02. Minta Talak

1389 Words
Melati menghentikan langkahnya sebentar saat lelaki itu memberikan sebuah instruksi untuknya. Dia berjalan ke arah Melati yang masih pada posisi yang sama. “Ini punya kamu?” tanya seorang lelaki tampan bertubuh tinggi bernama—Wira Andara Bahari. Melati sedikit menatap ke arahnya sekejap lalu mengangguk. Dia segera mengambil dompet miliknya yang terjatuh saat menyenggol anaknya. “Te—terima kasih.” “Kamu kenapa menangis?” tanyanya yang mengandung rasa penasaran dengan Melati. Melati menggeleng. “Tidak apa-apa. Permisi.” Dia melengos pergi dan meninggalkan mereka. “Pah, Tante itu kok nangis sih? Dia kenapa?” tanya seorang anak kecil bernama—Abil. “Nggak tahu, Bil. Mungkin dia lagi sedih.” “Kasihan, Pah. Abil paling nggak tega lihat ibu menangis.” “Ya sudahlah. Sekarang kita masuk ya, Papah mau ketemu client.” Siang hari itu, Melati segera memesan taksi online kembali untuk menuju ke rumah. Setelah sampai rumah, dia segera mengemaskan barang-barang miliknya ke dalam sebuah koper besar. “Melati, kamu mau ke mana kok barang-barang kamu dikemasin?” “Aku mau pergi, Bu.” Wanita paruh baya yang bernama Dini itu mengerutkan dahinya. “Pergi? Mau pergi ke mana? Kamu jangan aneh-aneh Melati, suamimu sedang berdinas.” Melati seketika menghentikan gerakannya saat ibunya Arya mengatakan dinas dengan entengnya, “Dinas? Dinas sama pelakor, Bu?” “Melati jaga mulut kamu ya. Anak Ibu tidak seperti itu.” “Tapi, nyatanya memang seperti itu kok.” Seorang lelaki bertubuh kekar itu pun membuka pintu kamarnya dengan lebar. Dia terbelalak saat Melati sudah mengemaskan kopernya dengan rapi. “Melati, kamu mau ke mana?” “Aku mau pergi dari rumah ini, Mas,” sahut Melati dengan kesal. “Arya, ini kalian ada apa? Kenapa istrimu ngotot ingin pergi dari rumah?” “Bu, Mas Arya sudah selingkuh dari aku. Barusan, aku telah menyidak dia dengan pramugari lain di hotel! Aku sudah kecewa sama anak Ibu. Dia mengingkari janjinya sendiri untuk setia denganku, Bu,” tegas Melati. “Mel, sudah berulang kali aku minta maaf dan aku khilaf telah melakukannya. Dan, aku mohon kamu jangan pergi dari sini.” Arya mencekal tangan Melati yang hendak pergi darinya. “Melati, kamu itu seharusnya bangga punya suami kayak anak Ibu. Tanpa dia, kamu sudah terlunta-lunta di Jakarta!” Dini berusaha membela anak semata wayangnya yang selalu dibanggakan itu. Dia paling tidak suka anak semata wayangnya dihina oleh istri yang dinikahi berasal dari sebatang kara. Sebagaimana, Dini sudah membesarkan Arya dengan jerih payahnya sendiri tanpa seorang suami. “Apa? Jadi, Ibu belain anak Ibu yang sudah menyalahkan pernikahan?” Melati semakin memuncak amarahnya saat ibu mertuanya tak memiliki rasa iba dengannya. “Melati, kamu nggak dengar kalau Arya itu sudah meminta maaf dan khilaf. Lelaki itu wajar jika sampai tergoda dengan wanita lain, kalau istrinya aja nggak pinter dandan. Jadi, kalian ini sama-sama salah!” “Bu, aku ini sudah berusaha untuk dandan yang cantik, beli lipstik berbagai macam warna, beli parfum dengan aroma yang menggoda, juga beli baju dinas yang sering aku pakai hendak tidur. Tapi apa, anak Ibu aja yang nggak pandai bersyukur memiliki istri yang sudah berusaha,” elak Melati. “Kamu berani sekali dengan Ibu, Melati?” Dini menatap menantunya itu dengan tatapan tak terima. “Bu, maaf kali ini kesalahan Mas Arya sudah di luar batasku. Dia sudah selingkuh dan tidak hanya hari ini. Jadi, aku putuskan untuk meninggalkan dia dalam kehidupanku. Mas, aku minta pisah dari kamu sekarang juga,” pinta Melati dengan memaksa. Dia sudah enggan untuk membuka hatinya kembali sebab Rania sudah sering bercerita, memberikan pesan gambar, tapi Melati tak pernah percaya sebab masih mencintai suaminya. Terkadang cinta memang membuat buta hati. “Melati, aku tidak akan pernah mentalak kamu.” Tidak munafik sebab Melati adalah cinta pertama dari sang kapten pilot tersebut meskipun saat bekerja di kelilingi oleh pramugari cantik. “Mas, aku mau kamu talak aku sekarang!” “Nggak,” tolak Arya yang masih ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Melati. “Talak!” “Nggak, Melati!” “Arya, sudahlah talak saja perempuan pembangkang seperti dia. Lagi pula, dia juga mandul tidak bisa memberikan keturunan untuk masa depan kamu,” ucap Dini. Kedua bola mata Melati hendak melompat dari tempatnya saat mendengar pernyataan dari ibu mertuanya. Dia benar-benar tak menyangka dengan Dini yang tidak ada rasa pembelaan yang padahal sama-sama kaum perempuan yang ingin mendapatkan perlindungan. Namun, Dini justru seakan mendukung keinginan anaknya. Lelaki yang tak bermoral, tetapi memiliki pangkat tinggi siapa lagi kalau bukan Kapten Arya Andika suami dari Melati Putri Anjani. “Tapi, Bu ....” “Sudahlah talak saja sekarang. Masih banyak perempuan cantik, pintar juga sederajat dengan kamu, dan bisa memberikan keturunan untuk Ibu daripada dia yang mandul.” “Bu, aku tidak mandul hany—” “Hanya apa? Lima tahun lebih kalian menikah, tapi sampai sekarang kamu nggak hamil-hamil. Apa namanya kalau bukan mandul?” potong Dini yang menatap Melati dengan tatapan rendah. “Baiklah. Melati, hari ini aku talak kamu,” ucap Arya dengan tegas seakan hati Melati benar-benar rapuh saat perpisahan detik itu juga bukan lagi istri dari Kapten Arya. Melati berusaha kuat untuk tidak meneteskan air mata dari para manusia tidak bermoral itu. Dia mengangkat gagang koper lebih tinggi lagi. “Baik. Aku terima talak kamu, Mas. Dan, aku akan segera memproses perceraian kita ke pengadilan. Aku tunggu kamu di sana, jangan jadi lelaki pengecut!” Melati tadi berpikir untuk tidak melibatkan Arya dalam proses perceraiannya kelak. Namun, dia berubah pikiran saat mereka mengatainya dengan seenak jidat untuk melihat kekuatan mereka. Menurut Melati, proses perceraian akan tetap terlaksana jika kasusnya yang sulit dimaafkan. “Melati, jaga omongan kamu!” “Kamu yang yang harus jaga nafsumu! Pangkatmu saja yang tinggi, tapi otakmu pendek, Mas.” Kedua tangan Arya mengepal, dia pun ikut terpancing emosi lalu segera mengusir Melati dari rumahnya. “Sekarang kamu bisa pergi!” “Aku akan pergi dari sini dan tak akan menginjakkan kakiku di rumah yang tak menghargaiku. Permisi!” Melati tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Air matanya pun tak kuasa dibendung saat mengingat kejadian hari ini yang begitu sial seumur hidupnya. Dia menarik koper di atas aspal dengan lemas seakan dunianya hancur lebur saat mendengar kata ‘talak’ oleh lelaki yang begitu dia cintai. Melati seketika menghentikan langkahnya. “Ya Allah, aku harus ke mana?” “Ayah, ternyata apa yang engkau ucapkan sebelum aku meminta restu itu benar. Mas Arya memang tidak bisa menjadi suami yang melindungiku.” Melati menawar kepada ayahnya sebelum meninggal yang sekarang menjadi sebatang kara itu agar diberi restu saat bertunangan dengan Arya. Padahal ayahnya Melati sudah memiliki firasat dengan kapten pilot itu yang sebagaimana itu adalah profesi yang mudah terkecoh dengan suatu hal. Bukan artinya pilot itu dipandang sebelah mata oleh sebagian kaum. Melainkan, firasat seorang ayah kepada anaknya sangatlah tinggi. Dia menyeka air matanya lalu jemarinya merogoh ponsel miliknya untuk menghubungi sahabatnya. “Halo, Ran? Aku boleh nggak malam ini menginap di rumahmu? Untuk malam ini saja,” pinta Melati dengan iba. “Mel, kamu diusir apa gimana? Kamu nggak apa-apa kan, Mel?” tanya Rania di seberang sana. Dia merasa ketakutan dari gerak-gerik bicaranya Melati.” “Aku nggak apa-apa, Mel. Nanti, aku ceritakan di rumahmu saja ya.” “Oke, Mel. Kamu mau aku pesankan taksi?” “Tidak usah. Aku bisa memesannya sendiri.” Melati mematikan sambungan teleponnya. Dia segera memesan taksi online untuk menuju ke rumah Rania. Tiga puluh menit lebih Melati menempuh perjalanan ke rumah Rania yang langsung disambut hangat oleh sahabatnya itu. Rania merentangkan kedua tangannya lalu segeralah Melati memeluknya. “Mel, kamu nggak apa-apa?” Melati melanjutkan tangisnya di dalam dekapan sahabatnya itu. Di saat itu, Rania justru semakin khawatir dengan keadaan Melati sampai isakannya begitu menghentakkan hatinya yang ikut pilu. Rania pun membawa Melati ke dalam untuk duduk di sofanya. Dia mengambil air minum di dapur lalu memberikannya ke Melati. “Mel, kamu minum dulu ya.” “Terima kasih, Ran.” Rania hanya menjawabnya dengan anggukan. Rania yang sudah menaruh penasaran itu pun bertanya, “Mel, apa yang terjadi? Kamu, kenapa menangis sambil bawa koper juga?” Melati menaruh gelas di atas meja lalu mengatur deru napasnya untuk menceritakannya kepada Rania. Dia menutupkan kedua matanya sebentar. “Aku sudah ditalak oleh Mas Arya.” Kelopak mata Rania melebar seketika. “Apa? Ja—jadi kalian akan berpisah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD