Tanpa mengulur waktu, Fikri segera mengambil ponselnya lalu mengetik nomor Herman di sana. Nada tunggu terdengar cukup panjang. Kami semua menunggu dengan cemas. Bu Marsinah dan Pak Parjo pun nampak ikut gelisah. Sampai suara operator terdengar, memberitahu bahwa pemilik nomor sedang tidak bisa mengangkat telepon. "Coba lagi, Fik," celetuk saya. Fikri segera mendial nomor Herman kembali. Nada tunggu kembali terdengar. Lama pula seperti yang pertama. Detak jantung kami -- terutama saya -- terpacu menjadi jauh lebih cepat. Ke mana Herman? Kenapa ia tak kunjung menjawab telepon dari kami? Suara operator kembali terdengar. Membuat kami lagi-lagi harus lebih bersabar. Saya menarik napas panjang, berusaha menahan mulut saya supaya tidak terlalu banyak protes. Apalagi mengumpat. Saya sejak