01 |KEMBALI MELIHAT DUNIA

1670 Words
“Ini perihal bagaimana kita tidak mengeluh, saat apapun berusaha membuat jatuh. Ini perihal bagaimana kita tidak tumbang, saat apapun datang menghadang.” @akardelapan MEREKA bilang surga itu tempat pulang terindah. Aku hampir ingin mengintip pintu bersilau cahaya yang mengarah ke surga, tapi tangan Tuhan melarangku. Dia bilang aku masih punya waktu, lalu hanya butuh satu bisikan kata darinya “Bangun,” kedua mataku akhirnya terbuka. Hal pertama yang kulihat setelah itu adalah wajah gelisah dokter dan kedua suster di sampingnya. “Ibu.” Suara pertama kugunakan memanggil ibuku. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur di sini dan aku khawatir ibu sedih karena kondisiku. “Kamu akan bertemu ibumu nanti. Sekarang aku harus memeriksamu.” Dokter perempuan bername-tag Winda memasang eartips stetoskop ke telinga lalu mengarahkan diaphragmnya ke sekitar dadaku untuk mengecek kondisi denyut jantungku. Dokter Winda kemudian lanjut memeriksa mataku dengan senter kecil di tangannya. Disela melakukan pemeriksaan medis lainnya, aku berpaling menatap sekeliling ruangan yang entah mengapa terasa… sepi. Bukankah di saat seperti ini ibu seharusnya di sisiku? Menunjukkan raut bahagianya melihatku akhirnya bangun dari koma, atau sekadar memelukku sebagai ungkapan rasa rindunya. “Dokter.” Dokter Winda menoleh setelah menyuntikkan cairan di lengan kiriku. “Di mana ibuku? Apa dia baik-baik saja?” Aku menangkap kesedihan di wajah dokter Winda yang sekarang berpaling memeriksa infus, dia menjawab tanpa menatap wajahku seolah sedang menyembunyikan kekalutannya, “Jangan terlalu banyak bicara, tubuhmu masih terlalu lemah setelah koma.” Perasaanku mendadak tidak tenang, dokter Winda seakan menutupi jawaban atas pertanyaanku sebelum ini. Ya Allah… semoga ibu baik-baik saja, semoga pikiran buruk yang terlintas di kepalaku sekarang tidak nyata. “Semua baik-baik saja Afra. Yang perlu kamu pikirkan sekarang hanyalah kesehatanmu.” Dokter Winda mengelus bahuku seraya tersenyum hangat, berusaha meredam kegelisahanku yang ternyata disadarinya. “Setelah ini petugas gizi akan membawakan makanan untukmu, makanlah. Satu minggu ke depan kamu harus menjalani terapi supaya otot-otot tubuhmu dapat beraktivitas normal seperti dulu. Karena hampir empat tahun koma, tubuhmu mengalami strok ringan hingga memerlukan beberapa tahap pemulihan.” Aku menganggukkan kepala, “Terima kasih dokter,” kataku, sebelum dokter Winda serta suster pendampingnya meninggalkan kamar. Memberi kesunyian pekat yang menjawab pertanyaan tentang keberadaan ibuku. Air mata menetes di pipiku diikuti suara isak tangis. Ibu sudah tiada. Beliau sudah menderita kanker cukup lama dan aku sebagai satu-satunya penopang hidup ibu bekerja keras demi membiayai perawatan penyakitnya. Tapi setelah tragedi beberapa tahun lalu yang menyebabkanku koma, bagaimana ibu merawat dirinya yang sakit sendirian? “Ibu… hiks,” aku membungkam mulut dengan kedua tangan. Membiarkan air mata membasahi pipi dan baju rumah sakit yang kukenakan. Padahal aku sudah bekerja keras dulu, mengabaikan rasa lelah dan sakitku untuk bekerja mencari uang demi pemulihan ibu. Tapi hanya karena keegoisan orang lain dan kecerobohanku, semua yang pernah kuusahakan di masa lalu sekarang menjadi sia-sia. “Hiks… hiks… kenapa Ya Allah?” Tanganku menyeka hidungku yang berair, dan mulutku tak berhenti terisak, “Jika… pada akhirnya aku hanya terbangun sendirian, mengapa hiks… mengapa tidak Kau ambil sekalian nyawaku?” Aku menghirup napas sesak sambil teringat kepergian Ayah saat aku berusia tiga belas tahun. Sepeninggalan ayah akibat kecelakaan beberapa tahun silam, ibu dan aku hidup susah. Namun meskipun demikian, kami tetap bahagia. Dua tahun berikutnya, aku mulai bisa hidup tanpa ayah, menata masa depan kami berdua dan menjalani hidup lebih baik. Tapi Tuhan memang suka menguji batas kesabaran hambanya, kenyataan saat ibu divonis mengidap kanker otak stadium tiga membuat hidupku sekali lagi hancur. “Astagfirullahaladzim, astagfirullahaladzim…” Aku memejamkan mata sambil beristigfar. Percayalah pada Allah Afra, semua akan membaik seiring berjalannya waktu. Jangan bertindak gegabah, ingat… bunuh diri hanya akan mencelakakanmu di akhirat. Malaikat seolah berbisik di telingaku, memberiku sedikit kepercayaan bahwa semua kesedihan yang aku alami perlahan akan berubah indah jika aku mau bersabar sekali lagi. Usai berhenti menangis dan menenangkan diri, sepuluh menit kemudian petugas gizi masuk ke kamar seraya mendorong meja beroda yang membawa makanan untuk pasien rumah sakit. “Anda yang bernama Nona Afra ya?” “Iya,” jawabku seraya tersenyum. “Ini makanan untuk Anda, spesial dari saya karena Nona akhirnya bangun. Ya Allah… saya bahagia sekali mendengar berita kalau Anda sadar.” Petugas gizi yang tidak ku ketahui namanya ini tersenyum haru menatapku. Hatiku menghangat, meskipun dia bukan orang yang kukenal tetapi aku senang masih ada orang yang bahagia mendengar kesadaranku dari koma. “Nama saya Riani, saya satu tahun lebih muda dari Nona Afra. Hehe… kalau Nona bersedia, apa saya boleh panggil kakak?” Riani bertanya antusias sambil mengulas cengiran lebar. Aku terkekeh melihat sikapnya, “Tentu, panggil aku kakak saja.” “Yeay, terima kasih kakak. Kalau begitu, Riani pamit dulu ya… mau antarkan makanan ini ke pasien lainnya. Jangan lupa dihabiskan ya Kak.” Riani mengerling genit lalu hendak berbalik namun tertunda karena ucapanku, “Tunggu!” Riani menoleh dengan wajah bertanya-tanya. “Dari mana kamu kenal aku dan kenapa kamu bahagia setelah melihatku bangun dari koma?” Sekali lagi Riani tersenyum menunjukkan deretan giginya, “Bukan cuma saya yang kenal kakak. Hampir semua karyawan di rumah sakit ini juga tahu, bagaimana hebatnya perjuangan seseorang menantikan kakak terbangun.” Wajahku tertunduk lesu, lalu bergumam, “Orang yang kau maksud… apa dia ibuku?” Raut wajah Riani ikut berubah sedih, “Ya, ibu Hanna termasuk salah satunya.” “Ibuku sudah meninggal kan?” sahutanku membuat Riani terkejut, “Dok-dokter sudah beritahu kakak?” Kepalaku menggeleng, “Mana mungkin dokter Winda memberitahuku, dokter pasti khawatir kesehatanku akan memburuk jika mengatakannya. Tapi… tentu saja aku pasti menyadarinya. Jika ibuku masih hidup, dia tidak mungkin membiarkan aku sendirian di kamar ini.” Riani menangis sambil memelukku. “Kakak yang tabah yah! Hiks… kan masih ada kak Gibran. Kakak nggak akan sendirian, kak Gibran orang yang baik. Sama seperti ibu Hanna, kak Gibran adalah orang yang paling menantikan kakak sadar.” Aku melepas pelukan Riani dan berganti menatap tidak paham perempuan itu. “Gibran? Gibran siapa?” Riani memasang wajah heran, “Dokter Winda juga belum bilang?” Melihat ekspresi bingungku, Riani akhirnya menjawab, “Kakak sudah menikah dengan kak Gibran.” ♥♥ Kamar inap yang ku tempati berada di lantai lima, cukup tinggi untuk dapat menikmati waktu senja dari jendela kamar. Goresan oranye di langit semakin bertambah pekat ketika piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Kawanan burung terbang meramaikan senja, mataku tertarik menatap bentuk barisan terbang mereka. Dalam hati memuji pemandangan yang kini sepasang mataku lihat. Bersyukur pada Allah karena masih diberi kesempatan melihat keindahan ciptaannya. Tidak lama kemudian, suara azan maghrib berseru kencang dari masjid sebelah rumah sakit. Hatiku bergetar saat tiba-tiba mendapat bayangan ibu mengajakku shalat jamaah. “Yuk kita wudhu, sekalian shalat jamaah!” Bibirku terkatup beku melihat senyum dari bayangan ibu yang tentu saja hanya halunasiku saja. “Afra, sesibuk apapun kamu, jangan pernah tinggalkan shalat.” Sekali lagi bayangan ibu berbicara sebelum sosoknya hilang diakhir rengkuhan tangannya memelukku. Punggungku bersandar di dinding samping jendela yang masih terbuka, tanganku meremas kuat dadaku yang sesak. Dengan memejamkan mata, aku berusaha fokus membalas setiap bait azan yang dikumandangkan, berharap dengan melakukan itu bisa membuat perasaanku kembali tenang. Lalu usai sekian menit berjalan dan akupun sudah selesai shalat, seorang suster masuk ke dalam ruangan. “Perkenalkan, saya suster Nalita. Suster pribadi yang diutus pak Gibran untuk merawat Anda sampai Nona keluar dari rumah sakit.” Nalita mengulurkan tangan kemudian kami saling menjabat tangan sebagai awal pertemanan. “Apakah Nona sudah mengetahui siapa pak Gibran?” Nalita bertanya ketika aku menyilahkan dia duduk di kursi samping ranjang rumah sakit. “Petugas gizi bernama Riani sudah mengatakan padaku kalau Gibran adalah suamiku.” Nalita mengangguk, sedangkan aku melarikan pandangan ke jendela yang menunjukkan langit gelap. Dengan tatapan menerawang aku mencoba mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, “Aku sangat terkejut, bahkan hampir tidak percaya masih ada seorang laki-laki yang mau menikahiku saat terbaring koma. Nalita…” kepalaku menoleh ke arah Nalita yang menjawab, “Ya Nona?” “Menurutmu, apa alasan dia menikahiku?” tanyaku dengan senyuman getir. Aku menelan ludah pahit, menarik napas dalam lalu lanjut berujar, “Kami bukan orang yang saling mengenal di masa lalu, Gibran tidak mungkin langsung jatuh cinta padaku. Apa kamu tahu sesuatu tentang pernikahan kami?” Nalita menunduk seolah berpikir, jari-jemarinya bertaut gelisah, bibirnya terbuka hendak mulai bicara tetapi kembali bungkam seakan ragu untuk mengatakannya. Menyadari itu, tanganku bergerak menepuk bahunya pelan, “Kumohon, baik atau buruk. Aku harus mengetahui alasan dibalik pernikahanku.” Kepala Nalita mengangguk. Sesudah mengambil napas panjang, perempuan itu akhirnya berbicara. “Pak Gibran yang menyelamatkan Anda dalam tragedi demonstrasi empat November tahun 2016 lalu. Karena Anda termasuk korban, pemerintah menjamin biaya pengobatan Nona dan Pak Gibran adalah orang yang bertanggung jawab melaporkan kondisi kesehatan Anda setiap bulannya.” “Nyonya Hanna, atau ibu Anda…” suara Nalita memelan, berpikir aku akan sedih ketika membicarakan ibu. Tanganku mengusap telapak tangannya, perbuatan yang membuat Nalita mendongak menatapku yang tengah tersenyum padanya. “Aku tahu ibuku sudah meninggal. Jangan takut akan membuatku sedih karena aku jauh lebih sedih ketika aku tidak tahu apa-apa selama aku koma.” Nalita mengulas senyuman tegar, “Selama Anda dirawat di rumah sakit, ibu Hanna menyembunyikan penyakitnya dan berpura-pura kuat supaya diterima bekerja di bagian pencucian rumah sakit.” “Ibuku bekerja?” “Ya, ibu Hanna lalu resmi diterima bekerja karena kebetulan rumah sakit waktu itu membutuhkan tenaga ekstra. Ibu Anda bekerja siang-malam sambil merawat Nona yang masih terbaring koma. Dua tahun belakangan ini kami baru mengetahui penyakitnya karena kondisi ibu Hanna semakin memburuk.” “Lalu beberapa hari setelah divonis waktu hidupnya tidak akan sampai dua bulan, saya mendengar berita bahwa pak Gibran berniat menikahi Anda. Saya tidak tahu alasan utamanya, tapi dilihat dari keadaan waktu itu… saya beramsumsi kalau pak Gibran menikahi Anda karena rasa kasihan.” Pandangan mataku meredup, perasaan sesak yang sempat kuusir tadi sekarang kembali menyergap. “Tapi setelah menikahi Anda dan melihat keseriusan pak Gibran menanti kesadaran Anda selama empat tahun ini, saya mulai berpikir…” Senyuman Nalita saat ini menarik perhatianku agar menatapnya. “…kalau pak Gibran mencintai Nona Afra.” BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD