Tatkala Didera Resah
ANGIN siang membelai lembut wajah Cika yang putih dan mulus. Rambut sebahunya yang baru dua hari lalu ditata sebuah salon tak jauh dari kampusnya, berkibar-kibar tertiup angin yang dihantarkan dedaunan pepohonan sekitar rumah paling besar di ujung desa itu. Cika baru dua jam tiba di kampung halaman ayahnya. Desa Sukaresmi. Ke rumah kakek dan neneknya. Cika hendak membicarakan biaya kuliah yang harus dibayar sebulan lagi. Selain itu, ia pun butuh biaya lainnya. Terutama biaya hidup sehari-hari. Tak lupa, biaya sewa kamar kos pun sudah ia ungkapkan. Bukan bermaksud membebani kakek neneknya. Namun agar keinginannya itu bisa ikut disampaikan oleh mereka berdua sebagai kedua orang tua dari Hari Sutawijaya, ayah kandung Cika.
Sudah seminggu, Cika tidak kos. Ia tinggal di rumah kos milik temannya. Temannya berbaik hati menawari tumpangan. Selain itu karena merasa simpati pada Cika yang acap curhat mengenai kesulitan keuangan yang melilitnya. Kamar Cika yang pernah ditempati bersama Widi, sudah diovernya pada Elang dan Elang pun sudah membayar dua bulan dan diterima langsung di tangan Cika. Seharusnya, uang dari Elang segera digunakan Cika untuk menyewa kamar lain. Di pondokan yang dipilihnya. Seperti rencananya yang hendak menetap di pondokan yang berkamar banyak tak jauh dari kampusnya. Namun kebutuhan tak terduga mendesaknya dan terpaksa harus menangguhkan untuk tidak dulu menyewa kamar. Sementara, ibunya tak mengetahui kesulitan yang tengah melilit anaknya. Terakhir bicara di telepon, ibunya menegaskan agar Cika segera menghubungi ayah kandungnya untuk meminta biaya kuliah dan lainnya. Dan Cika pun dirundung bingung. Meski ayahnya seorang yang bisa dibilang kaya tapi sangat sulit dihubungi. Nomor HP lelaki itu tak aktif. Selama ini pun, ia jarang kontak dengan ayahnya lantaran rasa malas yang terlalu menjeratnya. Cika suka pusing saban berhasil bicara di telepon dengan ayahnya untuk meminta biaya makan. Ayahnya selalu saja minta Cika datang menemuinya. Bukannya langsung mengirim uang lewat bank. Transfer. Itu mudah dilakukan semua orang. Cika pun yakin ayahnya punya banyak uang simpanan di bank, kenapa suka sekali mempersulit anak sendiri. Alasan kangen ingin bersua padahal bagi Cika, jika ayahnya memang merindukan perjumpaan, sebaiknya ayahnya saja yang menemuinya ke Bandung. Bukannya menyuruh Cika datang menemuinya. Rumah ayahnya jauh. Di luar provinsi Jawa Barat, di sebuah kota di Jawa Tengah. Ayahnya kerap ke daerah Jawa Barat bahkan melintasi kota Bandung jika ada tujuan ke Jakarta atau Medan. Namun, lelaki itu tak mau menemui putri kandungnya. Apalagi memberinya uang. Hal itu yang menebalkan kebencian di hati Rita, ibunda Cika.
“Jika Mama banyak uang atau ayah tirimu gajinya besar, Mama tak akan menyuruhmu meminta uang sama ayah kamu!” ucap Rita di telepon tatkala Cika hendak mengajukan keberatan agar menunda keberangkatannya menemui ayahnya. Di satu sisi, biaya kuliah harus dipersiapkan dari sekarang.
“Ya, Ma. Tidak apa-apa. Toh kewajiban seorang ayah kandung memang membiayai anaknya sendiri. Lagipula, Papa kaya raya. Banyak uang. Banyak harta. Masa sih diminta uang buat pendidikan anaknya… tak mau ngasih?” kata Cika mencoba menata harapan yang sebelumnya nyaris berkeping-keping teringat perjalanan hidupnya yang kurang mendapat perhatian dari ayahnya. Semenjak kedua orangtuanya bercerai, semenjak itu pula Cika merasa kurang kasih sayang seorang ayah. Cika tinggal bersama ibunya dalam keterbatasan ekonomi yang terus menghimpit kesehariannya. Hingga suatu hari ada lelaki yang menjadi ayah tirinya. Seorang lelaki yang baik tapi secara ekonomi pun masih dalam keterbatasan. Belum mapan. Tak mahir bisnis seperti ayah kandung Cika. Ayah tirinya hanya seorang pekerja biasa yang terkadang tak ada pekerjaan selama sekian bulan. Meski Cika cukup bahagia meski jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, ia menginginkan perbaikan. Cita-citanya yang tinggi untuk bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi mengantarkannya menjadi seorang mahasiswi. Ia tabah menjalani kesederhanaannya. Awal masuk kuliah, ayahnya memberi sejumlah uang dan ketika dibayarkan untuk membayar registrasi di awal tahun akademik pun, masih kurang. Ayahnya sempat berjanji akan mengirim uang saban bulan untuk keperluan biaya kos juga makan buat Cika. Namun, ucapan ayahnya ternyata hanya isapan jempol. Ayahnya bukan tak punya uang tapi tabiatnya seperti itu. Acap membual dan memberi harapan palsu pada anaknya sendiri.
