Dua pasang mata itu, mereka... kembali bertemu. Dengan sorot yang berbeda. Tidak ada cinta, tidak ada kelembutan, tidak ada pula luka, yang ada hanya sebuah sorot asing dan hampa. Juga, sedikit kerinduan.
***
"Akhir-akhir ini aku lihat kamu deket sama Kalila. Sekalian ngecengin bapaknya, ya?"
Kira mencebikkan bibir mendengar bisikkan Tanti. Yah, wajar Tanti bicara seperti itu. Toh, memang begitu adanya. Sejak tadi mata Kira tak pernah lepas dari Kalila yang nampak murung dan ogah-ogahan bicara dengan siapa pun. Bahkan Roby pun benar-benar dia jauhi.
Hari ini anak itu diantar oleh bibiknya. Melihat itu Kira paham, Kalila masih marah karena kejadian kemarin. Ah, ini memang salahnya. Seandainya dia tidak menawarkan penawaran konyol itu pada Kalila, mungkin tidak akan serumit ini. Mungkin, Kira bisa melihat Brian pagi ini seperti biasanya.
"Aku belum tahu pasti laki-laki itu siapa, Kak. Ada apa dengannya. Tapi aku rasa, aku suka."
"Kamu?" pekik Tanti, membuat Kira menutup wajah malu. Saat ini mereka masih mengajar di kelas. Bagaimana bisa Tanti seceroboh itu memekik keras?
"Nanti, deh, diceritain. Sekarang keadaannya lagi nggak baik, sih."
"Kalila, ya?" tanya Tanti, mengedikkan dagu ke arah Kalila yang duduk di pojokan sambil menulis dengan fokus. Sesekali dia terbatuk-batuk. Ah, Kira jadi khawatir. Sepertinya kondisi kesehatan anak itu sedang tidak baik.
Kira mengangguk. Mengikuti arah pandang Tanti.
Ketika bel tanda kelas usai berbunyi, Kira segera merapikan buku-bukunya di meja. Lantas menyuruh anak-anak berdo'a sebelum pulang.
"Kalila!" panggil Kira ketika anak itu melewatinya begitu saja tanpa memberi salam. Ia memegang lengan kecil Kalila lantas berjongkok di sisinya.
"Hei, Kalila marah sama Ibu?" tanya Kira lembut. Dia membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis dengan mata yang membulat lucu.
"Lila nggak marah. Cuma kesal aja."
"Kenapa Kalila kesal sama Ibu Kira?" Tanti ikut menyusul, lantas berdiri sambil menyandar pada kusen pintu dan menatap Kalila dan Kira di jarak satu meter.
"Ibu Kira nggak mau jadi mama Lila. Lila jadi kesal."
"MAMA?"
Oke. Bisa ditebak, kan, reaksi Tanti seperti apa? Yup. Heboh. Matanya membulat besar, antusias.
Kalila mengangguk lemah dengan dua bola mata yang sendu. Kira hanya terdiam dengan rasa tak enaknya.
"Ibu bukannya nggak mau, Sayang. Tapi nggak bisa." Kira mengusap pundak Kalila lembut. Dia berharap Kalila bisa mengerti.
"Apa bedanya? Nggak mau dan nggak bisa sama saja, kan?" ucapan Kalila bergetar, diakhiri oleh batuk yang membuat Kira cemas. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat.
"Kalila sakit?" tanya Kira. "Sekarang dijemput siapa? Bik Hana?"
Kalila menggeleng lemah. "Nggak tahu," balasnya serak.
Kira menatap Tanti, meminta pendapat wanita itu. Ketika dia hanya mengangguk singkat, Kira kembali bicara, "Tunggu di depan dulu sama Ibu, ya?"
Kira berdiri, menggenggam tangan kecil Kalila. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka bertiga. Namun belum jauh mereka melangkah, Kira memekik tertahan saat tubuh Kalila melunglai dan ambruk di sisinya.
"Kalila!"
Kira terduduk. Memeriksa suhu tubuh Kalila. Dan itu benar-benar tinggi sehingga tanpa pikir panjang, dia menggendong tubuh gadis kecil itu dan berlari.
"Kita bawa ke rumah sakit?" tanya Kira setelah sampai di depan dan bingung akan membawa Kalila ke mana dengan kondisinya yang begitu.
"Iya. Rumah sakit. Demamnya terlalu tinggi," balas Tanti. Sehingga berakhirlah mereka di dalam taksi yang mengantarkan ketiganya ke rumah sakit terdekat saat itu.
***
Kira berdiri di depan Instalasi Gawat Darurat. Menautkan kedua tangan di depan wajah, komat-kamit berdo'a. Sesekali dia menghela napas kasar ketika menatap jam dan merasa waktu berjalan begitu lambat.
