh, jadi begitu. Jadi maksud Anda, saya memang layak untuk dipenjara? Di manor ini?" tanyanya cerdas.
"Menurut saya itu hukuman yang jauh lebih baik, dibanding masuk penjara." Aku tersenyum simpul. Yah, puas rasanya.
"Lantas, berarti saya tidak akan mendapatkan liburan di Manor? Apakah Anda akan mengurung saya di ruang bawah tanah?" Wajahnya yang terlihat bergidik ngeri, membuatku sedikit geli. Bagaimana mungkin dia punya pikiran seperti itu? Menggelikan!
"Jika perlu," godaku. "Atau Anda bisa melakukan beberapa hal untuk menebusnya."
"Seperti?"
"Menjadi pengurus galeri saya, misalnya. Anda bisa saya beri tanggung jawab untuk membersihkan semua lukisan, menata ulang susunannya, dan mungkin juga membantu di perpustakaan. Yah, anggap saja itu bisa menghemat pengeluaran saya selama sebulan," tambahku, sengaja ingin mempermainkannya. Namun ide itu bagus juga, jadi dia tidak tinggal di sini dengan gratis. Win-win solution.
"Oh, begitu." Wajahnya mendadak serius. "Bagaimana jika saya menolak?"
Aku sedikit tersentak mendengar pertanyaannya. "Tentu saja, permasalahan kita akan berlanjut di kantor polisi," jawabku tegas.
"Baiklah kalau begitu," katanya seraya mengulurkan tangan. "Deal, saya setuju untuk menjadi pelayan Anda selama sebulan ke depan."
Rasanya hatiku melonjak gembira, hingga tanpa sadar tersenyum menyambut uluran tangannya. Kubungkukkan badan, lantas perlahan mendekatkan tangannya ke bibir. "Deal." Aku mengecup punggung tangannya dengan takzim, tanpa mengalihkan pandangan dari sepasang mata birunya yang menggoda.
"Here you are!" Teriakan Avindale membuyarkan atmosfer yang tercipta.
Adel segera menarik tangannya, sementara aku menegakkan badan. "Ada apa?" tanyaku sebal.
Dia mengulum senyum sebelum akhirnya berkata, "Saatnya mengumumkan pemenang, tentu saja. Ayo kita ajak para Ladies kembali ke bawah."
Setelah mengatakan itu dia mengedipkan satu matanya padaku, kemudian berbalik pergi.
Dasar pengganggu!
"Mari, silakan. Ladies first," ujarku pada Adel.
"Thank you, Sir." Dia pun membungkuk hormat, lalu berjalan di depan, membuntuti Avindale. Saat melewati lukisan gadis berambut merah, dia berhenti sejenak, melihatnya sekilas, kemudian lanjut berjalan.
Sebuah pemandangan yang cukup membuatku penasaran. Sepertinya dia memiliki ikatan emosional dengan lukisan itu. Aku bisa menduganya, dan perlu kucari tahu sebabnya. Yah, akan ada banyak kesempatan untuk menginterograsi, saat dia tinggal di sini, nanti. Banyak pertanyaan yang harus dia jawab, baik tentang pelanggaran wilayah, maupun tentang lukisan itu.
Hemm, kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat bersemangat?