Pagar Makan Tanaman

1908 Words
Pagar Makan Tanaman RASA sakit menjalari hati Cika akan sikap Widi padanya. Selama tiga hari, Widi tak muncul di kamar kos, bahkan ketika ia berada di kampus dan masuk kelas yang sama dengan Cika, ia berusaha menghindar dari Cika agar tak bersua muka. Dan Cika pun merasa sebal padanya. Sama halnya denan Widi, Cika pun berusaha menghindar. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Widi pun, Cika tak ingin. Sebelumnya, sedikit pun Cika tak pernah merasakan apa yang kini dirasakannya pada Widi. Meski Widi bertingkah semau gue, tanpa aturan, dan doyan dekat dengan banyak laki-laki, bagi Cika, itu bukan urusannya. Namun ketika Cika tahu Widi bermain di belakang Cika. Bermain apa? Widi memulai menelepon Rio dan Rio pun begitu antusias menanggapinya. Siapa itu Rio? Rio Dewantara teman satu kampung halaman dengan Cika. Rio pun teman satu sekolah Cika tatkala mereka di SMA. Bukan hanya itu! Hubungan mereka bukan sebatas teman apalagi teman biasa. Ada yang lebih dari itu. Apa? Rio adalah mantan pacar Cika. Jalinan cinta mereka begitu manis ketika di SMA hingga suatu ketika hubungan mereka porakporanda lantaran Rio tak setia. Rio berlabuh pada gadis lain. Seorang murid baru yang cantik dan berkulit putih. Rio rela meninggalkan Cika demi gadis itu. Cika sempat terluka dan berusaha melupakan Rio. Hingga Cika pun bersua cowok lain. Dandi, seorang mahasiswa. Hubungan dengan Dandi pun kandas karena Dandi terpikat dengan cewek lain. Entahlah, terkadang Cika pun tak mengerti dengan kehidupan cintanya yang selalu gagal dan gagal. Padahal, ia selalu berusaha menjaga hubungan. Cika gadis yang setia dan tak pernah sekalipun menduakan hatinya meski tak sedikit cowok yang mendekatinya. Cika berpegung teguh akan selalu menjaga hubungan dengan seorang cowok. Namun kenyataannya; kebahagiaan tak berpihak padanya. Rio meninggalkannya. Lalu Dandi pun begitu. Cika sempat merasa hidupnya tawar karena hal itu. Namun, ia mencoba bersabar. Ia hadapi dengan senyum. Lalu tiba-tiba saja baik Rio maupun Dandi kembali mendekatinya. Di waktu yang berbeda. “Cika, kamu kos di mana?” tanya Rio ketika Cika pulang ke kampung halamannya. Ia tengah menyusuri sebuah gang untuk sebuah urusan. Hendak membeli sesuatu. Tiba-tiba bersua Rio dan cowok itu mencegatnya. Lalu mengajaknya berbincang. Cika yang tak mau bersikap buruk dengan cowok mana pun meski cowok itu pernah menyakiti hatinya, terbuka menghadapi Rio. Terlebih, Cika ingin membentangkan tali pertemanan dengan siapa pun. Terlepas orang itu menyebalkan atau tidak di masa lalunya. Cika pun menyebutkan nama daerah dimana ia kos. Rio gencar mengajaknya berbincang, malah Rio memberikan alamat rumah kakaknya dimana ia tinggal selama menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Di kota yang sama dengan Cika. Kota kembang. Rio memohon Cika agar mau singgah ke rumah kakaknya jika Cika sudah kembali berada di kota. Cika hanya mengiyakan. Ia pun enggan berjanji. Apalagi datang ke rumah cowok. Meski kakak Rio itu perempuan tapi tetap tak baik seorang gadis datang ke tempat Rio tinggal. Terlebih Rio itu mantan pacar. Rio yang menunggu resah kedatangan Cika, membuatnya tak sabar. Ia pun nekat mendatangi rumah tempat kos Cika. Ketika sampai di rumah kos itu, Cika tidak ada di sana dan nomor telepon selularnya pun tak aktif. Yang ada di sana, Widi yang kebetulan tengah malas keluar rumah. Perjumpaan Widi dan Rio menghadirkan rasa saling ketertarikan antara keduanya. Mereka berdua melanjutkan hubungan lewat telepon selular yang pada akhirnya diketahui Cika. Rio memang sudah bukan siapa-siapa Cika. Hanya masa lalu. Cika pun tak berharap antara dirinya dengan Rio menjalin kembali hubungan seperti saat di SMA. Namun jika mengetahui Rio jatuh hati pada Widi yang juga disambut Widi, tentu saja menorehkan luka di hati Cika. Walaubagaimana pun, nama Rio masih melekat di hati Cika. Jika saja Rio jatuh hati pada gadis lain, mungkin Cika akan terima