"Jaksa itu kadang bisa jadi setan bisa juga jadi malaikat bagi orang lain."
-Brian Mahesa-
***
"Hai, Ren. Apa kabar?" Brian tersenyum tipis.
Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena cinta itu masih ada hanya saja, butuh keberanian lebih untuk berhadapan dengan sumber luka yang kaukubur selama lima tahun. Apalagi pertemuan itu sama sekali tidak pernah direncanakan. Sangat tiba-tiba, tanpa persiapan.
Perempuan di depannya membalas senyum, meski kedua bola matanya yang dibingkai bulu mata lentik itu nampak sendu.
"Aku baik," balas Renata setelah hening yang cukup lama. Mungkin karena terkejut melihat seseorang yang memilih pergi dan selalu enggan menemuinya setelah hari di mana mereka memutuskan berpisah. Tidak, sebenarnya hanya Brian yang ingin berpisah, Renata tidak. Berulang kali dia mencoba datang, tetapi Brian seolah membangun benteng besar yang menghalangi langkahnya masuk. Sampai akhirnya Renata memutuskan menikah dengan Gian. Lelah.
"...tapi juga nggak di saat yang sama," lanjut Renata hampa.
Brian duduk di kursi yang disediakan di hadapan meja Renata. Berusaha memfokuskan diri bahwa saat ini dia adalah wali Kalila, dan perempuan di hadapannya adalah dokter gadis kecil itu, bukan perempuan yang datang di kehidupan masa lalunya.
"Saya ke sini sebagai walinya Kalila. Pasien yang tadi dibawa ke IGD," gumam Brian. Mengubah kalimatnya menjadi sangat formal. Seolah, ya... mereka memang benar-benar asing.
"Ah, dia anak kamu?" tanyanya. Senyuman miris itu sempat Brian lihat meski secepat kilat Renata sadari.
Karena Brian tidak menjawab, maka Renata mengambil sebuah kertas dari tumpukan berkas di depannya. Lantas berjalan keluar, membiarkan Brian mengikutinya. Ternyata dia pergi ke ruangan Kalila.
Masih ada Kira di sana. Duduk dengan risau di depan ruangan. Wajah lelah sangat nampak, tetapi dia terjaga dan seketika berdiri saat Brian datang dengan Renata.
"Bagaimana?" tanyanya pada Brian.
"Saya akan menjelaskannya di dalam," sahut Renata. Kedua matanya menatap awas pada Kira dan Brian.
Ketiganya lantas masuk ke ruangan Kalila. Ada rasa cemas yang menghantam Brian menatap wajah pucat gadis kecilnya.
"Selain panas, ada ruam di sekitar tangan dan kakinya. Setelah saya periksa juga terdapat luka di tenggorokan Kalila. Akhir-akhir ini dia sulit makan, kan?"
Brian mengangguk cepat. Kalila memang susah makan dan selalu terlihat murung akhir-akhir ini.
"Kemungkinan, dia menderita Flu Singapura."
"Apa itu tidak bahaya?" tanya Kira khawatir. Jelas hal itu membuat Brian menoleh padanya.
"Tidak." Renata tersenyum kecil. "Besok kalau kondisinya memungkinkan, Kalila bisa pulang. Tapi biarkan dia istirahat selama beberapa hari. Saya akan berikan resep obat dan salep untuk ruam. Sebentar lagi perawat datang untuk memindahkan Kalila ke ruangan biasa."
***
"Ini istri kamu?" tanya Renata setelah keluar dari ruangan baru Kalila.
Mendengar pertanyaan Renata, Kira dan Brian saling melempar pandang. Brian menelan ludah, lantas tersenyum kecil, mendekat pada Kira dan memeluk bahu perempuan itu, erat.
Kira? Jelas saja dia bingung dengan apa yang terjadi. Belum sempat dia mencerna apa pun, Brian sudah menjawab dengan senyuman dan tatapan hangatnya yang Kira tahu hanya pura-pura.
"Ya. Dia istri saya."
Kira membisu. Tidak, bukan karena tersanjung Brian mengatakan kebohongan tentangnya. Hanya, Kira merasa ada yang terjadi di antara dua orang di hadapannya. Meski kalau boleh jujur, cengkraman tangan Brian di bahunya sungguh membuat Kira berdebar hebat.
"Oh, anak kalian sudah besar," gumam Renata. Menatap Brian dan Kira lalu beralih pada Kalila, di balik kaca pintu.
Dan entah mengapa, Kira menangkap tatapan pedih dan nada pahit dari ucapannya. Bahkan sampai punggung perempuan itu menjauh, Kira masih bertanya-tanya. Kenapa? Ada apa? Apakah dia melewatkan sesuatu di sini?
"Dia mantan pacar aku," tukas Brian.
Kira terperangah. Segera mengalihkan perhatiannya pada Brian dengan tatapan tak percaya.
"Lalu, kenapa kamu...." Kira memperhatikan tangan Brian yang masih merangkulnya.
Saat itulah dengan segera Brian menurunkan lengannya dan tersenyum kaku. "Maaf," katanya, canggung.
Brian lantas duduk di kursi panjang yang terletak di depan ruangan Kalila, disusul Kira yang duduk di sisinya menuntut jawab.
Waktu sudah berlalu selama lima belas detik. Brian masih diam dengan kedua jemari bertaut di bawah dagunya yang ditumbuhi bulu halus. Tatapan pria itu lurus, menatap jauh entah ke mana. Seolah, raganya di sini tetapi jiwanya berkelana, menyusuri jejak demi jejak kenangan yang pernah dia lalui.
"Dulu, aku sayang banget sama dia," ucap Brian akhirnya, membuka cerita. Kira dengan segera memfokuskan atensinya. Meski kalimat pembuka lelaki itu sedikit membuat jantungnya mencelus.
"Kita teman satu SMA. Nggak begitu dekat. Tapi suatu ketika pas kita udah lulus, kita ketemu di acara reuni angkatan. Aku pergi sendiri, kayak biasa. Dan dia dibohongin teman-temannya yang nggak jadi datang. Akhirnya yah, seperti kisah klise lainnya. Kita ngobrol karena sama-sama nggak punya temen. Lalu saling berbagi kontak."
"Lalu kalian jatuh cinta dan putus suatu ketika?" tebak Kira.
Brian menggeleng. "Kisah kita nggak sesederhana itu," balasnya dengan senyuman tipis. Dia menurunkan tangannya dan menengadah, menatap langit-langit. Seolah dengan melakukan hal itu, dia bisa sedikit lebih tenang.
"Lantas?" Kira tanya.
Brian kembali memposisikan diri dengan nyaman. "Kita udah lumayan deket. Saling ketemu, berbagi cerita. Sampai akhirnya sama-sama nyimpen rasa. Tapi dunia seolah menentang kami. Ayahnya sempat didakwa karena tuduhan malpraktik. Dan kamu tahu, ayahku yang jadi jaksa dari kasus itu." Brian menoleh sejenak, terkekeh sumbang. Menertawakan takdir atau mungkin menertawakan dirinya sendiri.
"Ayahnya dihukum penjara selama tiga tahun. Ibunya yang tahu aku anak dari jaksa yang membuat ayahnya dihukum, tentu mulai benci aku."
"Tapi itu bukan salah kamu," sela Kira segera. "Nggak seharusnya kamu dibenci. Lagipula, tugas jaksa memang untuk menegakkan keadilan, kan?"
"Nggak semua orang berpikiran kayak kamu, Kir. Setelah aku jadi jaksa, aku bahkan udah nerima banyak kebencian melebihi yang orangtuanya Renata kasih. Jaksa itu kadang bisa jadi setan bisa juga jadi malaikat bagi orang lain."
Kira termenung. Kedua netranya menatap Brian lekat. Dia tidak tahu bahwa pekerjaan Brian sesulit itu. Bukan hanya melelahkan fisik, tetapi Kira yakin psikologisnya pun lebih lelah dari itu.
"Kamu tahu apa hal bodoh yang kita lakuin? Kita malah saling jatuh cinta. Sampai kita diam-diam berhubungan, selama lebih dari dua tahun. Semakin lama, semakin kita nggak bisa lepas satu sama lain."
"Aku jadi iri sama kalian," gumam Kira. Menipiskan senyumnya, ikut menatap lurus ke depan seperti yang Brian lakukan.
Kini Brian yang menoleh padanya. "Kenapa?" tanyanya.
"Nggak apa-apa," balas Kira, menoleh. "Lanjutin ceritanya."
Brian sempat menatap Kira lamat-lamat, berusaha membaca sorot mata perempuan itu. Tapi akhirnya dia memilih menunda pertanyaan yang menggantung di benaknya. Kemudian menghela napas panjang.
"Kita nggak sekuat itu ternyata. Kamu salah," lanjut Brian. "Suatu ketika hubungan kita tercium ibunya Renata. Kita mulai memberi jarak masing-masing sampai situasi lebih tenang. Tapi yang ada, hubungan kita malah merenggang."
Dari sini, tatapan Brian nampak berubah lebih nanar. Kira bahkan bisa mendengar nada berat di suaranya. Seolah, dia baru mengalami kegagalan itu di hari kemarin. Masih ada sesak di balik suaranya.
"Aku sibuk untuk ujian. Dia sibuk kuliah. Kita bener-bener nggak punya banyak waktu buat bareng. Sampai temen aku yang tahu kita pacaran bilang, dia sering mergokin Renata sama cowok. Aku berusaha nggak percaya. Tapi hari itu datang. Hari di mana aku menyaksikan secara langsung, Renata di rangkulan cowok lain. Dipeluk cowok lain. Dan dia, mengakuinya."
"Lalu kamu mundur?"
"Yah. Andai aku nggak lihat undangan itu, aku mungkin mau minta penjelasan dari dia. Tapi nggak. Setelah aku lihat undangan pertunangannya, aku pikir nggak ada lagi yang patut kita bicarakan. Aku hilang. Sama sekali nggak mau berhubungan apa pun lagi dengan dia, dengan perempuan lain."
"Dengan perempuan lain? Maksudnya sejak saat itu kamu nggak pernah jatuh cinta lagi? Lalu Kalila?" Kira memberondong Brian dengan pertanyaan.
Brian terkekeh kecil. "Kalila keponakan aku. Ibunya meninggal waktu masih bayi, dan aku yang berusaha menggantikan posisi menjadi orangtuanya."
Kira tertegun. Jadi selama ini dia salah paham? Pantas saja... Brian terlihat masih terlalu muda. Entah mengapa, hatinya senang dan hancur di saat yang sama.
Kira menggerakkan tangannya perlahan, menyentuh tangan Brian di atas pahanya. Lantas meremas pelan tangan besar itu, seolah memberi kekuatan.
"Dengar, kamu masih bisa jatuh cinta. Dengan kamu bersikap begini, artinya kamu masih terjebak di luka masa lalu. Keluar dari sana. Aku yakin, banyak perempuan yang lebih baik yang mau sama kamu. Yang bisa ngajarin kamu arti cinta sesungguhnya. Jangan menutup hati, jangan menutup diri."
Brian menatap Kira lekat. Menyaksikan bagaimana wajah lugu perempuan di hadapannya berubah menjadi sangat dewasa saat dia mengatakan kalimat-kalimat itu.
"Aku nggak tahu harus gimana. Aku juga nggak berencana buat menutup hati. Hanya saja, aku nggak bisa jatuh cinta lagi."
Kira tersenyum miris. Tentu, hatinya ngilu mendengar penuturan Brian. Bagaimana pun, Kira sudah menyadari perasaannya akan lelaki itu. Dan lelaki yang dia cintai, ternyata tidak bisa dia luluhkan hatinya.
"Kamu bisa. Coba lebih membuka diri lagi. Kamu pasti menemukan orang itu." Kira menggenggam tangan Brian. Lantas menepuk-nepuknya dengan lembut.
Lihat aku. Aku di sini. Aku mau bantu kamu keluar dari rasa sakit itu kalau kamu mau, Bri.
Brian membalas genggaman tangan Kira, tersenyum kecil yang menyiratkan bahwa dia baik-baik saja.
Genggaman tangannya hangat. Aku lupa kapan terakhir kali merasakan genggaman seperti ini.
"Mau aku ceritakan dongeng buat menghibur kamu?" Kira tersenyum lebar. "Ini tentang gadis nakal yang kehilangan penglihatannya dan lupa cara berjalan."
***