"Udah hubungin walinya, hm?" ucapan Tanti menginterupsi Kira.
Dia berdecak, merutuki kebodohan dirinya yang sejak tadi sibuk sendiri dengan kekhawatirannya sedangkan ia lupa bahwa ada orang yang lebih berhak khawatir atas keadaan Kalila. Brian.
Belum sempat Kira mendial nomor Brian, panggilan dari lelaki itu lebih dulu masuk. Kira tebak, sepertinya dia ke sekolah tetapi tidak menemukan Kalila di sana.
"Kira, Kalila...."
"Kalila sama aku. Di rumah sakit Pelita Bunda. Kamu ke sini secepatnya, ya?" sela Kira segera. Sementara jantungnya sudah maraton. Dia benar-benar panik.
"Kenapa?" pekik Brian kaget. Namun detik berikutnya terdengar dengkusan pria itu. Sepertinya dia sadar telah melontarkan pertanyaan yang salah. "Aku ke sana sekarang," lanjutnya. Lalu telepon mati, menyisakan Kira yang berjongkok lesu di depan ruangan yang mengurung Kalila dengan segala peralatan medis.
***
Brian memasuki sebuah ruangan dengan tiga blankar yang satu di antaranya ditiduri oleh jenazah yang bagian tubuhnya ditutup kain putih. Seseorang yang membiarkannya masuk barusan segera mengalihkan atensinya dari kertas-kertas di tangan yang sedang dia baca.
"Bagaimana?" tanya Brian tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dalam pekerjaannya, waktu sedetik pun amat berarti.
"Kamu lihat ini?" tanya Dokter Adri, pria berusia 32 tahun yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi rekan Brian dalam setiap penyidikan yang memerlukan bantuan dokter forensik. Dia menunjuk leher korban. Luka yang Brian lihat samar di foto. Benar. Memang tidak begitu jelas, tetapi Brian yakin ada luka memanjang berbentuk garis yang sedikit memerah ketika ia memperhatikan foto korban tadi.
"Dia sepertinya jatuh mengenai pinggiran meja atau benda sejenis. Yang lebih penting, saya menemukan ini," Adri menunjuk ujung luka itu. Ada luka lain. Sangat kecil, ukurannya mungkin sekitar satu senti meter. "Luka ini awalnya nyaris nggak terlihat. Tapi setelah saya periksa lagi dengan saksama setelah beberapa hari, luka ini mulai kelihatan."
Brian mendekatkan wajahnya, menatap luka itu lekat. "Suntikan?" tebaknya kemudian.
Adri menjentikkan jarinya di depan wajah. "Tepat. Ada kemungkinan dia menyuntikkan sesuatu ketika menyerang korban. Sejenis bius, mungkin?"
"Bius?" Mengernyit bingung, Brian merasa baru-baru ini dia juga mendengar penggunaan obat bius di kasus lain. Kasus yang masih baru.
"Kalau benar itu suntik bius, seharusnya ada suntikan bekasnya," gumam Brian, lebih ke--berbicara sendiri. Namun sejauh ini, entah pihak kepolisian atau pun timnya tidak menemukan suntikan tersebut.
"Baiklah. Tolong periksa lebih lanjut, cairan apa yang disuntikan."
Lalu Brian keluar dari ruangan pengap itu. Tak lupa untuk menghubungi Fadi agar mencari tahu perihal bekas suntikan yang akan menjadi barang bukti selanjutnya. Dia tidak bisa kembali ke kantor masalahnya karena harus menjemput Kalila. Dia sudah bilang pada Bik Hana bahwa dia yang akan menjemput Kalila pulang.
***
Brian menyisir pandang ke sekitar halaman sekolah Kalila. Anak itu tak terlihat sejak tadi. Padahal biasanya dia akan menunggu di ayunan atau di depan kelasnya. Sedangkan kini, nihil. Dia tidak ada di kedua tempat itu. Brian bahkan sudah memeriksa kelas dan ruang guru tetapi sudah tidak ada siapa-siapa kecuali penjaga sekolah yang katanya tidak tahu keberadaan Kalila.
Ah, salahnya memang yang telat datang.
Brian membuka ponsel. Dia tahu seseorang yang mungkin mengetahui ke mana Kalila pergi. Namun betapa terkejutnya saat Brian mendengar penjelasan dari perempuan di seberang sana.
"Kenapa?" tanya Brian spontan ketika mendengar Kalila berada di rumah sakit. Dia berdecak, sadar bahwa bukan itu yang seharusnya dia ucapkan. "Baiklah. Aku ke sana sekarang."
Brian memutus sambungan dan segera memasuki SUV hitamnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia sudah biasa dikejar waktu, maka tidak asing baginya untuk bekerja cepat. Tapi saat ini beda. Perasannya bermain dengan keadaan karena ini menyangkut gadis kecilnya. Kalila.
"Bagaimana keadaan Kalila?" tanya Brian panik, setelah dia berlarian di rumah sakit yang lumayan besar itu sambil sesekali bertanya ruangan yang disebutkan Kira ke beberapa karyawan rumah sakit, dan akhirnya menemukan perempuan di sana. Duduk sambil menumpu tangan di dagu.
Kira berdiri. Samar-samar terdengar helaan napas lega keluar dari mulut perempuan berbaju biru tersebut. "Cuma demam. Sebentar lagi bisa dipindah ke ruang rawat inap biasa," katanya, memberikan senyum terbaik untuk membuat Brian lebih tenang.
Brian berjalan mendekati pintu, mengintip dari balik kaca ke dalam ruangan yang menyembunyikan separuh hidupnya di sana. Dia memejamkan mata, bersyukur bahwa Kalila tidak kenapa-kenapa.
"Dokter manggil walinya tadi. Aku nggak pergi karena tahu kamu ke sini," kata Kira mengalihkan perhatian Brian dari Kalila.
Brian lantas mengangguk kecil, dan bergegas pergi ke ruangan yang Kira sebutkan. Namun langkah Brian terhenti begitu dia sampai di depan ruangan tersebut. Netranya menatap lekat pada papan akrilik yang bertengger di depan pintu.
dr. Renata Sp.A
Untuk beberapa saat, Brian merasa dunia tengah mempermainkannya. Seolah tidak cukup dengan keadaan Kalila yang drop, kini dia harus dihadapkan dengan seseorang dari masa lalu. Seseorang yang masih enggan meninggalkan ruang hatinya. Atau, malah ego Brian yang memenjarakan bayangan beserta luka perempuan itu di lubuk hati.
Brian menghirup napas dalam-dalam, mencoba menetralkan dirinya yang tiba-tiba merasa goyah. Bukan karena dia masih mencintai perempuan itu, hanya... ini kali pertamanya lagi setelah lima tahun berlalu.
Belum sempat dia mengetuk pintu, knop pintu diputar dari dalam kemudian pintu terbuka sedikit, menampakan sosok laki-laki kurus berkacamata yang menatapnya terkejut.
"Ah, Anda ingin bertemu Dokter Renata?" tanya lelaki itu setelah sepersekian detik mengubah raut wajahnya dengan senyuman ramah.
Lelaki berpakaian putih itu melebarkan pintu, membuat Brian akhirnya menemukan sosok itu. Sosok yang duduk di balik meja dengan berlembar-lembar kertas di depannya. Perempuan itu sama sekali belum melihat ke arahnya. Dia hanya sibuk menulis sesuatu sambil berkata pada perawat tadi agar tamunya—Brian—masuk.
Saat Brian hanya mematung tanpa mengeluarkan suara dan sama sekali tidak masuk, barulah dokter itu mengangkat wajahnya. Dan, tatapan mereka akhirnya bertemu. Dua pasang mata yang pernah saling menatap penuh cinta, dua pasang mata yang pernah saling mengagumi keindahan masing-masing, dua pasang mata yang pernah mencurahkan isi hati hanya lewat tatapan, hingga akhirnya saling menatap dengan sorot luka yang dalam, mereka... kembali bertemu. Dengan sorot yang berbeda. Tidak ada cinta, tidak ada kelembutan, tidak ada pula luka, yang ada hanya sebuah sorot asing dan hampa. Juga, sedikit kerinduan.
"Bri."
Suara halus itu mengalun. Suara yang pernah menjadi candunya sebelum tidur. Suara yang pernah selalu dia rindukan. Dulu.
Dia berdiri. Brian pun akhirnya berjalan, lambat. Seolah membiarkan waktu hanya berpusat pada mereka berdua. Lalu untuk beberapa detik, Brian hanya harus cukup dengan memandang wajah terkejutnya dalam diam.
"Hai, Ren. Apa kabar?" Brian tersenyum tipis, akhirnya.
Sejatinya, meski kamu menghindari seseorang sampai ke ujung dunia sekali pun, selagi Tuhan menginginkanmu bertemu dengannya, maka kamu akan bertemu. Karena Tuhan Maha Segalanya. Karena Tuhan tahu, tidak seharusnya kamu pergi, menghilang, sedang ada perkara yang harus kamu selesaikan. Contohnya, tentang perasaan.
***