dengan lapang d**a. Namun kalau harus pada Widi, sedikit pun Cika tak terima. Hatinya teramat sakit. Ia pun merasa tak dihargai oleh Rio juga Widi sebagai teman satu kamar dan teman satu kampus. Bahkan satu kelas. Widi pun sudah dianggap sahabat oleh Cika. Lalu ketika seseorang yang telah dianggap sahabat menghianatinya, apa masih pantas disebut sahabat? Jerit hati Cika begitu nelangsa. “Ma, Cika ingin pindah tempat kos!” seru Cika di telepon pada ibunya. Hatinya merintih sedih tapi ditahannya dengan segenap kekuatannya yang tersisa. “Ada apa dengan kamu?” ibunya heran. “Selama ini, kamu seperti tak ada masalah di tempat kos itu! Lho, sekarang ko malah tiba-tiba ingin pindah? Apa yang membuatmu begitu, Nak? Bukankah katamu, induk semangmu itu wanita yang baik dan sayang padamu?” Cika menelan ludah. “Tentu saja ada alasannya.” “Katakan alasannya.” “Cika tak akan bilang.” “Lho, kamu ini aneh, Cika.” “Mama, pokoknya izinkan Cika pindah tempat kos!” “Mama izinkan kalau kamu bilang alasannya,” ucap ibunya tetap dengan pendiriannya. Cika mendecak kesal. Ia menutup telepon selularnya dengan gusar. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan. Sepuluh menit kemudian, telepon selulurnya berbunyi nyaring. Dengan malas, tubuh Cika beranjak lalu mengambil benda mungil kesayangannya yang tergeletak di atas karpet. Berbaur dengan kertas-kertas juga buku-buku kuliah. Malam ini, Cika berniat untuk belajar tapi pikirannya semrawut mengingat Widi dan Rio. Juga lantaran ibunya tak memberi sinyal baik akan niatnya pindah tempat kos. Ia sudah merasa tak nyaman kalau harus tinggal di kamar ini. Satu kamar dengan penghianat. “Sepertinya Mama tahu alasanmu ingin pindah,” ucap ibunya lunak. “Apa?” tanya Cika dengan suara pelan. “Kamu ada masalah dengan teman satu kamarmu.” “Ko Mama tahu?” tanya Cika heran. “Hati seorang ibu.” Cika mendesah. “Sangat disayangkan memang jika kamu dan Widi harus berpisah kamar gara-gara kalian berselisih.” “Ma, Cika dan dia tak berselisih. Hanya…” ucapan Cika menggantung. “Hanya perang dingin?” pancing ibunya. “Tidak juga, Ma… jujur, Cika tak nyaman sekamar dengan dia. Intinya, Cika sudah merasa tak cocok lagi sama dia. Kumohon, Mama paham maksud Cika,” jelas Cika berusaha meyakinkan ibunya. Lalu ia pun kembali merajuk pada ibunya akan keinginannya yang kuat. Cika pun menegaskan jika ibunya tak juga mengizinkan, maka Cika akan tetap pindah. “Jika kamu pindah tempat kos… kamu… punya uangnya?” tanya ibunya. “Ma… bukankah di tempat yang sekarang itu, kontraknya hanya setengah tahun. Dan baru Cika tempati empat bulan.” “Berarti masih ada dua bulan. Apa mau kamu korbankan? Sayang lho… kesepakatan kos atau kontrak itu, tak ada istilah mengembalikan uang. Tidak betah itu urusan yang menyewa atau mengontrak kamar. Terkecuali karena kesalahan pemilik kos. Begitu biasanya, Cik.” “Ma, ada teman kuliah tapi dari jurusan lain, dia lagi cari kamar kos yang bulanan. Sepertinya… yang dua bulan di sini, mau Cika over saja sama dia.” “Dia… anak gadis kan?” Cika mendecak. “Ya iyalah, Mama! Masa sih anak laki… masa sih mau disatukamarkan sama anak gadis!” Terdengar tawa kecil ibunya. Bibir Cika memberengut. “Baiklah, kalau menurutmu itu baik. Kalau menurutmu dengan berpindah tempat kos itu bisa bikin kamu nyaman. Tapi, Mama tak mau lho anak Mama musuhan-musuhan kayak gitu. Tidak baik. Pamali.” “Cika tak merasa musuhan. Tapi aslinya Cika lagi kesal banget sama Widi.” “Sudah kamu petimbangkan matang-matang tentang kepindahanmu?” “Ya, Ma.” “Widi mau menerimanya?” “Dia harus mau. Ya sudah, kalau begitu, Cika mau gerak cepat, over kamar yang tinggal dua bulan, dan uang dari Elang…” “Siapa itu Elang?” “Yang mau Cika tawarin itu.” “Elang itu kan anak gadis ko namnya Elang… kayak anak laki.” “Ya… dan bukan cuma nama yang kayak anak laki. Tapi juga namanya sama dengan nama burung.” “Iya, ya, Cik. Hehehe…” ibunya menanggapi dengan kekeh nikmat. Namun, ia berusaha memahami keinginan putrinya. Dan