Hartono memanggil putrinya. Dani masuk dengan wajah datar tanpa senyum.
"Gimana Pi.?" Dani menduduki sofa di samping Hartono menghadap Cua.
"Oke, semua sudah beres. Silahkan temani Cua membeli baju kerjanya." Hartono berdiri menuju mejanya.
Cua masih terus mencubit dirinya, apa ini mimpi.? Apa ini hanya kamuflase yang membuatnya setengah sadar.
"Cua.... Hei... Cua..." Dani memanggil Cua, kerena Cua tidak menyahut juga, Dani melempar Cua dengan tisu dalam genggamannya.
"Eeeeh... Iiiii... Iya... Sory, spechles aku." Mengusap wajah polosnya dengan kedua tapak tangan. "Hmmm... Boleh aku ke toilet dulu.?" Izin Cua.
"Silahkan." Sambut Hartono, mengarahkan tangan kearah toilet ruangannya.
Dalam toilet Cua melihat mobile bankingnya. "Ooooh my God. Mereka serius." Batinnya. Cua mencuci wajahnya di wastafel menatap cermin.
"Mimpi apa aku kemaren.? This is real my job." Berkali-kali mengusap wajahnya. Cua menarik nafas dalam mengatur langkahnya keluar dari toilet.
"Hmmm... Kita jalan sekarang.?" Pinta Cua.
"Mau kemana.?" Tatap Dani sangat dingin.
"Ehmmmm... Tapi mau ke apartemen kamu." Senyum Cua.
"Kita mampir ke butik dulu. Papi meminta gue nemenin lo. Besok hari pertama lo kerja." Dani mengambil tangan Cua berlalu meninggalkan ruangan Hartono.
"Hmmm... Sebentar." Cua melepas genggaman putrinya. Menatap Hartono dengan rasa hormat. "Om... Terimakasih. Saya pamit. Besok saya akan hadir tepat waktu." Tunduk Cua berharap Hartono akan menjawabnya.
"Hmmmm..." Hartono hanya memandang laptopnya, tanpa memperdulikan Cua.
"Permisi om." Dani kembali menarik tangan Cua, menutup kembali pintu ruangan dengan pelan.
"Saya permisi mba." Ucap Cua pada Laras secretaris Hartono.
"Ya de. Hati-hati mas Dani." Kekehnya.
Dani dan Cua hanya berlalu meninggalkan ruangan tiap ruangan yang ada di lantai kantor Hartono. Beberapa kali Cua melihat tabloit terpajang jelas wajah pengusaha sukses 'Hartono Wijaya Sukoco'.
'Siapa Dani ini.?" Batin Cua.
"Lo lihat apa seeeh." Tanya Dani saat didalam lift.
"Kamu siapa seeeh.? Kok santai banget. Trus Papa kamu kayaknya sangat peduli padamu." Pertanyaan bodoh Cua yang seharusnya tidak dipertanyakan.
"Papi... Bukan Papa." Tegas Dani.
"Iya Papi." Jawab Cua meluruskan.
"Ya iyalah, gue anak semata wayang. Tentu dia peduli." Jawab Dani sarkas.
"Hmmmm... Aku tau. Tapi kenapa kamu kayaknya nggak peduli dengan semua ini." Cua masih berwajah bingung.
"Heiii... Gadis lugu, jadi gue mesti gimana mau lo.? Mau happy-happy, jingkrak-jingkrak, trus ngedrugs, ngabisin duit keluarga gue, atau jadi simpenan.?" Wajah Dani berubah ingin tersenyum tapi ditahan.
"Yaaaah... Nggak gitu. Sayang aja, kalau kamu hanya lulus, trus tidur aja. Kenapa nggak kamu kembangkan bisnis orang tua kamu." Kekeh Cua.
"Lo ditarok didivisi apa ama bokap gue.?" Dani mengalihkan pembicaraan Cua.
"Promosi." Jujur Cua.
"Ooooh... Bareng gue besok jam 7.00 teng kita berangkat. Kalau bisa lo pindah ke apartemen gue aja. Lebih deket ama kantor." Ide Dani sambil mengusap acak kepala Cua.
"Hmmm... Temenin gue ke kampus dulu, mengalihkan jadwal kuliah ke malam." Jelas Cua mengikuti langkah kaki Dani menuju mobilnya.
"Lo yakin masih mau lanjut kuliah.?" Tanya Dani tersenyum tipis.
"Yakin." Tegas Cua. "Aku nggak boleh ngecewain Papa dan Mama ku." Kekehnya.
"Oke... Selesai dari kampus kita ke apartemen gue, lanjut ke butik." Dani merangkul tubuh Cua.
"Iiiigh... Jangan gitu aaagh. Risih aku." Cua melepaskan rangkulan Dani.
"Lo jadi cewek kaku banget seeeh." Kesal Dani sambil berlalu deluan menuju mobilnya.
Cua terdiam. Kaget melihat kelakuan Dani. "Ya iyalah.... Aku normal." Ketus Cua.
Seketika langkah Dani terhenti. "Apa... Ulangi...!!! Gue nggak denger." Dani menatap tajam ke arah Cua. Membuat tubuh Cua mundur seketika. "Ulangi..." Sarkas Dani menggema di area basemen.
Cua terdiam. Wajah mereka saling tatap dan sangat kaku.
"Denger yah, lo pikir gue suka dengan situasi ini.??? Haaaah.??? Gue bilangin sama lo, gue bantu lo. Ikhlas, dan gue mau jadi temen lo. Apa susahnya lo berteman ama gue. Haaaaaah.???" Dani membentak Cua.
Cua hanya terdiam menatap gerak bibir Dani. 'kok marah yah.???' Batin Cua.
"Hmmm... Yaaah maaf." Cua mendorong perlahan d**a Dani. Merasa sudah sangat dekat tubuh itu, membuat Cua jadi rasa-rasa gimana gitu... 'oooh my God. Gini amat cewek satu ini kerasnya.' batinnya lagi.
"Nggak perlu teriak-teriak juga, aku nggak budek." Kekehnya sambil menutup bibirnya.
"Lo ngerjain gue.?" Sinis Dani.
"Udah aaah... Jangan emosi-emosi, ntar ganteng kamu ilang." Cua membalikkan tubuh Dani agar terus berjalan menuju mobilnya.
Diperjalanan mereka saling diam. Dani mengantarkan Cua ke kampus, untuk mengalihkan jadwal kuliahnya. Mengambil kelas karyawan. Sangat-sangat membingungkan. Menambah biaya, karena kuliah malam lebih mahal dibanding kuliah reguler. "Hmmmmm."
"Lo ada duitnya.?" Tanya Dani.
"Ada... Tadi dikasih Papa kamu." Senyumnya.
"Papi bukan Papa." Dani mengalihkan wajahnya, kearah yang lain.
"Iya." Cua masih lesu.
"Udah beres. Kok lesu.?" Tanya Dani.
"Banyak biayanya. Gimana nggak lesu." Wajah Cua berubah sedih.
"Terus, duit lo masih ada kan.?" Dani memastikan Cua baik-baik aja.
"Masih, tapi berkurang banyak." Rundungnya.
"Ya udah, nanti gue bantuin kalau lo ada keperluan mendadak." Niat Dani tulus. Tapi tidak dengan pemikiran Cua.
"Maksud kamu apaan bantu aku.? Emang wajah aku susah banget yah.?" Ketus Cua.
"Setidaknya, muka lo muka miskin. Nggak ada senang-senangnya." Jawab Dani tegas.
"Biarin, yang penting aku nggak mencuri, nggak nyusahin orang lain, nggak ......" Cua terdiam.
"Nggak apa.? Lo kalau ngomong lanjutin donk. Jangan setengah-setengah." Dani mulai nyolot. "Udah ayoook cepet. Gue di tunggui Mami gue di apartemen." Dani menarik tangan Cua. Agar segera meninggalkan kampus.
Cua mengikuti Dani mengunjungi apartmen Maminya. Sangat takjub. Memiliki teman luar biasa. Tajir abiiis... Cantik, bisa nyetir, beeeegh... Siapa yang nggak suka ama Rahmadhani Widya Sukoco, gadis manado betawi. "Hmmmm..."
"Kenalin mi. Ni Cua temen Dani." Ketusnya berlalu meninggalkan Cua di ruang tamu menuju kamarnya.
"Ooooh... Saya Mami Widya." Mepersilahkan Cua duduk. 'Senyum sangat manis. Cantik, lembut. Beeeegh... Ini mamak-mamak sosialita ini. Rambut blondy, putih bersih, tatto di lengan gambar yang sama dewa. Kalau bawa pulang kampung mamak Dani ni... Habis kenak buly orang kampung Cua.' kekehnya dalam hati.
"Iya tante..." Cua sangat sungkan.
"Jangan sungkan. Dani itu anak semata wayang tante. Sifatnya aneh. Tapi dia anak paling baik." Widya sedikit menjelaskan gimana kepribadian Dani.
"Iya tante... Dani orangnya rada-rada aneh." Kekeh Cua.
"Semenjak pulang dari london dia sangat berubah. Nggak bersahabat." Ucap Widya sambil menatap Cua.
"Apa seeeh mi. Udah deh, nggak ada yang berubah kok. Papi tu, yang berubah jadi kaku." Tiba-tiba suara Dani menggema muncul dihadapan Cua.
"Yuuuk. Mi aku nginap dikosan Cua yah. Daerah slipi." Dani memeluk Widya, mencium keningnya.
"Kok di kos siiih... Ajak Cua tinggal di apartmen kamu aja. Sayang, ditinggal mulu." Pinta Widya seraya memohon.
"Belum Dani obrolin mi. Sabar yah. I love you." Dani menarik tangan Cua.
"Tunggu," Cua berlari ke arah Widya menyalami dan mencium punggung tangan itu.
"Becareful Dan." Suara lembut Widya, walau berteriak terdengar sangat sexi.
Dani menekan tombol lift, menuju parkiran basemen. Mengganti mobilnya lebih sederhana.
"Kok ganti lagi.?" Cua merasa bingung.
"Kalau pakai yang itu rentan. Takut nggak aman. Kosan lo kosan ngeri. Takut gue." Sindirnya.
Jujur Cua merasa bingung. Ini anak kenapa tiba-tiba sangat peduli padanya. Banyak PR dikepala Cua yang harus ditanyakannya. Tapi mesti memulai darimana, Cua sangat bingung. Takut Dani tersinggung, balik membentak lagi. Huuuufh...
"Kita ke butik aja, tadi ada beberapa baju kerja yang gue pesen. Tinggal lo cobain." Perintah Dani.
"Yaaaah... Aku ikut aja mana yang baik." Cua pasrah.
Saat tiba di butik, Dani disuguhkan beberapa pilihan baju kerja yang sangat elegant, dengan nilai yang fantastis.
"Bisa beli yang biasa aja nggak.?" Bisik Cua meremas lengan Dani.
"Biasa maksud lo.?" Tanya Dani tidak mengerti.
"Harganya nggak jutaan juga kali. Aku baru bayar uang kuliah, dan aku nggak punya uang sebanyak itu." Cua menggeram.
"Yang suruh lo bayar siapa.? Gue yang bayar kok." Dani membalas meremas jemari Cua.
"Iiiigh... Emang lo punya banyak uang.?" Ujar Cua kesal.
"Eeeeeh... Lo pikir, perusahaan bokap gue perusahaan ecek-ecek kaleng rombeng gitu. Itu perusahaan ternama, hotel bokap gue bejibun. Lo mau pakai baju biasa.? Apa kata klien lo.? Lo bagian promosi. Kita sama. Satu divisi. Soo... No debat." Dani memberikan black card pada kasir. Membayar total belanja mereka yang wooooow.... Amazing. Sesuatu banget buat Cua. Anak kemaren sore, udah di biarkan bermewah mewah. Ini sekali melarat... Hadeeeeh... Gantung diri kali... Hikz... Batin Cua.
"Aku nggak mau dibilang Papi kamu manfaatin kamu yah Dan. Bisa ku gantung kamu jika orang berfikir seperti itu." Ancam Cua.
Dani tersenyum, memberikan papperbag mengajak Cua pergi makan ke resto tempat Dani menghabiskan waktu.
"Yuuuukz..." Dani berlalu meninggalkan Cua yang masih bengong.
"Kemana.?" Tanya Cua.
"Makanlah." Bisik Dani.
"Aku nggak lapar." Lanjut Cua.
"Setidaknya ini sudah time makan malam, lo harus makan, karena berfikir itu punya butuh energy dan asupan yang cukup. Ngerti. Tenang aja, gue nggak suruh lo ganti. Paling potong gaji aja." Kekeh Dani.
"Tuh kaaaan... Bener... Belum kerja gaji aku udah kamu potong. Tega." Rundung Cua mengikuti langkah kaki Dani.
"Pikiran lo bener-bener kaku. Udah aaaaaah... Malas debat gue." Dani melajukan mobilnya, memarkirkan mobil di satu resto. Tidak jauh dari kos Cua.
"Dan... Ini resto mahal lhoo. Dari awal aku nggak berani masuk kesini." Suara Cua mulai terdengar lagi.
"Eeeeeh... Bisa nggak, lo jangan lihat harga mulu, itung-itung mulu. Mindset lo miskin yah. Buat beli ini itu perhitungan. Ama diri sendiri nggak usah pergitungan kali. Hidup itu di nikmati, disyukuri, bukan malah ini mahal, itu mahal, aku nggak mampu, we we we we.... males gue denger lo... Bener-bener males." Omelan Dani melebihi mak mak lagi datang bulan.
"Iya, iya... Mulai sekarang aku ikut aja." Tunduk Cua.
"Ya udah, turun. Kita makan habis dari sini pulang istirahat. Gue mau beli matras kecil nanti didepan. Sakit-sakit badan gue tidur di kos lo." Gerutunya.
Cua hanya ikut kemana arah Dani. Males debat lagi. Terkadang ada benernya omongan Dani. 'tapi dia ngomong begini, karena uang orang tuanya banyak. Naaaah aku... Udah kuliah aja udah syukur. Mau foya-foya. Beeeeegh... digantung mama papa akooooh...' batinnya.
tobe continue....