Bab 09. Meminta Restu

1088 Words
Dua Minggu berlalu, hari ini adalah kepulangan Bella ke rumah. Telat sedikit dari tengat waktu yang ia sebutkan, tetapi perempuan itu tetap ingat kembali pada kewajibannya. "Mas, kamu mau ke mana? Aku baru aja pulang lho." Pertanyaan itu terlontar karena Bella melihat banyak koper dan barang bawaan lainnya yang diseret oleh sang suami. "Ada urusan lagi, kali ini aku bakal pergi lama. Kamu bisa gantian, 'kan? Tolong diam dulu di rumah, biar aku yang kerja di luar. Itu yang sepantasnya aku lakukan sebagai suami, bukan sebaliknya. Aku mohon, jaga anak-anak selama aku pergi," balas Elwin. Kening Bella berkerut, sampai ia berkedip-kedip menyadarkan diri. "Okey okey, tapi ... kenapa banyak sekali bawaan kamu? Apa selama itu?" "Hmm ya, mungkin aku akan lama." Bella pun mengerti, tampak dari ekspresinya tidak ada daya untuk mencegah. "Oh ya, sekalian aku kasih tau kalau Gendis minta cuti di kampung, mungkin dia juga bakal lama, aku juga gak tau bakal balik lagi atau enggak. Katanya, tolong sampaikan ke kamu!" "Apa?!" Keterkejutan Bella lebih terlihat saat mendengar apa yang baru saja ia dengar itu. "Cuti apa, Mas? Dia gak resign karena nikah, 'kan?" "Biarlah Bella, dia berhak melakukan itu. Jalan hidupnya dia yang mengatur sendiri bukan kamu. Aku rasa dia memang ingin menikah di kampung, tapi untuk resign sepertinya gak mungkin, aku yakin dia akan kembali!" "Astaga ... apa ini? Dia belum pantas menikah, dia gak akan fokus ke pekerjaan kalau dia sudah berumah tangga!" Bella syok, tapi akhirnya ia menghela napas dengan sabar. "Baiklah, kamu benar aku gak ada hak mengatur ... tapi ya sudahlah, dia janji akan kembali lagi kan?" "Iya. Aku yakin dia balik lagi!" "Kenapa anak itu gak izin langsung ke aku?" "Dia bilang gak akan diberi izin, seperti sebelumnya. Kamu sempat larang dia pulang, kan? Hmm ... aku juga minta kamu jangan marahi dia, soalnya gak apa-apa tadi atas izin aku!" "Iya Mas, tenang aja asalkan dia mau balik lagi. Ya sudah, kamu hati-hati ya!" Bella sudah kembali, tetapi dua orang yang ada di rumahnya justru keluar. Namun, kedewasaan perempuan itu sangat melekat, ia tidak banyak protes memilih untuk lebih mengerti, dan harus menjalani apa yang dikatakan suaminya. "Baiklah ... aku akan tolak semua job kedepannya sampai kamu pulang demi menjaga anak-anak." *** Sementara di suatu tempat. Gendis sedang menunggu kedatangan seseorang, ia mulai jenuh, tetapi bersyukur karena harinya tidak terlalu dihiasi dengan rasa mual seperti kemarin-kemarin. "Gendis!" "Bapak!" Akhirnya seseorang yang ia tunggu datang juga. Gendis tidak lagi takut berada di apartemen pribadi milik tuannya itu. "Kamu siap?" "Siap apa, Pak?" Kepolosan Gendis tetap menghiasi dirinya, entah mengapa Gendis selalu grogi jika berhadapan dengan Elwin. "Kita berangkat Gendis, memang mau ngapain lagi?" "Oh iya ayo, tapi perjalanan ke kampung cukup jauh, mungkin kita sampai bisa besok atau nanti malam, Pak!" "Gak apa-apa, saya kuat nyetir. Kalau kamu yang capek tidur aja di mobil!" "Baik Pak!" Ya, hari ini adalah perjalanan Gendis dan Elwin menuju kampung halaman sang budhe. Menepati ucapannya, Elwin akan bertanggungjawab dan menghadapi mereka di sana. Pria itu tidak memikirkan konsekuensinya yang akan diterima nanti, baginya yang terpenting ia harus segera meresmikan Gendis sebagai istri. *** Keesokan hari. Helaan napas sudah berkali-kali berhembus, remasan tangan semakin erat seiring rasa gugup dan takut. "Tumben banget si ni orang kayak gak ada nyalinya. Biasanya sangar," batin Gendis. "Bapak ayo ngomong!" bisik Gendis menekan. Sekali lagi Elwin menghela napas panjang. Sebelum mengucapkan pria