tak mau bertanya lebih jauh lagi. “Cika mau cari kamar kos yang baru. Dan mau cari yang tidak kayak di sini.” “Maksudmu?” “Ya, gitu.” “Lantaran ada induk semangnya? Kamu mau cari yang tak ada induk semang biar bisa bebas?” “Bukaaaaaaan!” Cika jadi kesal lagi. “Lalu?” “Di sini kan bentuknya rumah, Ma,” suara Cika melemah. “Dan hanya ada dua kamar yang disewakan pemiliknya. Tidak ramai. Cika mau banyak orang biar banyak teman dan tak kesepian kayak di sini.” “Kamu mau cari yang gimana?” “Sebuah pondokan, Ma. Di kota ini banyak ko pondokan yang kamarnya banyak. Malah ada satu pondokan yang punya puluhan kamar. Ada induk semangnya juga. Ada yang pakai satpam segala. Banyak pilihan, pokoknya.” “Banyak kamar yang kosong?” “Sangat banyak.” “Kalau kamu mau tinggal di pondokan, kenapa dari awal tidak memilih pondokan?” “Karena waktu itu masih minim info. Dan kebetulan ikut Widi yang sudah duluan punya kamar kos sebelum perkuliahan dimulai.” “O ya. Cik, biaya sewa di pondokan pasti jauh lebih mahal, ya?” terdengar kekhawatiran dari suara ibunya. “Tidak juga, Ma. Asal pandai-pandainya kita yang cari. Tenang, Cika mulai cari informasi nih. Mama siapin saja uang kalau-kalau Cuka kurang buat bayarnya. Lantaran uang dari over kamar dari Elang, takutnya… dia cicil sama Cika.” Terdengar helaan napas ibunya. Selalu begitu saban putrinya menyoal keuangan. Cika pun pamit menutup perbincangan. Ia termenung malam itu. Jarum jam pendek mengarah di angka delapan. Kesepian melanda hatinya. Pikirannya berputar. Tak tentu arah. Berkelebatan dalam benaknya pondokan yang berdiri di sana-sini. Yang bangunannya kerap dilihat saban ia melintasi. Berlantai dua. Ada juga yang tiga. Penghuninya mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi. Ia sangat ingin segera menghuni salah satu pondokan itu. Sebelumnya, ia tak berani bertanya mengenai biaya sewa apalagi kontrak pada orang lain. Takut mahal dan tak akan terjangkau dengan dompetnya yang pas-pasan. Namun kini secercah harapan muncul setelah mendapat informasi yang mengabarkan jika ada beberapa nama pondokan yang kamarnya banyak yang kosong serta pemiliknya menawarkan dengan biaya sewa murah. Tepat pukul dua puluh dua, ketika mata Cika belum juga mengantuk, telepon selularnya yang tergeletak di samping bantal yang digunakan kepalanya menyandar, berbunyi. Telepon dari salah satu teman di kampus tapi beda jurusan. “Cika, kurekomendasikan Pondok Surya, ya?” kata Diani serius. Ia pun menjelaskan letak lokasinya. Cika berusaha menebak-nebak karena ia pun pernah melintasi kawasan itu. Diani pun menjelaskan dengan rinci jika pondokan itu terdiri dari lima puluh kamar tapi yang terisi tak sampai setengahnya. “Pantas murah, mungkin karena tidak laku.” “Padahal bagus bangunannya, bersih terawat. Tidak laku karena jaraknya agak jauh dari jalan utama. Ke kampus juga jauh, tak ada kendaraan lewat. Tapi tenang kan banyak ojol, ya?” “Mmmm, Diani… tak apa-pa sih agak jauh yang penting terjangkau ke kampus. Dan yang lebih utama, harganya murah.” “Sangat muraaaaaaah!” “Berapa?” Cika penasaran. Diani menyebutkan biaya per bulannya yang membuat Cika kaget karena baginya-- harga segitu terlampau murah untuk ukuran pondokan yang bangunannya bagus dan fasilitasnya lengkap. Cika pun tak sabar ingin segera esok hari untuk melihat ke lokasi. Matanya mulai terpejam tapi dikejutkan kembali dengan suara telepon selularnya. Kali ini bukan telepon. Tapi kiriman wapri. Ia lupa belum mematikan data internet. Dilihatnya pengirim pesan penting itu. Dari temannya yang lain. Bunyi pesannya begini: Cika, jangan mau tinggal di Pondok Surya, sarang hantu, lho. Bulu kuduk Cika seketika merinding dan melintas bayangan-bayangan menakutkan jika ia sampai tinggal di pondok itu. Beruntung segera diingatkan oleh temannya itu. Namun malam itu, Cika gelisah dalam tidurnya. Seakan-akan ada makhluk halus yang tak beranjak dari tempatnya berbaring.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD