•||•
Safina merunduk ketika kepalanya akan melewati pohon besar di depannya. Safina menarik napas dan berusaha tersenyum sembari berjongkok didekat gundukan tanah yang sudah lama tak ia kunjungi. Tangannya terulur menaruh bunga dan menciumi batu nisan di hadapannya.
Shanti Amalia
Binti
Rahmadi
Lahir : 06 Januari 1960
Wafat : 07 Mei 1990
Safina menarik napas berat. Pikirannya mendadak penuh. Penuh dengan memori lamanya. Kelam. Penuh kesesakan dan juga luka. Shanti Amalia adalah ibunya. Ibu kandungnya. Orang yang selama ini ingin sekali Fina peluk, Fina cium, tapi tidak bisa.
Djakarta
Puluhan tahun silam
"Mama...."
"Iya sayang?"
"Mama kenapa beres-beresin baju Fina?" Fina kecil bertanya pada sang Mama yang sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper sedang. Sang Mama tersenyum lembut. Tangan mulusnya mengusap jari-jari Fina. Menciuminya tanpa ampun. Menghirup aromanya. Aroma yang akan dirindui oleh Shanti. "Maaa...."
"Nggak papa, sayang. Fina kan harus pulang. Nanti Papa keburu jemput, lho. Nggak kangen sama Ibu?" tanya Shanti.
Safina kecil menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya mendekap sebuah boneka anjing berukuran kecil yang ia beri nama Pipit. "Fina nggak mau pulang, Ma."
"Kenapa sayang? Di sana lebih enak daripada di sini, lho." Tangan mulus Shanti mengusap rambut Safina dengan sayang. Diciuminya rambut itu.
"Fina nggak mau...." lirihnya.
Shanti terdiam. Ia sibuk mengusap-usap Safina. Tidak ada orang tua yang ingin berpisah dari anaknya. Tidak ada. Begitu juga Shanti. Mungkin bagi sebagian orang, Fina adalah anak haram. Tapi tidak bagi Shanti. Fina adalah anugerah terindah yang diberi Tuhan padanya. Fina adalah bagian dari rezeki baginya. Hanya saja, cara Shanti mendapatkannya salah.
"Fina takut sama Ibu, Mama. Fina takut."
"Kenapa takut, sayang? Fina nggak sendiri kok. Fina masih punya Allah. Allah nggak akan mungkin biarin Safina sendirian," ujar Shanti.
Pelukan Safina pada boneka pipitnya semakin mengerat. "Tapi Fina takut, Ma. Fina nggak mau. Fina mau sama Papa dan Mama aja."
Shanti memejamkan mata. Menyesali perbuatannya di masa lalu. Demi Tuhan, jika saja rasanya sesakit ini, Shanti yakin ia tidak akan mau melepaskan Arga begitu saja. Apalagi sudah ada Safina saat itu. Shanti terlalu gegabah. Ia pikir setelah perceraiannya dengan sang mantan suami---Papa Safina---hak asuh Safina akan jatuh padanya. Namun ternyata tidak.
"Apapun yang terjadi, percaya sama Allah, sayang. Allah nggak akan pernah ninggalin kamu. Mama sayang kamu."
Fina menutup erat wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia menangis sesenggukan diatas pusara sang Mama. Panutannya. Panutan hidupnya. Ya Tuhan. Sakit sekali rasanya.
"Mama kenapa tinggalin Fina cepet banget? Fina butuh Mama. Fina butuh bahu Mama. Fina pengen dipeluk kayak dulu. Fina pengen disuapin sama Mama kayak dulu," Fina mendudukan dirinya diatas tanah. "Sekarang Fina udah nikah, Ma. Sembilan tahun lalu Fina nikah. Fina udah punya anak, satu, laki-laki. Namanya adalah Erlangga. Cucu Mama itu pintar. Pintar sekali. Dia anak yang kuat. Aku selalu berusaha menguatkan dirinya, Ma. Persis seperti apa yang dilakukan Mama puluhan tahun lalu."
Fina mendongak. Menghalau air mata yang lagi-lagi mendesak untuk keluar. "Fina dimadu, Ma. Tapi Mama jangan khawatir. Rasanya sama aja kok, Ma. Sama-sama sakit kayak waktu aku tahu kalau Papa nyakitin Mama. Aku nyoba kuat buat anakku, Ma. Aku ingin anakku punya tameng. Aku ingin anakku mengerti rasanya sakit. Karena aku paham, aku sadar, dunia luar bahkan bisa lebih kejam dari apa yang dia rasakan sekarang, Ma." Wajah Erlangga terlintas dibenak Safina. Membuat tangis Safina semakin menjadi-jadi. "Aku mencintai suamiku, Ma. Aku akui aku memang bodoh. Tapi aku hanya sedang berusaha menjaga apa yang aku punya. Aku benar-benar menyayanginya, Ma. Aku bahkan nggak peduli dia mau cinta aku atau nggak. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan orang yang aku cintai, Ma."
Safina menggigiti bibir bawahnya. Menahan isakan yang keluar. Mama adalah orang yang paling Fina sayang di dunia ini sebelum Erlangga dan Revan. Fina mencintai Mama melebihi cintanya pada Revan.
"Aku sayang Mama. Sayang banget. Aku akan selalu ingat sama apa yang Mama bilang ke aku. Kalau Allah nggak akan pernah ninggalin aku," Safina mendekatkan bibirnya ke batu marmer itu. Lalu menciumnya dalam-dalam. "Fina cinta Mama." Satu tetes air mata yang jatuh dan semilir angin yang berhembus di dekatnya, membuat Fina memeluk erat nisan ibunya.
•||•
Revan, Erlangga, dan Sabima kompak berskuter ria di kompleks perumahan mereka. Sabima dengan skuter hijaunya, Erlangga dengan skuter biru dongker ya dan Revan dengan skuter hitamnya. Sore hari yang cerah ini benar-benar dimanfaatkan oleh ketiganya untuk berolahraga. Salah satunya berolahraga dengan skuter ini.
"Jangan kencang-kencang, Boys! Nanti kalian jatuh!" Revan berteriak kepada dua anak laki-lakinya.
Erlangga dan Sabima hanya tertawa tidak mendengarkan seruan Revan pada mereka. Sedangkan Revan hanya bisa menarik napas berat. Ia menurunkan kaki untuk memberhentikan laju skuternya. Ia terduduk di atas paving blok didepan pagar rumahnya.
"Minum dulu, sayang."
Revan menoleh dan tersenyum ketika mendapati sosok Hasna disampingnya, lengkap dengan segelas jus jeruk dingin. Dengan sigap Revan mengambil gelas tersebut dan meneguknya hingga tandas. "Makasih ya sayang."
"Sama-sama!"
Hasna menaruh kursi kecil untuk dirinya sendiri yang langsung ia duduki. Sebelah tangannya mengusap perutnya yang membesar akibat kehamilannya.
"Kamu kok keluar, hm? Nanti capek, lho." kata Revan.
Hasna tertawa. Tangannya yang lain menjalar ke arah wajah Revan dan mengusapnya. "Nggak kok, Papa. Aku sama dedek baik-baik aja," jawab Hasna.
"Beneran?" Revan bertanya sambil mengusap-usap perut Hasna yang kandungannya sudah menginjak bulan ke lima.
"Iya sayang!"
"I love you," kata Revan.
"I love you---"
BRUG!
"LANGGA! BIMA!"
•||•
"Ini langsung pulang, Bu?" tanya pak Ucup---Supir keluarga Revan pada Safina.
Safina mengangguk sambil tersenyum. Matanya benar-benar menyipit karena terlalu lama menangis. Suaranya pun serak. "Langsung pulang aja, Pak. Saya belum masak buat makan malam."
"Enggih, Bu."
Pak Ucup melakukan mobilnya untuk kembali ke rumah majikannya. Di jalan Safina sibuk memikirkan banyak hal. Tentang Erlangga, tentang mas Revan, tentang mbak Hasna---lebih tepatnya tawaran mbak Hasna pada dirinya---tawaran yang Safina nilai seperti suruhan.
Tok tok
"Fin," panggil Hasna dari luar kamar Safina.
Safina mengusap wajahnya dan melepas mukenanya. Ia berdiri lalu membuka pintu. Mempersilahkan Hasna untuk masuk. "Masuk, Mbak. Ada apa?"
Hasna bergerak maju dan masuk ke dalam kamar istri pertama suaminya. Hasna langsung mendudukan dirinya di atas ranjang Safina. Bahkan sebelum Fina mempersilahkan dirinya untuk duduk.
"Sebenernya mbak kesini nggak ada apa-apa, sih. Mbak cuma mau nawarin ke kamu."
"Tawarin apa, Mbak?"
Hasna mengusap perutnya perlahan. Tatapan matanya mengarah ke dinding di depan matanya. Terdapat foto pernikahan Revan dan Safina yang benar-benar terlihat dingin. Dingin karena di foto itu, Revan sama sekali tidak tersenyum. Bahkan tangannya pun hanya bersampingan di lengan Safina. Padahal Hasna yakin, fotografer waktu itu sudah memerintahkan Revan untuk memeluk pinggang Safina.
"Sebentar lagi akan anak ini lahir. Mungkin sekitar 4 bulanan lagi. Kamu mau nggak mengurusnya sementara aku kerja? Mas Revan udah nawarin aku buat cari baby sitter. Tapi aku nggak percaya sama mereka, Fin. Aku takut terjadi apa-apa dengan anakku. Jadi kamu mau, ya."
"Maksudnya mbak? Maaf Fina nggak paham."
Hasna menarik napas sambil mencebikkan bibirnya. "Kasarnya, kamu menjadi baby sitter sementara ntuk anakku. Mau ya Fin? Kamu kan kerja di toko. Aku yakin waktu kamu lebih banyak daripada aku."
"Bu fina, sudah sampai!"
Safina tersadar dari lamunannya ketika suara pak Ucup menginterupsinya. Setelah mengusap terimakasih ia segera turun dan menutup pintu mobil. Tatapannya berganti tatap menjadi khawatir kala ia melihat Revan menggendong Sabima di lengannya. Bersamaan dengan Hasna yang juga panik seperti Revan.
"Ada apa, Mbak?" Safina mendekati Hasna, berusaha menanyakan kejadian itu pada Hasna. Hasna diam. Ia tidak menjawab tapi air mata mengalir dari matanya. "Mbak, ada apa?!" Safina mengguncang tubuh Hasna yang terdiam kaku di sampingnya.
"Bima sama Langga jatuh...." Jawaban lirih Hasna sukses membuat Safina seperti dilempari bom atom.
Matanya spontan melihat ke arah Revan yang berlari ke arah mereka. Dengan menggendong---Sabima. Tanpa berkata-kata lagi, Fina berlari mendekati Erlangga. Tubuh Erlangga lemas dengan skuter yang menimpa tubuhnya. Dagunya berdarah dan keningnya bocor.
"Sakit Bu...." lirih Erlangga. Air mata menetes dari matanya.
"Tahan, sayang." Safina segera menggendong Erlangga dan menghampiri pak Ucup. Sebelum benar-benar pergi ke rumah sakit, Safina sempat berpapasan dengan Revan yang menatapnya dengan penuh rasa bersalah.
"Fin-aku bisa jelasin-ini-"
Plak!
Tanpa mengatakan apapun, Safina masuk ke dalam mobil dan pergi dari pekarangan rumahnya. Meninggalkan Revan dan rasa bersalahnya.
Shit, damn!
•••••