Seteleh serangkaian acara selesai, Davit segera membawa koper Lintang ke bagasi mobilnya. Pria itu akan membawa Lintang tinggal di rumah pribadinya. Tidak enak kalau ia yang hanya menikah kontrak harus tinggal di rumah mamanya, takut kalau mamanya curiga.
“Pak Davit,” panggil Lintang setelah Davit selesai menutup bagasinya.
“Iya?” tanya Davit seraya menggulung lengan kemejanya.
“Saya sudah tanda tangan kontraknya,” kata Lintang.
“Oh, bagus,” jawab Davit. Lintang menggigit bibirnya mendengar jawaban Davit. Davit sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun. Sekarang Lintang tahu, orang paling tidak berperasaan yang pernah dia temui adalah Pak Davit.
“Em … kenapa Pak Davit tidak menyerahkan kontraknya langsung sama saya?” tanya Lintang yang penasaran.
“Biar kamu tidak bisa request isi kontraknya,” jawab Davit. Jawaban Davit benar-benar di luar perkiraan Lintang. Lintang pikir Davit akan menjawabnya sibuk menyalami tamu atau paling tidak memang sengaja menitipkan ke pengacara. Namun jawaban Davit membuatnya sadar bahwa kontrak ini hanya sepihak. Seluruh isi juga dari Davit yang mengajukan.
“Tapi kamu tenang saja, saya tetap akan menafkahi kamu seperti suami pada umumnya,” ucap Davit membuka pintu bagian samping kemudi. Lintang menatap pintu mobil yang sudah terbuka.
“Masuklah!” titah Davit. Lintang mengangkat sedikit gaunnya dan segera naik ke mobil suaminya. Lebih tepatnya suami kontraknya.
Davit segera memutari mobilnya dan naik ke bangku kemudi. Tanpa sepatah kata lagi, Davit segera menjalankan mobilnya menuju ke rumah pribadinya yang belum lama ini ia beli. Sedangkan Lintang, di tempat duduknya Lintang hanya bisa memilin-milin tali tas yang tengah ia bawa.
Sesekali Lintang akan menatap jalanan malam yang masih padat. Ini sudah pukul sebelas malam, biasanya Lintang masih bekerja di jam segini. Lintang menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Seharusnya tidak kerja sehari bisa membuat Lintang merasa hidupnya lebih berwarna, tapi itu hanya harapan. Lintang memejamkan matanya, ia ingin terlelap karena rasa kantuk sudah mendominasi.
“Lintang, jangan tertidur. Saya tidak mau menggendong kamu,” ucap Davit yang membuat Lintang segera membuka matanya. Lintang merasa malu mendengar ucapan suaminya. Lintang merasa dirinya tidak gemuk, tapi Davit tetap tidak sudi menggendongnya,
“Eh, Maaf. Saya sedang mengantuk saja,” ucap Lintang. Davit tidak menanggapi.
Selama perjalanan, Lintang menahan rasa kantuknya yang teramat berat. Tidak jarang perempuan itu hampir terbentur bagian dashboard mobil. Davit mengencangkan laju mobilnya karena melihat Lintang yang mengantuk berat.
Tidak berapa lama, mereka sampai di kediaman Davit. Rumah yang tidak terlalu besar, berada di antara perumahan elit lainnya. Davit segera menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumahnya. Lintang menatap suasana perumahan di mana rumah berjejer rapi. Dulu ia sangat ingin punya rumah di perumahan, dan kini ia bisa memijakkan kakinya di sana, itu juga karena menikah dengan Davit.
“Lintang, bukain pagarnya!” pinta Davit. Lintang menunjuk dirinya sendiri tidak percaya sedangkan Davit menganggukkan kepalanya.
“Iya bukain pagarnya sana!” titah Davit lagi.
Lintang menekan hatinya untuk terus bersabar, perempuan itu dengan susah payah turun dari mobil. Gaunnya sungguh mengganggu pergerakannya. Lintang turun dan membukakan pagar rumah Davit, untunglah pagarnya tidak terlalu tinggi dan ringan.
Setelah Lintang mendorong pagarnya, Davit segera memasukkan mobilnya di pekarangan rumahnya. Lintang menutup pagarnya kembali, tidak lupa menguncinya dari dalam. Langkah Lintang sungguh terseok-seok karena mengantuk.
Davit sudah turun dari mobil dan mengambil koper Lintang. Pria itu menariknya menuju ke rumahnya. Lintang mengikuti Davit, hingga mereka masuk di rumah Duren itu.
Lintang menatap seluruh penjuru rumah minimalis milik Davit. Penataan yang rapi, lengkap dengan ruang tamu, ruang makan bersanding dengan dapur, ruang belajar dan sepertinya ada dua kamar tidur.
“Lintang, kamu tidur di kamar kanan, aku ada di kamar kiri. Ini kopernya,” ucap Davit menyerahkan koper pada Lintang.
“Ah iya, terimakasih, Pak,” jawab Lintang.
“Sekarang istirahat, saya akan membuat surat perjanjian di dalam rumah untuk kita berdua. Saya tidak suka area saya bercampur dengan orang lain,” ucap Davit. Lintang membeo, perempuan itu menatap Davit yang kini melenggang pergi memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan pelan.
Lintang menatap nanar seluruh penjuru rumah. Kini ia memiliki tempat berteduh, tapi tidak ada perasaan yang terlalu senang di hatinya. Karena sadar, kalau ia hanya istri kontrak. Setelah kontrak mereka habis, Lintang kembali bukan siapa-siapa Davit.
Lintang memasuki kamarnya, matanya membulat sempurna saat hanya ada ranjang kecil, meja kecil dan karpet bulu yang digelar di sana. Kamarnya juga sempit dan minimalis, hanya saja penataannya sangat rapi. Lintang segera mengganti pakaiannya dengan setelan tidur, tidak lupa perempuan itu menghapus sisa riasannya dengan air mawar yang dia ambil dari tasnya.
Lintang duduk di karpet bulu sembari menyelonjorkan kakinya, perempuan itu merasa lelah seharian ini harus mengikuti rentetan acara pernikahan dengan Davit.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar, “Lintang, saya boleh masuk?” tanya Davit.
“Boleh, Pak,” jawab Lintang. Lintang ingin beranjak berdiri, tapi kakinya seolah mati rasa. Sudah sangat lelah dan malas bergerak.
Davit datang membawa baskom dan handuk kecil yang tersampir di pundak pria itu. Davit berjongkok di hadapan Lintang.
“Pak, ada apa?” tanya Lintang dengan bingung saat Davit mencelupkan handuk ke baskom.
“Bersihkan muka kamu sebelum tidur. Saya tidak ingin melihat kamu jerawatan karena wajah terlalu banyak menumpuk kotoran. Di sini semuanya harus bersih, jerawat pun tidak boleh terlihat di mataku,” ucap Davit memeras handuknya dan mengusapkan handuk setengah basah itu ke wajah istrinya. Lintang menepis tangan Davit, tapi Davit kembali mengusapkan handuknya pada wajah Lintang.
“Pak, saya bisa sendiri,” ucap Lintang.
“Biar saya saja. Saya harus memastikan kalau kamu bersih dan bebas kotoran,” ujar Davit keukeuh. Lintang meremas baju yang dia pakai sendiri. Ia bingung ingin berterima kasih atau marah. Davit benar-benar memiliki bibir yang pedas dan tidak pernah berpikir apakah ucapannya menyakiti lawan bicaranya atau tidak.
“Sudah selesai,” kata Davit setelah memastikan wajah Lintang bersih.
“Terimakasih,” jawab Lintang akhirnya. Davit berdiri dan segera melenggang pergi dari kamar Lintang.
Sedangkan Lintang menatap nanar punggung Davit, perempuan itu langsung merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu saat Davit sudah benar-benar keluar dari kamarnya.
Lintang menata langit-langit kamarnya. Sikap Davit sungguh ambigu.
“Jerawat?” tanya Lintang pada dirinya sendiri.
“Besok aku akan pastikan kalau wajahku glowing tanpa satu pun jerawat yang menempel. Dasar Duren gila,” desis Lintang dengan kesal.
Di kamarnya, Davit merebahkan tubuhnya di ranjang besarnya. Pria itu menatap langit-langit kamarnya. Sesekali pria itu akan memukul wajahnya sendiri karena tingkahnya yang membersihkan wajah Lintang. Sebenarnya itu hanya akal-akalan Davit saja. Davit hanya ingin memastikan kalau Lintang baik-baik saja, tapi ia tidak punya alasan untuk bertanya. jadilah ia mengambil cara dengan bilang tidak mau melihat jerawat. Padahal Davit tahu sendiri kalau wajah Lintang meski tidak terlalu putih, tidak ada jerawatnya.
Perasaan Davit tidak karuan, pria itu menatap pintu kamarnya. Biasanya ia akan cepat terlelap, tapi kali ini Davit sama sekali tidak bisa tidur saat menyadari bahwa ada perempuan yang tengah tidur di kamar sebelahnya. Hubungan ini tampak asing bagi Davit.
“Huuhhh ….” Davit mengusap kepalanya dengan kesal.
Tiba-tiba Davit mengangkat tangannya, cincin silver melingkar di jari manisnya. Sudut bibir Davit berkedut. Cincin yang sangat pas melingkar di tangannya. Seolah ingat sesuatu, Davit segera mengirim story w******p fotonya dan sang istri yang tengah bertukar cincin. Kontak hpnya yang hanya berisi rekan dosen pun kini percaya kalau Davit memang sudah menikah. Tidak lupa otak licik Davit menyisipkan tanggal pernikahan yang mana itu sudah bulan lalu. Davit juga sudah meminta orang untuk membuatkan dokumen pernikahan dengan tanggal bulan lalu. Bagaimana pun karirnya tidak boleh hancur. Davit terlalu cinta dengan dirinya yang menjadi dosen.
*****
Pagi harinya Lintang bangun dengan tergesa-gesa. Perempuan itu melirik jam yang sudah pukul enam pagi. Lintang segera keluar dari kamarnya dan menuju kamar mandi. Namun saat akan membuka pintu kamar mandi, ia sama sekali tidak berhasil.
“Pak, Pak Davit … Apa Pak Davit ada di dalam?” teriak Lintang dengan kencang.
“Ini waktu saya menggunakan kamar mandi,” jawab Davit dari dalam.
“Pak saya kebelet pipis. Bisa lebih cepat gak, Pak?” tanya Lintang yang masih menggedor pintu kamar mandi dengan brutal. Lintang benar-benar kebelet dan sudah berada di ujung, membuatnya menggedor pintu kamar mandi membabi buta.
“Saya sudah bilang kalau jam segini waktu saya menggunakan kamar mandi,” jawab Davit.
“Pak apa menggunakan kamar mandi harus sesuai jam?” tanya Lintang dengan kesal.
“Saya sudah tempelkan jadwalnya di pintu,” ucap Davit yang membuat Lintang berhenti mengetuk pintu kamar mandi Davit. Lintang mendongak, matanya membulat nyaris copot saat melihat jadwal kamar mandi.
Jam lima sampai jam setengah tujuh pagi, kamar mandi milik Davit. Jam lima sore milik Davit, jam tujuh malam juga milik Davit. Sedangkan selebihnya Lintang boleh memakai. Kalau buang air kondisional asal Davit tidak di kamar mandi, Lintang boleh memakainya.
“Pak Davit …. apa-apaan ini?” teriak Lintang menendang pintu kamar mandi dengan kencang.
“Ingat, Lintang. Ini rumah saya, kamu harus mematuhi peraturan yang ada,” ucap Pak Davit yang membuat Lintang ingin pingsan saking kebeletnya.