Kembali Padanya

1383 Words
Adelia kembali ke tempat kos dengan belanjaan di tangan. Wanita itu berjalan tertatih-tatih menaiki setiap anak tangga menuju ke tempat tinggalnya. Setelah ia sampai dan berdiri di luar pintu, Damian berdiri tepat di depannya dengan pakaian rapi, membuatnya terkejut. “Damian, mau pergi ke mana?” Tanya Adelia pada sang suami. Damian tertegun awalnya melihat Adelia yang datang lebih cepat, tapi tak lama karena setelahnya, raut wajah pria itu berubah seperti biasa. Damian pun memberitahu ke mana dia akan pergi, “Baru saja aku mendapatkan telepon dari perusahaan, Del. Mereka memintaku untuk datang ke kantor sekarang.” “Perusahaan?” Tanya Adelia. “Perusahaan properti itu.” Ucap Damian lagi mengingatkan. Adelia menganggukkan kepalanya pertanda ia mengerti, “Apa kau akan mendapatkan pekerjaan?” Tanyanya penuh antisipasi. “Emm... Mungkin.” Jawab Damian tak yakin. “Aku tidak tahu kenapa perusahaan memanggilku untuk datang. Tapi bisa jadi aku akan segera mendapatkan pekerjaan.” Sepasang mata Adelia tampak berbinar mendengar ucapan Damian barusan. Wanita itu bahkan sudah melupakan kesedihannya yang tadi dan mulai tersenyum lebar. “Benarkah?” Damian menyentil kening Adelia pelan karena wanita itu yang tampak sangat senang. “Sangat bahagia?” Adelia tertawa, “Tentu saja aku bahagia. Aku sangat senang mendengar berita bagus ini.” “Masih belum diketahui Del, apakah aku diterima di perusahaan itu atau tidak.” Adelia menepuk lengan suaminya manja, “Untuk apa perusahaan repot-repot memanggilmu kembali kalau bukan karena ada pekerjaan buatmu, Damian. Kau selalu begini, terlalu rendah diri. Percaya dirilah dengan kemampuanmu, sayang.” Kata Adelia memberikan semangat kepada suaminya. Damian menatap lekat-lekat pada Adelia yang masih tersenyum lebar. Tangannya terulur membelai pipi wanita itu dengan penuh kelembutan. Adelia melirik pada Damian yang berekspresi seperti tidak senang, “Ada apa?” Damian menarik tangannya, “Tidak apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan dirimu kalau nanti aku sudah bekerja.” “Apa sih yang kau khawatirkan. Aku bukan lagi anak kecil. Sudah bisa mengurus diriku sendiri, Damian.” Ucap Adelia meyakinkan. Pria itu pun menghela napas ringan, “Aku pergi kalau begitu.” “Cepat pergi, tak enak membuat perusahaan menunggu terlalu lama.” Damian merunduk, mengecup kening Adelia sebelum ia pergi dari tempat kosnya. “Aku pergi.” Adelia mengantar kepergian Damian sampai ke tangga, kemudian menatap pada punggung suaminya yang tampak lebar dan kokoh yang perlahan-lahan menghilang di tikungan gerbang kos mereka. “Hati-hati di jalan, Damian.” Pesannya kemudian dengan tulus. “Semoga kau berhasil.” Begitu Adelia masuk ke dalam tempat kosnya, wanita itu baru sadar kalau sudah sore hari saat Damian, pergi. “Perusahaan macam apa yang memanggil karyawan baru di sore hari begini.” Gumam wanita itu tak habis pikir. *** Hanya selang beberapa hari saja saat Damian datang melakukan wawancara di perusahaan Theala Enterprises. Dan pria itu kembali di suruh datang atas permintaan sang direktur yang mengatakan ada suatu hal penting yang ingin dibicarakan. Damian sudah tak asing dengan wanita manis di meja resepsionis itu. Jadi dia menampilkan senyum kecil pada wanita tersebut. Sarah yang melihat kedatangan pria rupawan itu lagi, menyapa Damian lebih dulu dengan sangat ramah. “Damian, kau datang.” Sapa wanita itu sambil tersenyum. Damian berjalan mendekat dengan wajah kikuk. Melihat raut wajah Sarah yang cerah, ia menebak kedatangannya ke kantor sudah diketahui. “Iya...” Jawabnya canggung. “Direktur sudah menunggumu di kantornya. Kau bisa pergi sekarang.” Beritahu wanita itu dengan nada akrab. “Kau tidak akan mengantarkan aku ke sana?” Sarah menggeleng, “Masih di lantai 15 yang sama. Ingat dengan apa yang aku beritahukan padamu terakhir kali, seluruh ruangan di lantai itu merupakan tempat kerja direktur.” “Oh, baiklah. Kalau begitu aku akan langsung ke atas saja.” Pamit pria itu kemudian setelah mengucapkan terima kasih. Damian pun melangkah masuk ke dalam lift, seorang diri. Ia bersyukur karena tidak ada seorang pun yang ikut naik ke atas bersamanya, karena mungkin jika ada orang di sampingnya saat ini, ia tak akan bisa mengambil napas untuk sekadar menormalkan emosinya yang meluap-luap. Pria itu lalu melihat pada pantulan dirinya di dinding lift. Layaknya ia sedang bercermin, Damian bisa melihat dengan jelas pantulan dirinya di sana. Ia bukan seorang narsicius yang menggilai ketampanan diri sendiri, namun ia memiliki kesadaran diri bahwa