02 |SUAMI MISTERIUS

1793 Words
“Dia yang setiap pagi kujadikan bahan pertanyaan, kini datang memberi sedikit jawaban. Tentangnya, yang tidak pernah kuketahui siapa.” @atiikaaru BICARA soal cinta, aku belum pernah merasa dicintai oleh seseorang sebelumnya. Lalu terbangun dari koma dan tiba-tiba sudah berstatus menikah merupakan sebuah kenyataan yang mencengangkan buatku. Menanggapi ucapan Nalita yang berpikir orang asing seperti Gibran mencintaiku, aku tidak tahu. Yang kutahu hanya setengah persen kemungkinan orang yang tidak saling kenal bisa jatuh cinta. Jadi kupikir mustahil Gibran mencintaiku. “Kalau dia mencintaiku, dia pasti ada di sisiku saat aku membuka mata. Tapi sampai tiga hari ini, aku bahkan belum melihatnya menjengukku,” komentarku dan Nalita hanya diam tanpa berniat menjelaskan. “Apa pekerjaannya, bagaimana sifatnya dan bentuk wajahnya pun aku masih belum tahu. Yang kutahu tentang suamiku hanyalah nama dan cincin pernikahan kami yang terpasang di jariku.” Tanganku otomatis memainkan cincin berwarna silver berbentuk doff dengan satu mata berlian beraksen setengah hati, bertanya-tanya apakah setengah hati dari cincin yang lain masih terpasang di jari Gibran. Nalita berdiri dari kursinya lalu memelukku erat. “Pak Gibran belum bisa menemui Anda karena masih bekerja. Nona harus percaya pada pak Gibran, dia laki-laki yang baik, semua karyawan yang mengetahui kisah kalian sampai iri melihat perjuangannya untuk Nona Afra.” Bibirku berkedut membentuk senyum, “Kenapa mereka harus iri padaku? Padahal hidupku susah begini.” Nalita tertawa sambil melepaskan pelukannya, “Anda akan menyadari betapa beruntungnya Anda setelah bertemu pak Gibran. Emm… gimana ya? Secara pak Gibran itu ganteng, rajin ibadah, ramah dan yang paling bikin klepek-klepek adalah kesetiannya pada Anda. Demi Tuhan… dia itu so sweett sekali!” Aku terkekeh melihat wajah kagum Nalita saat menceritakan Gibran, berkat ucapannya aku jadi penasaran apakah dia memang setampan dan sebaik itu? Jika benar mereka menganggapku wanita yang beruntung memilikinya, harusnya aku bersyukur. Tapi… Sekali lagi kuperingatkan diriku jika belum tentu dia mencintaiku. Bisa saja alasan Gibran menikahiku benar-benar hanya sebatas rasa kasihan, lalu setelah tahu aku sadar dari koma dia akan meminta kami bercerai. Dari segi logika, kemungkinan itu 99% bersifat benar. Jadi, aku harus menyiapkan diri sampai tiba hari saat Gibran mengatakan itu padaku. ♥♥ Sudah satu minggu sejak aku tersadar dari koma dan menjalani berbagai terapi pemulihan kini tubuhku jauh lebih sehat dan bebas bergerak tanpa bantuan kursi roda. Hari ini dokter Winda bahkan mengizinkanku melepas infus karena ingin berjalan-jalan di atap gedung rumah sakit yang Nalita bilang tempat terbaik melihat pemandangan. Embusan angin segar menyambutku di atap. Tidak ada orang di sini, aku memutuskan pergi sendiri dan mengingkari janji pada Nalita supaya tidak pergi kemari sendirian. Pukul setengah lima sore, sebentar lagi senja datang maka aku akan menunggu di sini. Melihat senja dari atap pasti jauh kali lipat bagusnya ketimbang lewat jendela kamar inapku, aku jadi tidak sabar. Dulu sewaktu ayah masih hidup, dia sering sekali meluangkan waktunya menikmati senja bersamaku dan ibu di halaman belakang rumah. Dan kebiasaan itu mulai hilang sejak ayah meninggal, seingatku bahkan tidak pernah lagi melihat senja karena sibuk bekerja dan memikirkan penyakit ibuku. Sekarang aku sangat senang bisa menikmati senja lagi, walau… sendirian. Menjelang matahari terbenam aku melihat sinar keemasan berkumpul di satu titik di atas langit, dekat awan berbentuk setengah hati berwarna kemerahan yang mengingatkanku pada aksen cincin pernikahan yang terpasang di jari manis tangan kiriku. Tanganku yang lain melepas cincin tersebut, mengangkatnya ke atas lalu menggabungkan setengah hati di cincinku dengan setengah hati lain yang dibentuk awan. Ujung bibirku tertarik merangkai senyum, betapa cantiknya cincin pernikahan pemberian Gibran. Berliannya berkilau diterpa cahaya keemasan sang mentari yang perlahan menyusut. Dan tibalah saat bumi dalam keadaan setengah gelap usai matahari terbenam yang orang-orang sebut sebagai waktu senja. Citt… citt… citt… “Aaaa!” Kedatangan seekor tikus kecil yang melintas di bawah kaki membuatku terkejut bukan main sehingga tidak sengaja menjatuhkan cincin di genggamanku. “Tidak!!” Aku berlari ke perbatasan pagar besi dan melihat ke bawah di mana cincinku terjatuh ke sudut dinding bangunan. Aku mendengkus dan merutuk diri sendiri, “Ceroboh sekali sih! Aku harus mengambilnya, itu adalah cincin pernikahan yang berharga, mana boleh kubiarkan begitu saja.” Kedua tanganku mencengkeram pagar besi sementara kakiku terangkat menaiki pagar, sedikit saja aku oleng, nyawaku adalah taruhannya. Ya Allah… lindungi hambamu ini. “Astagfirullahaladzim… berhenti! Bunuh diri adalah tindakan yang dilarang keras oleh Allah.” Seorang laki-laki memekik secara tiba-tiba, membuat aku yang sudah duduk di atas pagar terkejut dan membuat keseimbanganku goyah. Tubuhku limbung, dan andai saja sepasang tangan itu tidak segera merengkuhku hingga kami sama-sama terjatuh ke pijakan atap sudah pasti nyawaku tidak tertolong lagi. “Aduh…” Aku jatuh menimpa tubuhnya, sementara kedua tangannya melilit melindungi tubuhku. Pandangan kami bertemu, aku tertegun melihat bola mata cokelat dinaungi sepasang bulu mata lentik dan alis tebal milik pria ini. Tatapan matanya menghipnotisku untuk tidak segera melepaskan diri dan malah menikmati keheningan yang tercipta di antara kami berdua. Sampai aku tersadar bahwa posisi kami sangat tidak pantas bagiku yang sudah menikah, aku buru-buru berdiri lalu memalingkan wajah. “Jika kamu berpikir dengan bunuh diri akan menyelesaikan semua, maka kamu salah.” “Aku tidak mau bunuh diri!” protesku. Pria itu menaikkan salah satu alis, “Aku jelas-jelas melihatmu naik ke pagar, kalau bukan untuk meloncat, mau apa lagi?” Bibirku cemberut, wajahku menunduk, malu untuk mengatakan alasannya, “Cincin pernikahanku jatuh dan tersangkut di bawah, aku mau mengambilnya tadi bukan karena ingin bunuh diri,” jelasku lalu berjalan ke sisi pagar untuk mengecek keadaan cincinku apakah masih ada di sana atau tidak. Pria yang menolongku berjalan ke sebelahku dan ikut mengintip keberadaan cincinku. “Biarkan saja, rawan kalau mau mengambilnya.” Perkataannya membuatku menoleh dengan wajah garang, “Tapi cincin itu hidup dan matiku. Lagi pula, aku tidak mau suamiku berpikiran aku sengaja menghilangkannya.” Kakiku bergerak hendak memanjat pagar lagi namun ditahan oleh pria di sampingku. “Hei! Jangan nekad!” Aku menepis tangan pria itu di lenganku, “Jangan menghalangiku!” Dia tetap bersikukuh memegang kakiku. “Suamimu pasti mengerti,” katanya. Kepalaku menggeleng, “Suamiku tidak akan mengerti,” raut wajahku berganti sedih, “karena dia tidak ada di sini.” Pria itu menghela napas panjang lalu berkata, “Aku akan mengambilnya, kamu turunlah!” Aku tertegun mendengar ucapannya yang bersedia membantuku, kemudian sebelum aku menjawab iya, dia sudah menarikku turun dan berganti menaiki pagar. Aku memperhatikannya dengan gelisah, semoga pria itu berhasil mengambil cincinku tanpa terjatuh dari atap delapan lantai gedung ini. “Yeay!” Tanpa sadar aku bersorak setelah pria itu berhasil mendapatkan cincinku. “Kamu hebat! Terima kasih ya!” kataku terlalu bersemangat ketika dia kembali menapaki lantai dan berjalan di hadapanku. “Lain kali hati-hati, jaga barang berhargamu baik-baik!” Dia mengomel sembari menggapai tangan kiriku lantas memasangkan cincin di jari manisku. Dahiku mengernyit, apa boleh orang lain selain suamiku memasangkan cincin di jariku? Aku baru memikirkan itu ketika dia sudah menyematkan cincinku ke tempatnya semula. Tapi tunggu..,ini aku yang salah lihat atau cincin yang terpasang di jari tangannya juga sama persis dengan cincin milikku. Apa itu berarti dia adalah suamiku? Gibran!? Mataku membulat menatap wajahnya, dan Gibran yang mengetahui aku baru tersadar siapa dirinya justru tersenyum geli. “Kamu sengaja mengerjaiku ya?” tuduhku dengan pandangan tidak suka. Gibran menggelengkan kepala, senyum yang terulas di bibirnya sama sekali tidak menghilang, “Maaf, aku baru saja ingin mengatakannya tapi kamu sepertinya sudah tahu duluan.” Wajahku memanas, jadi sedari tadi aku membual di hadapan suamiku sendiri? Ya Allah, sekarang aku tidak tahu harus mengatakan apa saking malunya. “Afra.” Panggilan merdu Gibran menghipnotis wajahku yang awalnya menunduk supaya mendongak menatap wajahnya. “Maaf karena aku baru menjengukmu, maaf karena aku tidak ada di saat pertama kali kamu membuka mata, dan maaf aku tidak bisa menemanimu selama pemulihan di rumah sakit.” Lewat kata-kata Gibran barusan, sekarang aku memercayai ucapan Nalita saat mengatakan Gibran orang baik. “Tidak masalah, aku baik-baik saja selama menjalani perawatan di sini. Semua orang yang kukenal di rumah sakit ini juga memperlakukanku dengan baik, kamu tidak perlu khawatir,” jawabku, memicu senyuman di bibir Gibran semakin merekah. Satu hal yang kusyukuri dia suamiku adalah aku tidak jadi melakukan zina karena sebelum ini sempat berkontak fisik dengannya. “Alhamdulillah kalau begitu. Karena aku masih sibuk dengan pekerjaanku, selama tiga bulan ke depan aku tidak bisa menemanimu. Aku ke sini untuk memastikan keadaanmu sekaligus berpamitan.” Raut wajah Gibran berubah sedih, aku tahu dia pasti khawatir aku marah karena dia akan meninggalkanku selama tiga bulan tetapi apalah hakku sebagai istri yang dinikahinya bukan atas dasar cinta, tentu saja aku tidak akan melarangnya. “Kalau aku boleh tahu, pekerjaan seperti apa yang kamu jalankan sampai memerlukan waktu tiga bulan sebelum kembali?” Gibran terdiam, seolah enggan untuk menjawab pertanyaanku. “Setelah aku kembali nanti, kamu boleh bertanya tentang apapun padaku. Tapi untuk saat ini, cukup tunggu aku sampai pulang ke rumah.” “Rumah?” Bicara soal tempat tinggal, aku sama sekali tidak berpikiran ke arah itu karena berpikir cepat atau lambat Gibran pasti akan menceraikanku. “Ya, rumah. Setelah keadaanmu membaik dan dokter mengizinkanmu pulang, pak Toni akan membawamu pulang ke rumah kita. Di sana ada bibi Lana, kamu tidak akan sendirian ketika aku tidak ada di rumah.” ‘Rumah kita’ yang terucap di bibir Gibran terdengar sederhana namun entah mengapa sulit pikiranku lupakan. Bagaimana bisa mendengar Gibran menyebut ‘rumah kita’ langsung membuat jantungku berdegup kencang? Tidak mungkin secepat ini aku jatuh cinta pada laki-laki yang bahkan belum satu jam kukenal. Meskipun secara islam dan hukum mengatakan Gibran adalah suamiku, tetapi tetap saja kami masih berstatus orang asing karena baru pertama kali melakukan komunikasi. “Afra, kenapa kamu diam? Kamu marah ya karena akan kutinggalkan lagi?” Gibran menelengkan kepala untuk menatap wajahku lebih dekat. Merasa jarak wajah kami terlalu dekat, aku segera menjauhkan diri meski tak bisa menyembunyikan pipi merahku. “Ah tidak-tidak! Aku tidak marah,” aku melambaikan tangan sebagai bentuk penolakan atas ucapannya sebelum ini, “aku hanya tidak tahu harus mengatakan apa. Ini pertama kali kita bicara dan melihat satu sama lain.” Gibran tertawa, sedangkan wajahku cemberut karena merasa sedang ditertawakan olehnya. “Maaf, aku hanya tidak menyangka wanita yang kutunggu selama empat tahun ini ternyata adalah wanita pemalu.” Mulutku melongo, “Memang kamu kira aku orang seperti apa?” Gibran menaikkan bahu, “Wanita yang ceroboh mungkin.” Aku mendesis sebal, tahu sedang dijadikan bahan ledekannya. “Bersikeras pergi bekerja saat terjadi demo empat tahun lalu dan menjatuhkan cincin pernikahan yang berharga. Kamu memang seceroboh itu, sekarang aku jadi mengerti mengapa Tuhan ingin aku berada di sisimu. Karena Tuhan percaya padaku bahwa aku akan melindungimu.” Sekali lagi ucapannya membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku tak menampik fakta bahwa memang dialah pria yang telah menyelamatkanku dari insiden 4 November tahun 2016 lalu, juga pria yang telah membantuku mengembalikan barang berharga milikku hari ini. Mungkin ucapannya benar, Allah mendatangkan Gibran supaya aku tidak kesusahan menjalani hidup di dunia yang kejam ini. Berdasarkan itu, lantas dapatkah kujadikan sebagai pembuktian jika dia tidak akan menceraikanku? Entahlah, biar kujalani saja apa yang harus kuhadapi kelak mulai dari sekarang. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD