First Meet
Slap!
Sebuah tamparan keras untuk yang ke sekian kalinya memenuhi ruangan kerja Hubert Theala. Di dalam ruangan itu selain keberadaan pria paruh baya tersebut, terdapat seorang wanita yang tak lain merupakan putri kandungnya sendiri. Wanita cantik itu tampak babak belur dengan wajah yang membengkak kemerahan.
"Ceroboh! Sudah ayah bilang padamu supaya berkencan sesekali, tapi kau tidak pernah mendengarkan perkataanku, Elena!"
Pria itu berteriak dengan raut muka mengeras marah.
Elena mengusap sudut mulutnya yang berdarah. Rasa sakit dari pipinya membuat telinganya berdengung sesaat. Untung saja dia bukan wanita yang suka mengeluarkan air mata. Jika tidak, mungkin bertahun-tahun lamanya, air mata sudah mengering dari pelupuk matanya.
"Maafkan aku, Ayah." ucap Elena sambil menunduk.
Padahal wanita itu tidak bersalah sama sekali, namun dikarenakan suatu hal yang membuat kejatuhan pada reputasinya, Elena diharuskan untuk bersikap rendah pada pria yang disebutnya ayah.
"Kau pikir dengan berkata maaf sekarang, bisa membuat kakek mu membatalkan keputusannya?!" Hampir saja Hubert meraung keras pada putri sulungnya. Namun, ditahannya karena riwayat penyakit jantung yang dimiliki.
"Aku akan segera menyelesaikan masalah ini. Lalu menemui kakek untuk meminta maaf."
Meski Elena tak yakin sang kakek mau mendengarkan penjelasan darinya. Akan tetapi, selain itu yang bisa dia katakan demi meredam kemarahan sang ayah, dia tidak menemukan alasan tepat lainnya.
"Dengan cara apa kau menyelesaikan masalah ini?!" tanyanya penuh emosi, dan di respons oleh Elena dengan tanda diam.
"Damn it!"
Melihat itu Hubert mengumpat kasar, kemudian kembali berkata, "Perawan tua tanpa emosi sepertimu, memangnya ada yang mau menikah denganmu?!" lanjutnya masih memaki, kentara sekali betapa emosinya pria itu kini.
Jika tadi Elena masih bersikap tenang, maka saat ucapan itu keluar dari mulut Hubert, wanita itu mengangkat kepalanya. Perawan tua? batin Elena terkejut.
Dia tidak menyangka ayahnya akan berpikir demikian tentangnya. Apa jangan-jangan seperti itulah dirinya di mata sang ayah selama ini?
Maka tak mengherankan... senyum mencela diri kemudian terlihat di bibir Elena.
"Kalau bukan karena Ayah yang memaksaku untuk bekerja keras, apa Ayah pikir aku akan menjadi perawan tua layaknya sekarang?"
"Kau masih memiliki tenaga untuk bertanya?!"
Elena tidak memedulikan sakit di perutnya akibat tendangan yang dilayangkan Hubert tadi. Wanita itu menegakkan punggungnya demi bersikap berani, dan dia berkata, "Kalau bukan karena Ayah yang memaksaku untuk melakukan hal yang tidak aku sukai, apa Ayah pikir aku akan menjadi seperti ini?!"
Sejujurnya dia muak. Terlalu muak dengan kehidupan yang dia jalani. Hanya karena dia adalah anak satu-satunya yang menurut ayahnya layak, dia dipaksa untuk bersaing dengan saudara-saudaranya demi menjadi pemilik baru dari Theala Grup.
Elena Stevanie merupakan seorang wanita pebisnis dari keluarga Billionaire Theala Grup. Perusahaan itu merupakan perusahaan besar yang berkecimpung di bidang real estate dan perbankan yang pusat utamanya berada di Swiss, benua Eropa.
Keluarga Elena mengurus anak cabang perusahaan Theala Grup yang berlokasi di Bali yaitu Theala Enterprises. Perusahaan itu saat ini dikelola oleh Elena yang menjabat sebagai CEO dan Hubert merupakan direktur utama dari perusahaan tersebut.
Sebagai satu-satunya anak dari pihak ayahnya, Elena sudah dibesarkan oleh Hubert supaya menjadi wanita yang kuat dan tidak seperti kebanyakan perempuan pada umumnya yang suka menghabiskan uang.
Elena berbeda, dia merupakan kebalikan dari para wanita di dunia ini. Elena sangat menyukai uang dan tergila-gila menjadi wanita sukses. Wanita itu dididik untuk menjadi pewaris sah oleh ayahnya menggantikan sang kakek, agar menduduki jabatan kepala keluarga meskipun dia adalah seorang wanita.
Akan tetapi, sayangnya, meski Elena dikenal sebagai seorang wanita yang sangat perfeksionis, dia memiliki noda hitam dalam perjalanan kehidupannya. Cinta.
Wanita itu tidak sesukses kariernya dalam hal mengenai sebuah hubungan. Bukan saja dia dikhianati oleh kekasihnya yang menikah dengan wanita lain, dia pun juga didiskreditkan oleh media massa atas hubungan percintaannya yang terpapar ke publik. Elena difitnah tidak memiliki ketertarikan pada seorang pria.
Itulah mengapa saat ini, Hubert memarahi wanita itu habis-habisan. Karena jika kakeknya percaya dengan gosip itu, bukan tak mungkin nama Elena tercoret dari kartu keluarga. Dan harapan Hubert untuk menjadi pemilik sah dari perusahaan pusat itu akan kandas begitu saja.
Untuk terakhir kalinya Hubert memberi peringatan pada Elena, dengan ekspresi datar dan dinginnya yang khas. "Elena, kalau sampai kau belum menemukan seorang pria yang bisa kau nikahi, aku sendiri yang akan mencarikannya untukmu!"
Ketika Hubert bicara pada Elena, tidak ada kelembutan seorang ayah yang tampak padanya.
Elena, di sisi lain juga menampilkan raut muka yang sama. Datar dan dingin. "Tidak perlu. Aku akan segera membawa laki-laki itu ke hadapanmu!" balas wanita itu dengan wajah dipenuhi kebencian.
"Aku akan melihat! Kalau sampai karena kasus ini keluarga kita menjadi hancur, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri! Sekarang enyah dari hadapanku!" Hubert mengusir putrinya sendiri dengan raut muka kejamnya.
Sepanjang perjalanan wanita itu pergi dari rumah ayahnya, Elena berusaha bersikap baik-baik saja meski kenyataannya seluruh tubuhnya menjerit kesakitan.
Ketika dia tidak dapat menahan lagi rasa sakit itu, dia pun menepikan mobilnya di salah satu apotek yang dia temui secara acak. Dia memutuskan keluar dengan keadaannya yang berantakan. Tepat di depan pintu masuk apotek, wanita itu terjatuh ke trotoar dengan napas terengah-engah. Tangannya dengan kuat mencengkeram perutnya yang sakit.
"Apa Anda baik-baik saja?"
Seorang pria datang untuk membantu Elena dengan memeluk wanita itu supaya bangun. Ketika pria itu melihat keadaan Elena, raut terkejut melintas di matanya.
Dikarenakan beberapa tamparan keras yang Elena dapat dari Hubert di pipi, wajah cantik wanita itu berubah bengkak dengan sudut mulutnya terdapat darah kering yang menggumpal.
"Tunggu sebentar di sini!" kata pria itu lagi.
Sebelum pria itu pergi ke dalam apotek, dia melepaskan jaket yang dikenakannya, lalu di sampirkannya pada Elena.
Elena yang sedari tadi diam kemudian mengangkat kepalanya, dia dengan penuh perhatian menatap punggung pria itu yang kini masuk ke dalam apotek.
Aroma maskulin dari jaket pria itu memasuki indera penciuman Elena. Dan dia suka. Suka dengan aroma itu yang membuatnya tenang dan nyaman.
Tidak butuh waktu lama bagi pria itu untuk datang lagi ke hadapan Elena. Tanpa berkata-kata, pria itu dengan penuh perhatian merawat memar wanita itu.
"Apakah ada tempat lain yang sakit?" tanyanya.
Elena begitu terpesona pada laki-laki di hadapannya sampai-sampai wanita itu menjadi linglung dan bahkan tidak menjawab pertanyaan pria tersebut.
Pria itu mengerutkan alisnya karena wanita itu yang hanya diam saja. "Apakah Anda membutuhkan saya untuk membawa Anda ke dokter? Wajah Anda tampak pucat sekali," tanya pria itu lagi dengan sabar.
Bukannya menjawab, Elena malah memegang erat lengan pria itu dan berkata. "Namamu ... siapa?"
Itu adalah pertama kalinya bagi Elena, bertemu dengan seorang pria yang mampu membuat jantungnya berdebar kencang setelah sekian lama melajang.
Notes:
Cerita ini direncanakan memiliki banyak chapter. Terimakasih sudah membaca.