wajahnya memang tergolong tampan yang sudah diakui semua orang. Dan wajah itu, memang bukan seperti orang nusantara yang memiliki kontur wajah yang khas. Dia lebih seperti orang luar, seperti salah satu temannya yang datang dari Amerika; Jeremy. Tapi karena ketampanan inilah yang membuat ia dalam masalah sekarang. Ia kira wanita itu hanya main-main saja saat berkata akan menghancurkan hidupnya jika ia menolak. Tapi setelah wanita itu mulai memberitahu semua kemalangan yang terjadi padanya beberapa terakhir ini, ia akhirnya sadar, wanita itu lah dalang di balik semua kemalangan yang dia temui akhir-akhir ini. Tring...! Bunyi denting lift itu serupa sakelar yang mampu membuyarkan Damian dari pikiran panjangnya, dari pikiran penuh kebenciannya. Damian mendongak, melihat pada seorang wanita – yang menjadi mimpi buruknya – sedang berdiri di depannya. “Anda terlalu menyia-nyiakan waktu menunggu saya di sini, Direktur.” Damian menyapa Elena dengan nada dingin dan sikap yang acuh tak acuh. Pada wanita seperti Elena, Damian melupakan kesopanannya terhadap wanita. Pikirnya, sudah terlalu bagus ia datang kemari demi mengiyakan permintaan Elena, setelah sebelumnya apa yang wanita ini ucapkan padanya di telepon benar-benar membuat dia tak sabar ingin memakinya sekarang. Elena tidak tersinggung dengan sikap Damian yang dingin terhadapnya. Justru sikap seperti inilah yang ingin dia lihat dari seorang pria keras kepala seperti Damian. “Untukmu, aku memiliki cukup banyak waktu, Damian.” Ucapnya sambil tersenyum. “Aku tidak menyangka kau akan datang secepat ini.” Tambah wanita itu, menyindir. Damian menatap dengan ekspresi datar pada wanita cantik itu, “Saya ingat ada wanita gila yang menyuruh saya supaya datang cepat-cepat tadi.” Balasnya tak peduli dengan konsekuensi dari ucapan sarkasmenya. Elena tergelak, tidak sakit hati. Wanita itu rupanya cukup menikmati bagaimana Damian bersikap dingin kepadanya. “Kau tahu apa artinya datang kemari saat ini?” “Ya,” jawabnya singkat. Elena tertawa, begitu keras hingga dia hampir menangis karena senang, “Pernikahan kita akan dilakukan dalam minggu ini.” Damian bergeming. Kedua matanya tidak berpaling memandang Elena yang saat ini sedang memandangnya dengan sepasang mata penuh kemenangan. “Anda sudah memprediksi ini bukan?” tanya pria itu dengan senyum kecut. Elena mengangkat bahunya tak acuh, “Aku didesak waktu. Semakin cepat kita menikah, maka itu lebih baik.” “Saya tidak mau identitas saya ketahuan. Saya memiliki seorang kekasih di rumah, sedang mengandung anak saya.” Damian memberitahu Elena dengan penuh penekanan pada kata kekasih. Hanya untuk membuat Elena tahu posisinya di hatinya. “Aku tidak peduli! Lagi pula pernikahan kalian tidak tercatat di kantor sipil. Jadi tetap saja, aku lah yang akan menjadi istri sahmu, Damian.” “Terserah Anda mau menganggapnya bagaimana.” Wanita itu pun mengulurkan tangannya, “Kemarilah.” Panggilnya dengan suara lembut. Senyuman penuh kemenangan terpulas di bibir indah Elena. Elena menunggu dengan sabar. Tak baik juga menggertak pria seperti Damian dengan keras setelah ia sudah mengancam pria itu sampai Damian hampir di ambang putus asa. Untuk kali ini, ia akan dengan murah hati memaafkan pria sombong itu. “Apa yang kau tunggu?” Tanya Elena yang melihat dengan jelas keragu-raguan dari pria itu. “Kemarilah cepat. Memangnya kau tidak mau mencium calon istrimu ini?” Katanya mengulang. Damian melihat pada lantai di bawah kakinya dengan linglung. Lorong yang sunyi itu seakan meneriakkan u*****n dan segala jenis makian kepadanya, dikarenakan kurang tegasnya dia dalam menjaga janjinya pada Adelia. Pria itu mengambil satu langkah ke depan dengan berat. Satu langkah ini merupakan keputusan penting untuk menyelamatkan hidup istri serta hidup anaknya. Sekaligus, sebuah keputusan yang akan membuat dia tunduk di bawah retorik wanita berkuasa seperti Elena, seorang CEO di perusahaan Theala Enterprises. Walaupun betapa menjengkelkannya situasi ini bagi Damian, pria itu sadar, ia tidak punya pilihan. Sejak ia memutuskan percaya dengan ancaman wanita di depannya itu. Sejak ia mulai bicara dusta pada Adelia tentang kepergiannya sore ini, ia tahu dirinya sudah kalah. Mungkin, dari awal ia memang sudah sepenuhnya kalah dari Elena. Ia tidak punya pilihan untuk kabur dari jerat wanita ini. Itu sebabnya, tak peduli betapa gigihnya dia mengatakan tak akan sudi bersama wanita itu, ia pada akhirnya akan kembali. Kembali pada Elena, sang direktur muda yang cantik dan memesona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD