10 - ADELL - Memory

1077 Words
"Waaah, bagus sekali pemandangannya dari sini," ujar Tatiana sembari memegang railing balkon yang tingginya hanya setengah badan. "Iya." Aku setuju, pemandangan halaman belakang yang berlatar gunung memang cukup eksotis. Namun melihat semua sini, aku jadi menduga-duga di mana letak jalan menuju secret garden. Seharusnya cukup dekat, mengingat Lucas sudah rapi saat kami sampai di Manor. "Seandainya bisa tinggal di sini selama musim panas, pasti akan sangat menyenangkan," imbuh Tatiana. "Aku juga berpikir demikian." "Semoga saja aku menang kontes review tadi," kata Tatiana lantas terkikik. Aku tersenyum. Lantas mendadak ada sebuah ide muncul. "Em, Tatiana?" "Ya?" Dia menoleh. "Jika kau menang nanti, bisakah kau beli lukisan gadis perempuan tadi untukku?"pintaku. Wajahnya berubah ekspresi, seperti heran dan kebingungan. "Maksudmu?" "Em, begini. Sepertinya aku tertarik mempelajari teknik melukis seperti lukisan itu. Karena dia membuat lukisan tiga dimensi, tapi tidak kaku seperti karya Rembrandt. Garis-garisnya pudar, dan tidak terlalu realis walau tiga dimensi." "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Tatiana. Aku tersenyum untuk menutupi kegugupan. Sementara Tatiana masih saja menatapku dengan curiga. "Oke, oke!" Aku menghela napas. Susah juga berbohong pada teman yang hampir dua tahun mengenalmu luar dalam. "Itu tadi lukisan yang dibuat Mama," kataku akhirnya. "Hmmm, I see." Tatiana memegang pundakku, sungguh dia sahabat yang sangat pengertian. "Aku ... aku merasa seperti sedang mengenang masa lalu," jelasku dengan nada sedikit bergetar. "Oh, Adel," ucapnya dengan penuh penyesalan,"maaf ya, pasti ini sangat berat bagimu. Berada di rumah lama yang penuh kenangan." Aku tersenyum,"Yah, seperti itulah. Tapi sebenarnya aku tidak ingat terlalu banyak tentang rumah ini. Banyak perubahan yang sudah dilakukan Lucas. Hanya saja lukisan itu, aku ingat benar-benar, karena Mama selalu melukis ketika menemaniku bermain di taman." "Lucas?" Pertanyaan Tatiana membuatku sedikit tergagap. "Eh, apa aku menyebut Lucas? Kau pasti sudah salah dengar." "Maybe," ujarnya sembari mengangkat bahu. Untunglah, setelah itu perhatian Tatiana berpaling kembali ke arah taman belakang. "Aku ingin duduk di sana sambil membaca buku," katanya sambil menunjuk satu tempat. "Di mana?" Aku melongokkan kepala. "Di atas pohon itu. Sepertinya nyaman," katanya. "Hah? Kamu bercanda?" "Hihihihi! Ekspresimu itu ... priceless!" katanya lagi sambil menutup mulut dengan satu tangan ketika terkikik. Yah, seorang Lady tidak akan tertawa terbahak-bahak. Namun dia sukses juga menjahiliku. "Selera humor Anda sangat bagus Lady Leverton," pujiku. "Juga sekaligus mengandung sindiran halus. Tidak mungkin Lady seperti Anda naik pohon, tapi, jika Anda berkenan, saya siap membantu," balasku sarkas. Dia tambah terkikik puas. "Maaf Lady Watson, saya belum punya niat untuk jadi manusia hutan, hihihi." Kami pun cekikikan berdua. "Ehem!" Dehaman yang dibuat-buat itu membuyarkan kesenangan kami. Begitu menoleh, Lucas sudah berdiri di ambang pintu, sembari menatap kami bergantian. Setelah aku berbalik sempurna, dia menatapku lurus-lurus. "Jika masih tertarik untuk mengikuti kompetisi, hampir tiba giliran Anda, Nona," katanya padaku. "Oh, iya. Terima kasih." Lucas berbalik dan pergi duluan. Aku menoleh pada Tatiana, dia balas memandangku. "Ayo, cepat. Siapa tahu kau beruntung," ujarnya. Aku tersenyum lalu melangkah cepat membuntuti Lucas. Tatiana ikut berjalan cepat menjajariku. Pria itu tidak menoleh sama sekali saat aku melewatinya di dekat pintu keluar. Begitu sampai di sudut pameran utama, Samantha terlihat sedang menjelaskan analisisnya tentang lukisan itu. Mr. Avindale menahan tawa sembari menutup mulutnya dengan satu tangan. Aku berhenti di deretan paling belakang, sementara Tatiana memilih untuk mendekat ke depan. Jujur saja menanti giliran membuatku jadi gugup. Apa yang akan kujelaskan tentang lukisan itu nanti? Ah entahlah. Tepukan tangan untuk Samantha mengiringi gadis itu kembali ke barisan kami, dan Mr. Avindale mengambil alih perhatian di depan. "Oke, peserta terakhir, silakan," kata Avindale. "Giliranmu, semoga berhasil," ucap suara laki-laki di belakangku, yang terdengar sangat dalam. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa dia. Sembari meremas sisi gaun, aku melangkah ke depan. Menoleh sejenak pada Tatiana yang tengah memberikan dua jempolnya padaku sebagai penyemangat. "Langsung saja," kata Avindale sambil bergeser ke sebelah lukisan. Perlahan melepas sarung tangan renda yang wajib kukenakan, lantas jari-jariku menyentuh permukaan lukisan itu. Sekarang bisa kupastikan bahwa lukisan ini datar, tidak seperti saat terlihat dari kejauhan. Jadi, Mama menggunakan teknik ilusi optik, yang memainkan warna hingga terlihat seperti lukisan tiga dimensi. Mungkin mengikuti aliran Van Gogh, sehingga lukisan yang dihasilkan lebih ceria. "Baik Mr. Avindale. Lukisan ini dibuat mungkin menggunakan teknik campuran." Gumaman terdengar dari teman-teman semua. "Mengapa kau bisa menyimpulkan begitu?" tanya Avindale. "Dari kontur dan tekstur permukaannya, Mr. Avindale. Memang dari kejauhan lukisan ini terlihat seperti objek trimatra (tiga dimensi). Namun setelah memastikannya dengan rabaan, sama sekali flat. Kalau pun ada yang menonjol dengan tekstur kasar, hanya pada beberapa bagian. Jadi, bisa disimpulkan pelukisnya lebih condong ke aliran Vincent Van Gogh dibanding Rembrandt." "Menarik. Teruskan!" kata Avindale. "Oleh karena pelukisnya menggunakan percampuran warna untuk menimbulkan ilusi optik, maka sapuan kuasnya jadi tipis sekali. Sehingga proses fat to lean yang diperlukan tidak terlalu lama. Keuntungan selanjutnya adalah, lapisan tipis yang cenderung bisa lebih cepat kering itu, mampu meminimalisir craquelure-nya. Jadi lukisan ini memang sudah selesai, walau masih terlihat seperti gambaran kasar, sebab sudah ada lapisan vernis. Dan dari pengamatan saya, pelukisnya memang condong mengikuti aliran impresionisme dibanding realis." Keheningan tercipta begitu aku selesai menjelaskan. "Oh, cukup menarik," kata Avindale yang diikuti dengan tepukan tangannya. Dia mendekat ke lukisan itu, lantas menyentuhkan jarinya. Setelah itu sambil menoleh padaku, diacungkan ya jempol. "Analisa yang sangat bagus." "Terima kasih Mr. Avindale," kataku masih setengah gugup. Lalu aku buru-buru kembali ke barisan paling belakang. "Baiklah, Nona-nona. Silakan menikmati dulu galery pribadi milik Sir Kingstone, sembari kami mendiskusikan siapa pemenang review lukisan hari ini," kata Avindale. Para gadis pun bubar, menyebar di seluruh ruangan yang cukup luas itu. Sementara aku masih tertegun memandangi lukisan Mama dari kejauhan. Rasa sesak seperti mendadak hadir dan menjejali dadaku. Tidak terasa satu sudut mataku meloloskan butiran bening yang tidak mampu lagi terbendung. Mama ... I miss you .... Perlahan aku melangkah mendekati lukisan yang sudah tidak lagi dikerumuni itu. Wajah gadis kecil berambut merah dalam lukisan tersebut memang tidak terlalu kentara. Namun senyum ceria yang mengembang tatkala sedang berlarian di rerumputan, sangat jelas terlukiskan. Di tangan gadis kecil itu, terdapat segenggam bunga liar berwarna kuning cerah. Latar padang rumput hijau dan air terjun dari tebing, sangat jelas menggambarkan lokasi secret garden. Tidak salah lagi, ini lukisan diriku saat masih kecil. Tanganku yang masih telanjang, kembali meraba lukisan itu. Seolah ingin kembali meresapi kebahagiaan yang tergambar di sana. Masa-masa indah bersama Mama, dan juga menguak kenangan yang selama ini tertutup tabir dalam memori. Seandainya saja aku bisa memiliki lukisan ini sebagai kenangan, mungkin hidupku akan lengkap kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD