Pernikahan berlangsung beberapa waktu tadi yang disaksikan oleh anggota keluarga dan beberapa tetangga terdekat. Semuanya terselenggara secara sepi-sepi, tidak meriah layaknya hajatan di kampung seperti biasa.
Bukan pernikahan sirih, tetapi ini hanya pernikahan yang tidak memakai resepsi atau adat. Namun, pernikahan mereka tetap sah di mata hukum dan agama.
"Walaupun mendadak, tapi pernikahan kalian buat Budhe dan pakde bahagia. Kita doakan yang terbaik buat kalian," ucap sang budhe.
"Terima kasih Budhe, Gendis sayang kalian. Pokoknya pernikahan aku disaksikan sama kalian aja aku bersyukur banget," ucap Gendis memeluk dua orang tua penggantinya itu.
"Mungkin nanti kita akan berziarah ke makam orang tua istri saya setelah ini," sahut Elwin.
Didengar jelas oleh Gendis saat pertama kali Elwin mengakui sebagai istri. Entah kenapa ada sedikit gelayar di dalam hatinya.
"Ya sudah, besok sama-sama ya kita ke makam adikku. Sekarang masuk kamar, kalian istirahat!"
"Baik Budhe!" ucap mereka bersamaan.
Saat sudah berada di dalam, Elwin menelan ludah melihat kondisi tempat tidur yang akan ia huni bersama mantan pembantunya itu, nanti.
Dipan kayu dengan kasur kapuk serta karpet licin yang menjadi alas. Terlihat keropok, tapi itu tertatan dengan sangat rapi.
"Maaf ya Pak, mungkin kaget lihat kondisi rumah Gendis yang kayak gini, tapi ini nyaman kok!"
Elwin tersenyum. Gendis sudah pasti merasa kalau majikannya itu merasa kaget, mengingat kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan dan sini ia dihadapkan dengan kesederhanaan hidup di kampung.
"Bukan masalah yang penting bisa buat tiduran," balas Elwin. Dengan masih tersenyum pria itu menghampiri dan mengusap kepala istrinya, lalu ia bertanya, "Perasaan kamu nikah sama saya gimana?"
"Takut Pak, takut Ibu Bella bakal tau. Budhe sama pakde juga tau kalau kita sama-sama bohong, dengan sembunyiin anak ini," balas Gendis.
"Gendis ... itulah gunanya ide saya yang memilih pernikahan mendadak seperti ini. Mumpung perut kamu masih rata, saya manfaatkan supaya orang-orang tua kamu, atau saudara kamu belum tau kita menikah karena apa. Untuk Bella, saya rasa kedepannya akan baik-baik saja, dan rahasia ini saya jamin sangat aman," tutur Elwin.
Gendis semakin menunduk, make up tebal yang membuatnya tampak seperti Barbie, masih sangat awet meski sudah menangis beberapa kali tadi.
"Sebenarnya bukan itu maksud Gendis, Pak. Coba deh bayangin gimana rasanya dikhianati orang yang sudah kita beri kebaikan? Mungkin seharusnya orang yang gak tau diri kayak saya ini, gak pantes lanjut hidup. Sudah banyak orang yang saya bohongi, termasuk orang-orang tua di sini."
"Seharusnya kamu simpulkan saja itu kesalahan saya, kita bisa kayak gini karena ulah saya, 'kan? Jadi, kalau pun nanti ada sesuatu saya siap tunduk di hadapan mereka untuk mengakui kesalahan tanpa melibatkan kamu!"
"Bapak janji ya? Saya sudah mau berdamai sama diri saya lhoo. Menerima kondisi ini jujur aja berat banget, saya yang diperkosa, saya juga yang hamil. Pernikahan yang gak pernah saya bayangkan terjadi tapi saya ikhlas menerima. Mungkin di luar sana yang berada di posisi saya kayak gini lebih banyak yang memilih untuk menggugurkan dan Bapak pasti jadi orang yang paling saya benci, tapi lihat apa yang saya lakukan sekarang!"
Elwin menggenggam kedua tangan istri keduanya itu, lalu ia bisikkan kata-kata cantiknya, "Saya janji akan memperlakukan kamu dengan sangat baik. Tolong pertahankan anak saya, ya. Maafkan saya sampai buat kamu berantakan kayak gini, tapi kedepannya saya akan rapikan kembali. Kamu harus bahagia dengan saya!"
"Hmm, baik Pak!" Seketika Gendis gugup, sampai menunduk seakan menghindar dari tatapan Elwin.
"Jangan panggil bapak dong, saya sudah jadi suami kamu. Setidaknya saat kita berdua saja atau di hadapan orang-orang tua kamu, biar gak ada kecurigaan!"
"Eh, terus apa dong?"
"Mas! Seperti Bella memanggilku!"
"Enggak biasa, Pak. Saya malu!" Rona merah di pipi perempuan lugu itu sangat terlihat, Elwin pun menyukai saat di mana Gendis salah tingkah.
"Belajar dari sekarang, kalau perlu belajar juga saling mencintai."
"Hah, apa?"
***
Sementara saat ini Bella sedang bersiap untuk berpergian, mengingat anak-anaknya sudah anteng dengan pembantu.
"Ratih, saya titip Ninu yaa, dia masih sama Caca. Yang perlu kamu jagain itu Amora, awas sampai dia main keluyuran!"
"Baik Buk. Hmm ... ibu mau datangi kampungnya Gendis, kah?"
"Ah enggak, mungkin nanti saja kalau dia kembali lagi saya mau minta maaf sekaligus bicara serius sama dia. Kata suami saya dia bakal balik bekerja lagi di sini. Oh ya, saya ini ada job urgent banget jadi tolong siapapun jangan ada yang kasih tau mas Elwin kalau saya pergi ya!"
"Baik Buk!"
Selepas kepergiannya, kini bergantian dengan Amora yang terlihat sudah sangat rapih. Kepala pelayan itu tahu, apa yang sudah diniatkan Amora.
"Non Mora, maaf kami menjaga amanah dari buk Bella kalau Nona gak akan diberi izin untuk pergi selama ibu di luar!"
Amora pun berdecak, melipat tangannya di d**a, sambil berekspresi jutek. "Ck, jangan kayak pembantu udik itu, Bik! Bibik itu kepala, seharusnya tau cara mengatur permasalahan. So, tenang aja aku gak akan telat pulang sebelum mama pulang!"
"Maaf Nona, tidak bisa. Saya tidak mau mengambil resiko yang akan berimbas pada pekerja lain!"
"Yaaa ... harus pinter-pinter dong ngatur-ngatur alasannya! Tenang aja nanti aku yang bela!"
Ratih menggeleng, tidak ada tanda setuju jika sudah menyangkut dengan majikan perempuannya karena Bella adalah orang paling disegani ketimbang Elwin yang menurut mereka mudah memaafkan.
"Ada satpam dan anjing penjaga di luar, silahkan kalau tidak mau dirobek baju bagus Nona, dan berakhir digendong mereka!" Seketika langkah kasar Amora terpijak kembali menuju kamarnya.
"Para pembantu di sini sangat sialan!"
***
Malam hari di sebuah pedesaan, sepasang pasutri tengah menikmati kesejukan angin yang berhembus dari pepohonan di depan halaman rumah.
"Ini kopinya Pa-eh, Mas!"
Elwin tersenyum melihat tingkah kaku Gendis dalam memanggilnya. Ia pun menarik istrinya yang super gemulai itu, agar duduk di samping.
"Duduk, Mas mau bicara!"
"Apa?" Gendis masih terlihat malu-malu.
"Kita kan sudah nikah, jadi boleh dong berhubungan selayaknya suami istri?" Elwin tersenyum intrik, membuat bulu kuduk Gendis tampak tegak.
"Maksudnya begini?" Gendis memperagakan jari telunjuknya yang ia satukan. "Gendis masih trauma ...."
Elwin benar-benar terkekeh dengan tingkat keluguan istrinya. "Kalau sudah suami istri rasanya berbeda. Kan, gak dalam kondisi mabuk seperti waktu itu!"
"Tapi Gendis gak cinta sama, Mas!"
"Tapi itu kewajiban seorang istri, Gendis ... gak harus cinta, kewajiban yaa tetap kewajiban!"
Seketika Gendis berpikir-pikir, wajah lugunya terlihat sangat menggemaskan apabila perempuan hamil itu sedang resah. Sebagai suami yang memang sudah mendambakannya, Elwin tentu saja merasa senang. Terlihat dari senyumannya yang tak terputus.
"Yaudah, ayo sekarang?" balas Gendis.