itu mengeratkan lagi genggaman tangannya. "Ibu, Bapak ... saya Elwin pacar Gendis, dari kota!" "Hah pacar? Kok bapak gak ada brefing sama sekali kalau konsepnya kayak gini?" batin Gendis. Tampak sepasang wanita dan pria paruh baya yang berhadapan dengan mereka itu tersenyum, amat tulus. "Kedatangan saya sampai ke kampung halaman wanita yang saya cintai ini karena ingin bermaksud melamar keponakan kalian," ungkap Elwin. Tentu menjadi keterkejutan bagi Gendis yang mendengarnya. Ia tidak menyangka Elwin pandai merangkai kata-kata dari rencananya sampai menjadi sebuah drama kebohongan. "Aktingnya keren, tapi kok aku geli ya. Astaga ... Gendis demi anak, ikuti saja. Jujur banget, aku merasa bersalah bohongi budhe sama pakde," batin Gendis. "Dan saya ingin besok juga melangsungkan pernikahannya. Saya akan jamin kehidupan Gendis sampai dari Bapak dan Ibu, jadi saya mohon restu kalian." Gendis sudah pasrah, semua kehidupannya memang seakan dihandle oleh Elwin. Pernikahan yang ia anggap sebagai mainan ini, hanyalah sementara, jika nanti ia menemukan pria yang ia cintai, ia akan bercerai. "Buru-buru banget, Nak? Baiklah ... asal persiapan semuanya sudah rapih kita ikuti saja bagaimana keputusan Gendis-nya sendiri. Kita yaaa gini apa adanya, asal mau menerima keadaan kami, saya selaku kakak dari ibunya akan selalu merestui!" ucap budhe, Gendis. "Kalau memang mau serius, besok Bapak undang satu kampung untuk acara, tapi kalau mau acaranya sepi-sepi, kita kumpulkan saudara-saudara saja." Kini bergantian suaminya yang memberi tanggapan. "Budhe, Pakde. Gendis mau acaranya sepi-sepi aja, biar gak repot buat acara, takut nanti kalian kecapean!" balas Gendis. "Aku takut buat acara mewah, dan semua orang tau kalau yang kunikahi ini suami majikanku," batin Gendis. "Saya sudah menyiapkan semuanya. Dari mahar dan segala kebutuhan, tapi di sini saya juga sekaligus meminta izin kepada Ibu dan Bapak untuk membawa Gendis tinggal bersama di kota setelah menikah nanti." Tentu disetujui oleh mereka, dari awal melepas Gendis bekerja di kota saja mereka ikhlas, apalagi untuk suaminya. Kedua orang tua pengganti tersebut selalu membebaskan keinginan Gendis demi rasa nyaman anak perempuan itu. "Asal kamu bisa menjaganya, mampu membahagiakannya, dan memperlakukan dengan baik kami dengan ikhlas melepaskan putri kita untuk kamu sebagai calon suami," tutur pakde Gendis. "Tapi sebaliknya, kalau kamu buat anakku itu menangis sesaat saja, kami berhak mengambilnya lagi," timpal sang budhe. Dari tutur bahasa mereka, keduanya seakan menganggap Gendis seperti darah daging sendiri. Seketika segala janji manis dan ucapan persuasif terucap lancar dari bibir Elwin. Saat itulah, semuanya berjalan dengan mulus dan sesuai ekspektasinya. *** Sementara itu di kediaman, Bella sedang menghubungi Gendis karena anaknya terus saja menangis menanyainya. "Gendis benar-benar gak ada kabar atau basa-basi sama aku Ratih, apa dia marah ya? Aku ada buat kesalahan mungkin yang aku gak sadari," gumam Bella. Kebetulan saat itu Bella sedang menenangkan putrinya yang terus menangis, dan Ratih ikut membantunya. "Saya rasa gak ada Buk, kemarin dia baik-baik aja saat pamit. Mungkin karena sibuk ngurus acara, jadi gak ada waktu buat pegang hp," balas Ratih. "Memang pernikahannya kapan si? Seenggaknya undang saya gitu, saya emang sibuk, tapi buat urusan dia pasti saya sempatkan!" "Gendis memang diperlakukan beda dengan ibu, beruntung sakitnya kemarin dia gak tau, mungkin kalau Gendis mengadu aku sebagai ketua yang paling disalahkan," batin kapala pembantu itu. "Apa aku datangi saja ke rumahnya, Ratih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD