“Mah, tapi kan Wira juga baru kenal dengan Melati. Dia juga baru kenal sama Wira, aku takut dia juga syok saat Wira mengatakan itu,” sahut Wira.
Dia juga merasa pertemuan dengan Melati terkesan cepat. Meskipun dia suka dengan cara Melati yang mendidik anaknya, tetapi dia juga memikirkan segala aspek ketika akan mempersunting Melati dalam waktu yang cepat.
“Pah, Abil mau Bu guru sama Abil terus,” Anak kecil itu menangis meraung-raung meminta agar Wira mengabulkan permintaannya.
“Wira, Mamah yakin kamu pasti bisa meyakinkan Melati untuk menjadi ibu sambung untuk Abil.”
Lelaki itu menghela napas lalu mengusap wajahnya secara gusar. “Ya sudah Mah, nanti Wira usahakan. Tapi, Wira nggak bisa dalam waktu dekat ini.”
“Abil, nanti Bu guru Melati akan tinggal di sini. Tapi, apa Abil mau bantuin Papah sebentar, Nak?” Wira mengelus kepala putranya dengan lembut.
Menghadapi anak laki-laki memang harus dengan cara yang lembut agar si anak bisa nurut dengannya. Namun, bagi Wira menghadapi Abil lebih dari menghadapi sesama rekan kerja ataupun client yang harus memiliki ekstra kesabaran yang lebih.
Hari-hari Wira memikirkan dengan nasihat ibunya yang cukup menekan dirinya untuk segera meminang Melati.
Dia juga sudah berjanji dengan anaknya agar Melati bisa tinggal bersama yang kuncinya dia harus menikahi wanita itu agar anaknya juga merasa bahagia bebas leluasa dengan Melati.
“Malam minggu aku akan ada undangan family gathering antar maskapai tahun ini? Apa, aku ajak Melati aja sebagai pasanganku? Tapi, apa dia mau aku ajak ke acara yang cukup glamour?”
“Ah, masalah dia mau atau nggak bisa nanti aja deh yang penting aku harus usaha mengajak dia.”
Siang itu Wira pergi ke bandara lagi untuk mengecek karyawannya yang sudah mulai stabil. Dia juga akan menemui sang asisten yang akan meng-handle sebab beberapa hari dia tidak akan meng-handle pekerjaannya terlebih dahulu untuk membimbing anaknya.
“Siang Pak Wira,” ucap salah satu karyawan yang teladan.
“Siang,” sahut Wira sembari tetap berjalan.
Saat Wira melanjutkan langkahnya kembali, dia juga mendapatkan sambutan hangat dari salah satu temannya Arya.
Lelaki itu memberikan hormat kepada sang presdir. “Siang Pak Wira.”
“Siang,” sahut Wira lalu berhenti seketika saat melihat orang yang pernah mengatakan nama Melati.
Wira berbalik badan untuk menengok lelaki itu yang melanjutkan langkahnya. “Tunggu!
Lelaki itu pun menghentikan langkahnya lalu mendekati Wira karena merasa dirinya terpanggil.
Bagi lelaki itu mendapatkan panggilan dari Wira secara tiba-tiba itu kalau tidak mendapat prestasi itu mendapat teguran lebih.
Tetapi, lelaki itu tak merasa mendapat prestasi sebab untuk mengisi daftar kehadiran saja mepet, kerja juga tidak terlalu rajin-rajin amat.
Waduh, Pak Wira mau marahin gue nih? Ya ampun, salah apa gue kemarin?
“P—pak, sa—saya salah apa ya? Pak Wira tenang aja, kalau saya ada salah akan segera saya betulkan. Dan besok, saya pastikan saya tidak akan melakukan kesalahan. Pak, tolong jangan pecat saya dulu kasihan pacar saya minta dihalalin soalnya dia sedikit haram,” celetuk lelaki itu yang memohon-mohon.
Wira sampai menggelengkan kepalanya dengan salah satu karyawan yang slengean itu.
“Bukan itu. Saya mau tanya sama kamu, kemarin kamu ngomong ke Arya rindu masakan Melati? Maksudnya?” Wira mengangkat salah satu alisnya yang merasa ingin dituntaskan rasa penasaran itu.
“Oh itu aja, Pak? Jadi, si Melati itu ya istrinya Kapten Arya. Dia kan sering bawa masakan istrinya buat dibagi-bagi ke kita juga. Istrinya rajin Pak buatin masakan kesukaan dia nggak kayak pacar saya mintanya gratisan mulu,” kelakarnya.
Oh, jadi istrinya Arya? Syukur deh, aku kira Melati gurunya Abil.
“Ya sudah, kamu bisa kembali bekerja lagi. Jadi, itu istrinya Arya ‘kan?”
“Iya, Pak.”
Arya tidak memberi tahu, jika dirinya telah menikah dengan pramugari yang telah resign.
Arya juga tidak mempublikasikan pernikahannya, sehingga beberapa orang di sana tidak ada yang tahu kini dia sudah bercerai dari Melati.
Jika Rania tahu, dia sudah diberi tahu oleh Sonya sebab Sonya hanya ingin memamerkan dirinya telah mendapatkan Arya sesuai janji yang diucapkan kepada Rania dahulu.
Rania pun tak membicarakan tentang pernikahan mereka sebab dia sendiri juga tidak memiliki banyak teman akrab dan bagi Rania juga tidak gunanya.
Arya memanggil Andrew—asisten kerjanya untuk membahas kinerja terbarunya.
“Andrew, beberapa hari ke depan saya akan fokus ke kehidupan saya. Jadi, saya minta kamu handle semuanya. Apa kamu bisa tanpa menghubungi saya?”
Lelaki berwajah tegas itu pun hanya bisa mengangguk memenuhi permintaan atasannya. “Bisa, Pak.”
“Baiklah kalau gitu saya permisi dulu.”
“Silakan, Pak.”
Sore harinya Wira kembali mengantar Melati untuk pulang. Seperti biasa Melati selalu menolak, bahkan sampai bersembunyi. Namun, Abil merengek sampai meminta ke kepala sekolah untuk pulang bareng bersama Melati.
Akhirnya Melati pun memenuhi permintaannya meski dia merasa janggal untuk hari ini.
“Bu guru, Abil seneng deh kalau berangkat sama pulang sama Bu guru,” ucapnya mendongak ke arah Melati.
Melati mengangguk. “Iya, Bil. Bu guru juga seneng. Tapi, Abil nggak apa-apa kan di rumah?”
“Abil kemarin marah-marahin Ayah.”
Melati melirik ke arah Wira yang dibalas tatapannya oleh Wira seketika.
“Marah? Lho, kok marah sih? Bukannya Abil sudah diajarkan untuk patuh kepada orang tua?”
“Iya sih, tapi Ayah nggak mengabulkan Abil biar Bu guru tinggal di rumah Abil aja,” elaknya.
Melati mengerutkan kening lalu melirik ke arah Wira kembali.
Wira masih bergeming. Ingin sekali membenahi semuanya. Namun, dia juga merasa tidak enak jika masih ada anaknya.
Seakan alam memenuhi permintaannya sebab kedua mata anak kecil itu mulai sayup-sayup mengantuk karena elusan tangan Melati di ubun-ubunnya membuatnya menguap terus-menerus.
“Melati, maaf ya atas apa yang sudah Abil katakan tadi. Kamu pasti bingung dengan ucapannya. Maaf juga kalau kamu sampai tersinggung.”
Melati menggeleng. Jemarinya masih aktif mengelus kepala anak kecil itu. “Ya nggak apa-apa, Pak. Lagi pula dia akan anak kecil yang bisa asal ceplos aja bicaranya.”
“Melati, tapi apa kamu sudah punya kekasih?” tanya Wira hingga membuat Melati terkejut.
“Ma—maksud Pak Wira ini apa ya?” Dia butuh penjelasan lebih dari pertanyaan itu.
“Maksud saya, apa kamu punya kekasih dalam hidup kamu? Pacar atau apa gitu?”
Melati menyunggingkan bibirnya. “Jangankan kekasih Pak, saya saja untuk dekat dengan lelaki masih menaruh rasa trauma besar.”
Kini Wira yang giliran merasa penasaran lebih dengannya. “Apa trauma? Memangnya kamu habis kenapa dengan lelaki sampai trauma?”
“Saya ini kan janda yang baru saja selesai masa iddahnya. Mana ada rasa enak untuk mendekati lelaki dalam waktu dekat? Saya nyaman pada posisi ini, Pak. Pak Wira pasti terkejut kan mendengar status saya? Sebab memang sebagian besar menganggap janda itu lemah dan memalukan,” ucap Melati yang merendahkan dirinya.
“Kata siapa lemah, Melati? Saya juga tidak memandang status kamu seperti apa. Tapi, apa kamu mau mengabulkan permintaan Abil untuk satu ini?”
Lagi-lagi Melati dibuat bingung dan terkesiap mendengar kata ambigu itu. “Ma—maksud Pak Wira gimana ya?”
Wira menghembuskan napas lalu menghentikan mobilnya seketika untuk membahas hal penting di dalam hidupnya.
“Apa, kamu mau meneruskan tugas sebagai ibu sambung untuk putra saya?” ucap Wira hingga membuat jantung Melati berdebar-debar kuat.
Apa, Pak Wira mengajakku menikah dengannya?