Mengikuti ujian seleksi itu tidaklah mudah. Renata nyaris gagal selangkah lagi, tapi ia berhasil beradu debat dengan sang ayah mengenai dirinya yang tidak diperbolehkan untuk berangkat. Dengan sikapnya yang sangat kritis, ia mempertanyakan alasan Dito yang logis tidak memperbolehkan dirinya untuk di kirim ke New York. Renata menyebutkan jika nilai dan kualitasnya sebagai dokter mendapatkan nilai yang tertinggi.
Renata akan berbesar hati menerima penolakan dirinya jika hasil akhir ujian miliknya tidak masuk standar penerimaan, tapi jika hanya perasaan seorang ayah yang menjadi penilaian akhirnya ia sangat menolak dan tidak menerima. Pernyataan Renata sangat di dukung oleh banyak dokter-dokter lainnya dan membuat Dito kalah pendapat. Dengan sangat terpaksa ia menandatangani surat keterangan yang menyatakan bahwa Renata Putri Wiguna adalah salah satu dari 10 dokter yang di kirim ke New York selama setahun penuh.
Menerima SK miliknya langsung dari tangan sang ayah membuat tangannya bergetar. Air mata bahagianya nyaris tumpah. Tanpa rasa malu ia langsung memeluk sang ayah di depan semua orang. "Makasih Papa atas ijinnya. Rere yakin Rere bisa buat Papa bangga" ucapnya sambil menangis tersedu.
"Hati-hati dan jaga diri mu disana. Kamu tahukan Kak pergaulan disana sangat bebas. Papa ngga mau denger kabar kamu hamil duluan disana." Renata mendelik kesal.
"Pah omongan orang tua adalah doa. Papa doainnya yang ngga bagus."
"Amit amit sayang. Pokoknya inget selalu pesan Papa. Jangan lupakan sholat, sering-sering kasih kabar dan selalu jaga diri."
"Iya Papa. Rere akan ingat semua pesan Papa."
Ayah dan putrinya itu saling berpelukan. Momen indah itu di abadikan oleh banyak orang termasuk Rifki yang terharu melihat usaha Renata yang sampai melawan Papanya demi menggapai mimpinya.
***
Bandara John F. Kennedy - New York
Seorang gadis dengan tampang lusuh, rambut yang sedikit acak-acakan berjalan menyusuri area kedatangan dengan sebuah koper besar di tangan kanannya. Menempuh 20 jam lebih di pesawat dengan 2 kali transit membuat tak hanya Renata kelelahan dan jetlag, tapi juga teman-teman satu rombongannya kelelahan.
"Mau minum?" tanya Rifki sambil mengulurkan sebuah botol air mineral yang baru saja ia beli. Renata tersenyum simpul, "Itukan punya kakak. Minum aja gih."
"Kamu keliatan butuh cairan, aku sih gampang. Kalo masih ada sisa aku minum kalo ngga nanti beli lagi."
"Ya udah aku beli sendiri deh," ucap Renata sambil beranjak pergi mencari mesin penjual minuman tapi lengannya di tahan oleh Rifki. "Udah minum punya ku aja. Ngga usah banyak protes." Renata menerima botol air mineral tersebut yang sudah di buka tutupnya oleh Rifki. Ia tingga membuka mulutnya dan meneguk kesegaran air putih khas New York.
"Makasih Kak minumnya." Rifki mengambil sisa air di botol yang di pegang Renata lalu meminumnya hingga habis. Renata merasa ngga enak karena Rifki meminum air sisa. "Ah segar." Rifki membuang botol kosong itu ke dalam tempat sampah.
"Lama banget sih ini yang jemputnya." Keluh Rifki sambil menarik Renata untuk duduk di sampingnya. Kepalanya ia sandarkan di bahu kanan Renata. Gadis itu tak merespon apapun. "Tahu nih. Mereka ngga mikir ya kalo kita semua ini jetlag. Pengen rebahan aja nih rasanya."
Renata melirik kearah Rifki yang kembali memejamkan matanya di bahunya, "Ini malah lanjut molor lagi."
"Capek Nat. Bentar doank sampai pihak rumah sakit jemput." Renata berdehem. Ia memilih membuka ponselnya dan berkabar dengan orang rumah. Meski ia tahu keluarganya pasti menerima pesannya pada tengah malam, tapi ia tak sabar ingin memberi kabar kalau dirinya selamat tiba di Amerika.
Ia jadi teringat beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Amerika, keluarganya sibuk ingin mengantar ke Bandara. Bahkan papa dan bundanya sepakat untuk mengantarnya sampai ke Amerika. Namun semua itu ia tolak. Ya kali malu entar papa bundanya rempong sendiri. Keberangkatannya ke Amerika benar-benar mengharukan.
Abel sang Bunda tak berhenti menangis dan memeluknya. Ia tak pernah melihat bundanya bersikap seperti itu. Mengingat itu matanya jadi berkaca-kaca dan semua itu tak luput dari pantauan Rifki.
***
Flashback
Renata dan keluarga besarnya sudah tiba di hotel yang tak jauh dari Bandara. Mereka semua bermaksud ingin mengantar putri satu-satunya keluarga mereka yang akan bertugas sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta ternama di New York selama setahun penuh.
Selama satu minggu sebelum keberangkatan semua anggota keluarganya tiba-tiba selalu ingin dekat-dekat dengannya. Adik laki-lakinya yang kembar bergiliran mengajak sang kakak kencan romantis berdua. Renata sampai kaget dibuatnya.
Tak hanya adik kembarnya saja, Papa dan Bundanya pun melakukan hal yang tak kalah aneh. Ia dipaksa tidur di kamar orang tuanya, mengingat kembali masa kecilnya yang tidur sekamar bertiga. Renata tidur di tengah ranjang dan di apit oleh kedua orang tuanya.
Renata sedikit kesal karena perlakuan keluarganya terlalu berlebihan tapi justru itu yang nanti akan ia rindukan selama setahun disana. Ia sangat menikmati sekali perlakuan tak biasa keluarganya. Tibalah saatnya mereka mengantar Renata ke Bandara Seokarno-Hatta. Pesawat yang akan membawa rombongan dokter-dokter muda dan berprestasi itu akan lepas landas tepat tengah malam.
Renata dan keluarganya sudah ada di bandara dari pukul 9 malam. Setelah melakukan pengecekan barang-barang, Renata pun berkumpul kembali dengan keluarganya. "Kak, Papa temenin kakak ya ke Amerika" ucap sang Papa khawatir.
Renata tersenyum, "Pa... Kakak ngga perlu di anter. Lagian kakak kan pergi ke sana bareng sama temen-temen yang lain. Lagian emang Papa udah siapin berkas-berkasnya?"
"Nih papa udah bawa passpor dan visa buat nyusul." Dito mengeluarkan buku kecil dari dalam tas kecilnya membuat sang istri kesal. "Loh Pa kok Papa ngga bilang-bilang sih ngurus visa. Tahu gitu Bunda ngurus sendiri juga."
Renata tertawa. "Pokoknya papa dan bunda cukup doakan kakak dari sini biar kakak selamat sampai sana ya."
"Papa khawatir nak. Apalagi ini kali pertama kakak pergi sendirian tanpa keluarga. Mana tegalah Papa lepas anak gadis papa sendirian. Gimana nanti kalo nyasar disana. Amerika itu luas sayang. Kakak perginya pending aja ya biar papa anter kakak ke sana setelah itu papa balik lagi ke Indonesia."
"Tenang aja Om. Renata aman kalo ada saya." Celetuk Rifki yang datang entah dari mana. Dito langsung menunjukkan wajah yang tak bersahabat dengan pria yang selalu menempeli putrinya.
"Justu karena ada kamu saya makin khawatir anak gadis saya kenapa kenapa," ucap Dito ketus. Abel dan Renata tertawa melihat tingkah mereka. Selalu tak pernah akur tiap kali bertemu. "Jangan galak-galak sayang. Siapa tahu dia calon mantu kita." Dito menatap istrinya kesal.
"Aamiin ya allah. Makasih doanya bunda." Rifki tampak nyaman memanggil Abel dengan sebutan bunda juga karena dari awal Rifki mendekati putrinya hanya Abellah yang memberikan lampu hijau untuknya. Maka dari itu Rifki terus maju pantang menyerah perlahan mendekati Renata karena sudah mengantongi ijin dari Abel.
"Sama-sama calon mantu."
"Bunda apaan sih ah." Renata salah tingkah, wajahnya memerah karena malu. "Iya nih bunda. Apaan sih pake manggil calon mantu segala ama dia. Dih papa belum setuju loh."
"Nanti juga setuju. Bunda mah yakin kok."
Rafka dan Rafly menginterupsi ketiganya dan mengabarkan kalau Renata dan Rifki harus segera masuk ke dalam ruang tunggu pesawat. Suasana kembali menjadi haru. Renata menangis dalam pelukan orang tuanya. Begitu juga saat berpisah dengan sikembar ia tak kuasa menahan tangisnya.
"Hati-hati ya kak. Kalo pulang jangan lupa bawain cewek bule buat gue" ucap si bungsu Rafly membuat Renata menggeplak kepalanya. "Sialan lu. Loe kira baju kotor bisa masuk ke koper."
"Duh gue pasti kangen ngga ada yang bakal ngegeplak kepala gue lagi nanti kalo elo pergi Kak."
"Sialan lu berdua. Tapi gue bakalan kangen geplain kepala kalian. Miss you guys."
"Miss you too kak," sahut si kembar berbarengan. Dengan berat hati Renata pun pergi masuk ke dalam ruang tunggu pesawat. Sekilas ia sempat melihat Rifki berbincang dengan sang Ayah. Ia penasaran apa yang di obrolkan oleh sang papa kepada Rifki.
Flashback off.
***
Yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Renata dan rombongan langsung di giring menuju sebuah bus yang akan membawa mereka menuju asrama yang akan mereka tempati selama tinggal disana. Renata memilih memejamkan matanya selama perjalanan menuju asrama dibanding melihat lihat kesibukan kota New York seperti teman-temannya.
Mereka di antar ke sebuah gedung. Gedung asrama untuk pria di sebelah kiri sedangkan gedung untuk wanita sebelah kanan. Renata dan teman-temannya yang lain sudah mendapatkan nomor kamar dan juga room mate. Rifki sekamar dengan Denis Sumargo sedangkan Renata sekamar dengan juniornya yang masih dokter umum, Amanda Wilona.
Renata memberengut kesal saat di umumkan nama Manda yang akan menjadi teman sekamarnya. Renata kesal karena dari gosip yang beredar Amanda menyukai Rifki. Amanda mengaku tak bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Rifki karena tak enak dengan Renata. Renata semakin tak suka dengan Amanda karena ia gadis yang sangat menyebalkan. Manis di muka tapi dibelakang menyeramkan. Pura-pura menjadi gadis yang lemah agar banyak menarik simpati orang.
Tak heran Amanda mempunyai banyak teman di rumah sakit, sedangkan Renata hanya memiliki Rifki dan Anjani yang menjadi teman setianya selama ini. Renata berpikiran tak masalah kenal dengan banyak orang tapi ia hanya membuatuhkan orang yang benar-benar tetap tegar di sisinya di kala ia senang maupun susah dan itu yang ia lihat selama ini saat berteman dengan Rifki dan Jani.
Sayangnya Jani tengah hamil muda jadi ia tak bisa ikut dalam perjalanan mereka ke Amerika. Jika saja Jani ikut mungkin ia akan dengan senang hati bertukar pasangan sekamar. Tapi ya sudahlah selama Amanda tidak mengusik hidupnya, ia akan bersikap biasa aja.
"Kak Rere, mau mandi duluan apa Manda dulu yang mandi?" tanya gadis itu saat Renata akan mencoba beristirahat. "Loe duluan aja. Gue mau molor ngantuk." Jawab Renata dingin.
"Yaudah Manda mandi duluan ya Kak."
"Hemm..." Setelah itu Renata sudah tak ingat lagi karena sudah terbang ke alam mimpi.