“Cika, kamu makan dulu sana! Nenek sudah siapin makan siang buatmu! Ayo, temani kakekmu! Kalau Nenek, lagi tak enak makan, perut Nenek sedikit sakit tapi semoga sore segera membaik,” ucap neneknya sembari mengulas senyum. Mendapati Cika yang termenung sendiri di beranda rumah. Ditemai angin siang yang tak henti meniup lembut wajah dan rupawan milik cucunya.
“Cika belum lapar, Nek,” ucap Cika lalu menatap neneknya yang berdiri tak jauh darinya. Neneknya, ibu kandung ayahnya. Semenjak kecil, Cika cukup dekat dengan nenek dan kakeknya. Juga keluarga dari pihak ayahnya. Sementara pada neneknya dari pihak ibunya, Cika tak lama menikmati kebersamaannya karena neneknya yang tinggal dekat rumah ibunya, meninggal dunia karena sakit keras ketika Cika kelas tiga SD. Sedangkan kakeknya dari pihak ibunya pun sudah lebih dulu meninggal dunia bahkan ketika Cika lahir, kakeknya itu sudah tak ada di dunia ini. Dan Cika hanya mengetahui dari cerita ibunya mengenai sosok kakeknya. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, hubungan Cika dengan keluarga ayahnya cukup baik meski Cika jarang bersua ayahnya, tapi kalau dengan kakek nenek acap bersua karena mereka tinggal di desa dan jarang bepergian. Sementara tipikal ayahnya suka berpindah tempat di samping acap pelesiran hingga sulit terjadi perjumpaan. Saban liburan sekolah, Cika suka menghabiskan waktu di desa ini.
“Jangan biarin perutmu kosong, tak baik, nanti malah jadi penyakit.”
“Cika masih kenyang.”
“Kenyang apa? Sarapan pagi sepertinya kamu makan sedikit. Kenapa… tidak terbiasa makan nasi pagi-pagi, ya? Masih seperti itu di rumah Mama kamu?”
Cika tersenyum. “Suka juga, Nek. Kalau makan nasi kuning malah sering di pagi hari. Tadi pagi memang Cika tak lapar juga karena semalaman sama Bibi Rani… jajan baso, terus makan ubi rebus, singkong goreng, kacang rebus juga. Kenyaaaang banget, Nek. Enak ya di sini makanan kayak gitu serba gratis, nggak kayak di Bandung harus serba beli,” cerocos Cika.
Nenek mendesah. “Nenek ingin kamu makan siang temani kakekmu, ya?”
“Tapiiii…”
“Cika, Nenek paham kenapa kamu termenung terus, seperti tak ada gairah… kamu masih marah sama ayahmu yang tak juga mengabarimu kan?”
Cika terdiam sesaat. Ucapan Sumirah, neneknya yang sudah tua itu, mengena hatinya. Sebenarnya, ia malas harus pergi ke Wonosobo, kota dimana ayahnya tinggal bersama ibu tirinya. Hambali, kakeknya sudah menyarankan semenjak semalam pada Cika dan bersedia mengantar cucunya ke sana. Namun jika teringat uang yang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan juga kebutuhan hidup selama menjadi anak kos, menguatkannya untuk memutuskan pergi ke tanah Jawa. Meski rasa malas begitu membaluti pikirannya. Ada yang jauh lebih penting dari sekadar keengganan. Cita-cita yang harus dicapainya agar meraih masa depan gemilang.
“Jangan membenci ayahmu,” Sumirah seperti membaca pikiran cucunya.
Cika mendesah. “Cika benci dengan sikapnya, Nek. Kenapa sih suka sekali mempersulit anak sendiri? Kenapa Papa begitu berat memberikan uang untuk anaknya sendiri?”
Sumirah mengulas sebuah senyuman bijak. Tangan kanannya yang keriput memegang bahu cucunya. “Ayahmu ingin kalian berjumpa dulu dan melepaskan rasa rindu... sebelum dia memberikan uang padamu.”
“Kalau dia rindu sama Cika, kenapa tak temuin Cika?”
“Ayahmu tak mau berjumpa dengan ibumu.”
“Papa bisa ke tempat kos Cika. Di sana tak akan ketemu Mama.”
Sumirah kembali tersenyum. Tangannya kini berpindah di atas kepala cucunya. Lalu membelai rambut hitam yang wangi itu. Aroma shampoo menusuk hidung perempuan tua berkebaya dan berkain jarit itu. “Mendingan kamu bicara lagi sama kakekmu, gimana baiknya. Ayo, ke ruang makan. Temanin kakekmu makan siang. Dia menunggumu dari tadi. Dan ingin berbincang denganmu, Cika.”
Meski enggan, tubuh Cika terpaksa beranjak dari tempat duduk. Lalu melangkahkan kakinya, mengikuti langkah pelan neneknya ke ruang belakang. Makan siang yang sederhana. Hambali sesekali mencandai cucunya. Ingin menghiburnya. Alhasil, senyuman terbentuk di bibir Cika. Hambali memang kakek yang baik untuk Cika. Cika pun merasa beruntung memiliki kakek sepertinya. Sayang sekali, kenapa sikap dan sifat kakeknya tak menurun pada anaknya, pada Hari Sutawijaya. Lelaki itu terkadang begitu asing di mata Cika. Di satu sisi, terkadang menjadi sosok penyayang yang sangat berlebihan pada anak.
Senja turun. Cika baru usia mandi di sungai. Ia mengenakan pakaian yang hanya satu-satunya menjejali tas kuliahnya. Kaus putih berukuran pas di badan dan celana jins biru muda. Rambutnya disisir rapi. Ia ingin menikmati sore dengan berjalan-jalan berkeliling dusun. Tak akan jauh-jauh. Sekalian berkunjung ke rumah beberapa saudaranya. Adik-adik ayahnya, Tiba-tiba, melintas wajah Dandi di pelupuk matanya. Ia teringat cowok itu. Ia kenal Dandi di desa ini. Rumahnya di RT sebelah. Jarak satu RT ke RT lain di kampung, cukup jauh tidak seperti di kota. Mungkin lantaran di desa terhalang tanah-tanah kosong. Atau hamparan sawah dan kebun. Sebulan lalu, Cika mendapat telepon dari Dandi. Cowok itu memang kuliah satu kota dengannya. Dandi tahu nomor HP Cika dari saudara misan Cika yang tinggal di sini.
Kepala Cika menggeleng pelan. Ia berusaha melenyapkan bayangan wajah Dandi. Masa lalu, gumamnya dalam hati. Yang terpenting sekarang, bagaimana caranya agar ayahnya segera memberinya uang sedangkan ia sangat malas kalau harus menyusul lelaki itu ke Jawa Tengah. Terbayang sebuah pondokan baru. Ia ingin sekali segera menghuni salah satu kamar. Belum ada pondokan yang sudah ditetapkan akan dihuni tersebab ia belum siap dengan uangnya. Yang pasti, ia akan memilihnya jika sudah ada uang di tangan. Pondokan yang mananya, tidak begitu jadi patokan yang terpenting bukan pondokan yang banyak hantu seperti Pondok Surya. Bahunya bergidik. Ia tak mau membayangkannya.
Baru saja hendak menuju pintu kamar, ketika telepon selularnya berdering. Dahinya mengernyit melihat deretan angka-angka di layar. Agak asing. Tanpa nama. Penuh rasa penasaran, ditempelkannya di telinga kiri. Suara yang sangat dikenalnya menembus genderang telinga.
“Papa baru saja ke tempat kos kamu. Papa tahu alamatnya dari bibimu. Tapi… kamu sudah tak tinggal di sana. Kenapa terburu-buru pindah? Pindah ke mana kamu? Temanmu yang bernama Widi juga tak bilang kamu tinggal di mana, katanya dia pun tak tahu. Kenapa kamu bermusuhan sama Widi… padahal kalian berasal dari kota kecamatan yang sama. Sama-sama turunan Garut,” ucapan ayahnya panjang lebar nyaris tak memberi kesempatan Cika untuk bicara.
“Cikaaa…”
“Kamu di mana?”
“Papa… di mana?” Cika balik bertanya. Berkilauan harapan di benaknya mengetahui ayahnya berada tak jauh darinya. Mungkin di dekat kampus atau sekitar rumah kosnya yang lama.
“Papa hendak pulang ke Wonosobo.”
Dada Cika berdegup. Ia takut ayahnya sudah hampir tiba di kediamannya di kota itu.
“Papa baru setengah jam keluar kawasan kampus tempatmu kuliah.”
Dada Cika lega. “Papa, Cika ada di rumah Kakek dan Nenek.”
“Baiklah, Papa akan singgah. Tunggu, ya?”***