•||•
"Buka pintunya, Fina. Aku mohon!"
Revan terduduk di depan kamar putranya dengan lesu. Ia sadar akan kesalahannya. Kesalahannya yang terlalu mengabaikan Erlangga dan Safina. Kesalahannya yang selalu bersikap tidak imbang pada kedua anaknya. Revan menarik kasar rambutnya, menikmati rasa perih yang langsung menjalar ke seluruh kepala.
Revan menyembunyikan wajahnya di atas lutut, membiarkan lututnya basah oleh air matanya sendiri. Sedangkan di dalam Safina sibuk menghapus air matanya sendiri. Hatinya masih sakit mengingat sikap Revan sore tadi. Apalagi karena kelalaian Revan, Erlangga harus mendapat tiga jahitan di dagu dan kepalanya.
"Fina.... Aku minta maaf...." lirih Revan. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan erat. Pria itu berusaha abai pada rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Cuaca daerah Jakarta yang akhir-akhir ini sering labil---tak menentu membuat Revan mau tak mau merasakan dingin akibat hujan dan hawa dari air conditioner.
Revan mengusap air matanya lagi. "Fina.... Please dengerin penjelaskanku dulu."
"Fin...."
"Fina...."
Ceklek
"Lima menit buat jelasin, Mas."
•||•
Hasna memejamkan mata ketika ia melihat Revan terduduk dengan air mata didepan pintu kamar Safina. Hasna menarik napas. Berusaha abai atas peristiwa itu. Peristiwa yang mungkin saja dapat mendatangkan cinta antara suaminya dan sang istri pertama.
"Mama," panggil Bima.
Hasna menoleh, lalu tersenyum mengusap pipi Sabima. "Kenapa sayang? Kok belum tidur?" tanya Hasna.
Sabima menggeleng. Ia memeluk erat peluk besar Hasna sambil menyandarkan kepalanya diatas perut Hasna. Sejujurnya saat ini Sabima merasa bersalah dengan Mas Erlangga. Apalagi mas Erlangga terjatuh karena dirinya.
"Bima nggak bisa tidur, Ma. Bima pikirin mas Langga."
"Ngapain mikirin mas Langga, sayang?
Sabima memejamkan mata, "Bima takut, Ma. Takut kalau mas Langga kenapa-napa. Mas Langga kan jatuh karena Bima."
Hasna menangkup wajah Sabima dengan penuh kasih sayang. Ia mengusap kening Sabima dan membebaskannya dari anak rambut yang berkeliaran. "Dengerin Mama, sayang. Kamu nggak salah. Mas Langga jatuh bukan karena kamu. Tapi karena dirinya sendiri. Kamu nggak perlu jatuhin mental kamu dengan bilang kalau kamu salah," kata Hasna.
"Tapi Ma...."
"Nggak ada tapi-tapian, sayang. Bertindak seperti biasa aja. Kan kamu juga udah minta maaf kan?"
Sabima mengangguk. Membuat Hasna mencium rambut anaknya dengan perasaan sayang. "Good."
•||•
Dan di sinilah Revan dan Safina berada. Di atas balkon. Duduk saling berhadapan dengan perasaan harap-harap cemas. Revan menunduk. Tidak berani menatap mata istrinya. Terlalu sakit ketika mendapati tatapan luka yang diberikan istrinya saat membukakan dirinya pintu tadi.
"Waktu kamu sisa 3 menit, Mas." Safina berkata dingin.
Revan meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia tidak sanggup.
"Aku bukan tipikal orang yang menghakimi, Mas. Kalau kamu masih ada i'tikad baik untuk menjelaskan semuanya, aku akan dengar sekalipun itu menyakitkan."
Revan membuang napas kasar. Jari-jarinya saling bertaut. "Aku minta maaf atas kejadian sore tadi. Tapi demi Allah, aku panik, Fin. Yang kelihatan di mataku cuma Bima, makanya aku langsung nolongin dia gitu aja. Aku baru sadar kalau Erlangga juga luka pas Bima bilang kalau Langga juga jatuh, Langga luka. Tapi tanganku cuma dua. Aku nggak bisa bawa dua orang sekaligus di lenganku. Makanya aku bawa Bima dulu, baru setelah itu aku akan bawa Langga juga," Revan mengerjapkan mata. Kepalanya menunduk. "Aku benar-benar minta maaf, Fin. Aku minta maaf."
Untuk beberapa menit ke depan Safina hanya diam. Memikirkan apa yang harus dirinya ucapkan pada Revan. Safina menarik napas lalu membuangnya secara teratur. Hatinya sakit. Karena penjelasan Revan benar-benar membuktikan bahwa Sabima lebih diatas segala-galanya bagi Revan. Ingin rasanya Safina menangis sambil mencabik-cabik Revan sekarang. Tapi ia ingat kata-kata Mama yang pernah beliau bilang pada dirinya.
"Terkadang, munafik itu diperlukan, Nak. Nggak selamanya munafik itu buruk."
Safina tersenyum. Tangannya meremas celana bahan yang ia gunakan. "Its okaay, Mas. Aku ngerti." Safina menarik napas. Matanya menatap wajah Revan dengan seksama. Mungkin saja, wajah didepannya tak bisa ia lihat besok pagi. Atau mungkin, satu jam ke depan ia tidak bisa melihatnya. Safina tidak tahu. Wanita itu memejamkan mata. Merasakan semilir angin malam yang menerpa kulitnya. Dingin. Bahkan baju panjang yang di gunakannya pun tidak berpengaruh apapun. "Aku mau jujur, Mas." kata Fina.
"Jujur apa sayang?"
Safina menggigit bibir bawahnya. Matanya berkaca-kaca, dan siap mengeluarkan cairan bening berperisa asin ke pipinya. "Sejujurnya aku nggak siap bilang ini sama kamu. Aku takut. Tapi aku nggak punya waktu lagi. Pernikahan ini nggak berjalan sebagaimana janji mas Revan dulu. Aku minta maaf," kata Safina. Revan terdiam. Lalu Safina melanjutkan. "Aku capek, Mas. Capek dengan pernikahan ini. Pernikahan palsu. Pernikahan yang sama sekali nggak membuat aku bahagia selama hampir 9 tahun ini. Kalaupun bahagia, aku bisa jamin kalau itu karena Langga."
"Maaf kalau ucapanku bikin kamu sakit hati. Maaf banget. Tapi aku udah bener-bener nggak kuat. Aku pikir, rasanya dimadu nggak akan sesakit itu, Mas. Apalagi saat itu kamu bilang kalau kamu akan adil pada kami berdua. Kamu juga akan menjamin hidup Erlangga. Tapi nyatanya apa, Mas?"
"...."
"Kamu ingkar sama janjimu sendiri. Kamu menyakiti aku, kamu menyakiti Erlangga. Selama ini aku diam. Aku nggak bilang apapun karena aku sadar siapa posisiku dimata kamu. Siapa aku dihatimu. Tapi ketika aku tahu kalau anakku juga kamu sakitin, aku rasanya nggak terima, Mas. Langga anakku. Sejelek-jelek sifatnya, dia tetap anakku. Aku yang berjuang melahirkannya ke dunia meski tanpa kamu waktu itu," Safina mendongak. Menghalau air matanya. Sedang Revan bergerak untuk menghapus air mata itu, tapi dengan cepat, Safina menghalanginya.
"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri." kata Fina terkekeh. "Aku sakit. Aku menahan sakit hatiku selama ini. Selama 9 tahun berumah tangga dengan kamu, rasa-rasanya tadi sore adalah titik terendah dihidupku. Aku nggak tahu kalau Langga akan pergi ninggalin aku seandainya aku telat sedetik aja. Aku takut. Di dunia ini, yang aku tahu tulus sayang sama aku cuma anak-anakku, Mas."
Revan masih diam. Tidak berani berbicara apapun. Hatinya ngilu ketika melihat air mata Safina. Entah kenapa.
"Aku juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba kamu berubah drastis kayak gini. Aku bener-bener nggak tahu. Kamu yang biasa berbuat salah tanpa minta maaf ke aku, tiba-tiba aja minta maaf. Ada apa sama kamu, Mas?"
"Aku—aku nggak tahu, Fin...." lirih Revan.
"Aku sudah duga. Tapi nggak papa. Apapun alasanmu, itu hak kamu, aku nggak akan ngelarang." Safina menarik napas berat sekali lagi. Yang diucapkannya pada Revan belum sampai pada tahap yang sebenarnya.
"Aku—menyerah...." lirih Fina.
"Menyerah? Apa maksudnya?"
Safina mengerjapkan mata. "Kamu jangan salah paham dulu. Aku menyerah bukan berarti aku ingin kita pisah. Aku menyerah. Menyerah memperjuangkan kamu. Rasanya udah terlalu banyak luka yang kamu kasih, Mas. Tapi aku nggak bisa melepas kamu begitu aja. Karena—"
"Karena apa, Fin?"
"Aku sakit. Kanker ginjal stadium 3."
"Kamu—apa? Kanker ginjal?"
Safina mengangguk. "Iya. Kanker ginjal. Aku nggak bisa ngelepas kamu karena aku butuh kamu. Butuh kamu untuk merawat Erlangga kalau suatu saat aku pergi. Karena bagaimanapun, kamu adalah Papanya. Aku yakin kamu masih punya hati dengan nggak nyakitin dia, Mas. Aku yakin kamu bisa berubah."
Meski terkejut dengan apa yang Safina bilang, tapi Revan memberanikan diri untuk bertanya. "Lalu, kamu mau apa dariku?"
Safina memejamkan mata. Respon Revan yang biasa saja membuat hatinya kembali sakit.
"Aku pengin kamu selalu ada untuk Langga. Setidaknya, buat dia nggak ngerasa sendirian. Kamu bisa latihan mulai besok, Mas."
•••••