Rasanya saya sudah tidak kuat. Tubuh saya lemas seperti tanpa daya sama sekali. Seandainya saya tidak dipapah oleh Fikri dan Paklik Hidayat, mungkin tubuh saya sudah lunglai terhempas ke tanah. Akhirnya pintu pondok itu terlihat. Bangunannya sebagian besar terbuat dari kayu. Termasuk pintu masuknya. Langkah saya begitu pelan. Fikri dan Paklik Hidayat dengan telaten mengikuti pergerakan lamban saya. "Udah mau sampai, Ram. Bentar lagi kita ketemu sama Pak Herman." Fikri mengatakan itu untuk membuat saya semangat. Ya, saya sangat semangat. Tekat saya maksudnya. Tidak dengan tubuh saya yang seakan tak lagi sinkron. Kami akhirnya sampai tepat di depan pintu. Akhirnya. Akhirnya. Bertepatan dengan sampainya kami di depan pintu. Bahkan Fikri belum sempat menekan bel yang ada di daun pintu.