"Tapi bu..., bocah itu masih sangat kecil. Bukannya aku menolak, tapi dia masih anak-anak kan? Apa bukannya malah tambah ruwet?" Aku menatap tajam ke arah seorang lelaki yang baru saja menolak ide perjodohan ini. Semoga saja dia tetap menolaknya. Ya Tuhan, aku sudah tidak punya lagi cara untuk menolak pernikahan terpaksa ini.
Aku, yang hanya mendengar saja percakapan orang-orang dewasa di ruang tamu keluarga, tidak mau turut campur. Wajahku tampak datar, aku sungguh tidak tertarik untuk ikut terlibat percakapan itu. Lagipula percuma saja aku ikut berbicara atau sekedar mengungkapkan apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan. Perjodohan ini juga tidak aku inginkan kok. Aku sudah punya kekasih hati. Tapi aku ingat betul apa kata ibu, aku harus membalas budi bapak dan bunda yang sudah mengasuhku selama ini.
Sejak ibu meninggalkanku untuk selama-lamanya, menyusul Mbak Murni. Menjadikanku sebagai anak piatu di usia lima belas tahun. Kenapa hanya piatu? Bukan yatim piatu? Karena aku tidak tahu dimana ayah kandungku berada hingga sekarang. Sebelum menutup mata selama-lamanya, ibu berpesan padaku untuk patuh dan menurut pada pakde dan bude Harun, yang sekarang aku panggil bapak dan bunda.
"Ingat ya nduk, jangan menyusahkan mereka. Walaupun mereka pakde dan budemu, tapi tetap saja tidak ada darah mereka mengalir di tubuhmu nak. Turuti apa permintaan mereka, selama itu tidak syirik. Berbaktilah pada keduanya, sebagai pengganti ibu." Itu ibu ucapkan hanya beberapa jam sebelum menutup mata selama-lamanya. Kering sudah airmataku, hingga aku tidak mampu lagi menangis, bahkan saat jasad ibu masuk ke liang kubur.
Kepergian bapak saat aku masih berumur lima tahun, meninggalnya Mbak Murni dan meninggalnya ibu, adalah peristiwa yang menghabiskan air mataku. Hingga aku menjadi gadis pendiam dan tertutup, tangguh dan rapuh saat bersamaan.
Sampai kapanpun, nasehat ibu akan selalu aku ingat dan aku turuti. Aku harus menjadi anak yang berbakti bagi bapak dan bunda. Menuruti apa permintaan mereka, sebagai tanda balas jasa.
"Renata bukan bocah lagi Nak Rendra. Umurnya sudah dua puluh empat tahun. Dia juga sudah bekerja sejak lulus kuliah. Renata gadis yang baik dan sabar. Ibu yakin, dia mampu untuk merawat Aliesya dengan baik." Suara bunda memecah kesunyian yang sempat menyergap di ruangan ini.
"Ren, tolong pertimbangkan lagi. Semua ini demi Aliesya agar dia bisa tumbuh dengan sempurna, tetap ada figur seorang mama baginya." Suara seorang perempuan lain terdengar. Kepalaku menoleh ke arah beliau. Seorang perempuan paruh baya yang terlihat sangat cantik. Ibu Mayang, mamanya Mas Rendra, mantan mertua Mbak Keyna, yang sebentar lagi juga akan menjadi mertuaku. Aaah lakon cerita macam apa yang aku jalani di hidup ini?
"Apakah kalian sudah tanya pada Renata? Apakah dia mau menerima ini semua? Aku menolak karena juga memikirkan perasaan Renata mah. Status pernikahan ini hanya pernikahan siri karena aku juga sudah menikah. Dia akan jadi istri ketigaku! Memangnya dia mau?" Suara bariton Mas Rendra terdengar bagai petir di siang bolong tanpa hujan. Akhirnya sekarang semua baru menyadari bahwa aku ada, bahwa pendapatku juga diperlukan.
Semua mata tertuju ke arahku. Baiklah, sekarang aku merasa seperti pesakitan yang sedang menanti vonis. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, melihat ke arah bunda yang tampak sangat memohon padaku.
"Sa.. saya..."
Tapi belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, ada suara seorang anak perempuan yang memanggilku dengan sendu. Matanya sudah berkaca-kaca. Aliesya, sesungguhnya adalah keponakanku tapi mungkin akan segera menjadi anak tiriku jika aku menyetujui ide pernikahan gila ini.
"Ibu... jadi mamanya Liesya ya?" Satu kata berjuta permohonan diucapkan oleh anak perempuan berusia sebelas tahun ini. Sejak dimulai pertemuan, dia tidak mau lepas dariku. Duduk di sampingku dan memeluk lenganku erat, seakan takut akan kehilanganku.
"Nak Renata, Aliesya sungguh menyayangimu. Secara fisik kamu sangat mirip mamanya, mungkin itu sebabnya dia sangat dekat denganmu. Baik tante dan om, juga bapak dan bundamu, pasti menjadi sangat egois kali ini, karena kami tidak memikirkan perasaanmu nak. Tapi kamu kan tahu kondisi Aliesya bagaimana. Hanya kamu yang bisa dekat dengannya. Tolong pertimbangkan lagi." Tante Mayang coba mempengaruhiku.
Sekali lagi aku menebar pandangan ke semua yang ada di sini. Berhenti agak lama pada mata bunda yang menatapku penuh permohonan. Terakhir, mataku dan mata Mas Rendra bersirobok cukup lama. Wajah tampan lelaki berusia pertengahan tiga puluh itu tampak lelah. Aku tahu dia terbebani, tapi sebagai seorang perempuan, aku yang paling dirugikan.
Aku tak mampu lebih lama lagi menatap mata tajam Mas Rendra. Kuelus lembut rambut Aliesya. Aku mengambil nafas dalam dan menahannya sedikit lebih lama di paru-paru sebelum akhirnya jawaban itu kuberikan.
"Sedari awal, saya tidak pernah menolak permintaan bunda akan hal ini. Hanya saja, saya juga harus melindungi diri saya sendiri. Saya ingin ada hitam di atas putih, jika nantinya saya dan Mas Rendra menikah."
Semua mata menatap ke arahku, pandangan mata mereka sama: tatapan mata penuh pertanyaan. Hitam di atas putih? Untuk apa?
"Tapi Nak Renata, maaf, itu untuk apa? Apakah diperlukan?" Tanya Tante Mayang dengan suara penuh kelembutan.
"Tante, jika saya menikah dengan Mas Rendra, maka saya akan menjadi istri ketiga bukan? Sementara, masih ada Kak Felicia yang menyandang status istri resmi Mas Rendra. Dalam hal ini, saya yang pasti akan dihujat oleh orang-orang yang tidak tahu menahu apa sebabnya pernikahan ini terjadi. Apalagi ini sebuah pernikahan siri. Saya juga akan bertindak egois, tidak hanya kalian. Tapi saya juga harus melindungi diri saya sendiri, terutama perasaan saya. Jika Mas Rendra setuju, saya tidak keberatan bahkan jika akad nikah dilangsungkan esok." Jawabku dengan suara bergetar menahan tangis.
Terbayang wajah Mas Fadly yang menolak aku putuskan sebulan lalu. Dia tetap bersikeras bahwa kami bisa melanjutkan hubungan ini. Dia bahkan langsung datang ke rumah untuk melamarku, tapi tentu saja ditolak oleh bunda, karena bundalah pencetus ide ini.
"Jika kamu tidak berniat, lebih baik tidak usah terjadi pernikahan. Aku tidak mau terikat dengan adanya hitam di atas putih untuk apapun itu." Suara Mas Rendra terdengar bagai sembilu yang menusuk telingaku. Aku tersenyum samar padanya. Dia kira, dia yang dirugikan di sini? Heiii, mana ada pihak lelaki yang dirugikan saat terjadi pernikahan siri?
"Rendra! Maaf Nak Renata, katakan saja semua persyaratanmu, kami akan turuti." Kali ini suara berat dan berwibawa milik Om Bastian yang terdengar. Semua tidak ada lagi yang berani bicara. Hanya suaraku yang menginginkan adanya hitam di atas putih untuk hal-hal yang akan melindungi hatiku.