Hari itu, dia datang kembali pada kehidupanku. Dress yang ia kenakan sangat cantik dengan warna hitam dipadukan dengan bunga melati yang berwarna putih. Aku pikir, Jakarta adalah tempat favoritku sekarang karena aku bertemu lagi dengan Jazmin - Jakarta, 06 Januari 2022.
Tertanda, Aksa Adinan.
Tanpa diminta, dia datang lagi untuk mengambil bunga mawarnya walau durinya semakin menjadi lebih banyak.
Setelah lima tahun berlalu.
"Euh …." Nafas wanita itu terdengar bertepatan dengan wajahnya yang menempel pada punggung sang suami. Tangannya juga melingkar di perut laki-laki itu dengan sempurna.
Aksa menundukkan pandangannya ke bawah, melihat tangan yang sedikit berisi dan putih mulus, dihiasi jari-jari yang begitu lentik dengan cat kuku kemerahan. Aksa tidak bereaksi apapun, dia kembali fokus mengancingkan kancing baju kemejanya satu persatu.
"Hari ini, ya?" tanya Mika sebagai pembuka percakapan di antara keduanya.
"Iya. Gio sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan gadis yang akan kita pinjam rahimnya. Jika kau masih ragu, kita bisa membatalkannya, Ka. Aku juga tidak masalah tanpa keturunan yang sah, anak adopsi pun juga aku oke saja," tutur Aksa. Dia melepaskan tangan Mika dengan hati-hati karena dia sedikit memajukan tubuhnya untuk mengambil jam tangan.
"Bagaimana mungkin? Keluargamu bisa marah jika tidak ada keturunan yang sah sebagai pewaris. Aku sangat malu akan hal itu …."
Aksa pun membalikkan tubuhnya dan menatap teduh pada Mika. "Kita tidak perlu memikirkan perkataan keluargaku. Sudah cukup kita saja yang menjalankan. Batalkan saja, ya? Hari ini ke panti asuhan saja. Dis-"
"Memangnya, kau tidak ingin mempunyai keturunan yang sah?" Mika memotong ucapan Aksa dengan cepat. Tentu, hal itu membuat pria yang ada di hadapannya mendadak bungkam. "Tanya hatimu dan jawab pertanyaanku."
Aksa menarik nafas dalam-dalam. Dia sudah lelah, setiap hari rumah tangganya hanya penuh dengan prahara tentang anak. Kenapa tidak sekali saja berhenti membahas anak?
"Jika kau butuh jawaban jujurku. Maka, aku akan mengatakan siapa yang tidak mau memiliki keturunan yang sah?" Manik kelam aksa sejujurnya membuat Mika patah hati. Dia ingin memberikan Aksa keturunan dari rahimnya. Tapi, kenapa Tuhan menghalangi itu? Jujur, Mika iri pada wanita lain.
"Pergi. Pergi temui wanita yang dipilihkan Gio, bawa dia jadi ibu untuk bayi kita nanti …," lirih Mika. Dia memajukan wajahnya dengan tatapan yang berkaca-kaca. Dia dilema karena semua ini.
"Mika …." Aksa menangkup wajah Mika dengan kedua telapak tangannya. "Kau serius dengan keputusanmu ini?"
Mika meluruhkan air matanya dan menggenggam pergelangan tangan Aksa yang masih setia terangkat. Dia mencium nadi laki-laki itu dengan lamat-lamat. Mika sudah yakin dengan keputusannya. Sebab, Gio berkata untuk percaya pada wanita yang dipilihkannya untuk menjadi ibu bayi mereka. Wanita itu memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan tidak memiliki catatan kriminal sedikitpun.
"Mika?" Aksa mencium dahi Mika sekilas dan membawa sang istri untuk menatap ke dalam obsidiannya yang begitu kelam.
Mika mengangguk. "Aku serius, Sa. Lagipula, kita hanya meminjam rahim wanita itu. Bukan kau yang harus menikahi dia, kan? Kau tidak akan seperti itu, kan? Kau tidak akan mencintai ibu dari bayi kita nanti, kan?" Tampak ada raut wajah ketakutan yang terpancar pada Mika. Dia takut Aksa akan berpaling dari hubungan rumah tangga yang hampir mereka jalani selama empat tahun terakhir.
Aksa menggeleng singkat. "Profesional? Tentu. Kau tahu sendiri hatiku ini sudah mati, Mika …."
"Bagaimana perasaanmu terhadapku, Aksa?"
Aksa menghela nafas, sudah seringkali mereka berdebat tentang pembahasan ini. Jujur, Aksa bosan untuk menjelaskannya berulang kali. "Kau membutuhkan jawaban apa? Kau istriku, Mika. Aku menyayangimu karena kita adalah keluarga. Tapi, untuk mencintai, hatiku sudah mati sejak saat itu. Jadi, apa yang perlu kau takuti? Kau istriku, kau bersamaku dan mendapatkan semua tentangku. Apa yang kau khawatirkan?" Aksa melepaskan tangannya dari tubuh Mika.
"Aku takut jika dia kembali, Aksa."
"Dia tidak akan kembali pada laki-laki yang menaruh duri di dalam kehidupannya. Aku tidak sesempurna itu untuk membuat dia kembali, Mika. Kemarilah …." Aksa menarik pinggang Mika untuk membawa sang istri ke pelukannya. "Aku suamimu," ucapnya seperti memberi janji manis untuk membuat Mika sedikit tenang.
Mika pun membalas pelukan Aksa, bahkan lebih erat dan tidak ingin dilepaskan. "Tapi, bagaimana jika dia datang dengan kehidupan yang baru dan melupakanmu begitu saja. Apa yang akan kau coba perbuat? Kau tidak akan mencoba mendekatinya lagi, kan?"
Kalimat yang dilontarkan Mika bertubi-tubi tersebut membuat Aksa bungkam sepenuhnya. Benar, hati Aksa memang sudah mati sejak Jazmin memutuskan hubungan itu. Lantas, jika Jazmin datang dengan membawa pria lain, apakah Aksa akan bersikap biasa saja?
***
Stap.
Jazmin terbangun dari lamunannya saat mendengar anak kecil yang ada di hadapannya terjatuh. Dia tengah berada di restoran untuk menunggu pak Dirga yang akan mengenalkannya dengan seorang direktur dari perusahaan besar.
Jazmin sendiri terpaksa menerima tawaran untuk mengandung anak dari direktur yang dimaksud. Hal itu bukanlah main-main, ayahnya yang memiliki hutang ratusan juta membuat Jazmin yang terkena imbasnya.
"Hey," sapa Bian sembari menyenggol bahu Jazmin. Pria itu mengambil posisi duduk di sebelah kanan Jazmin. "Kau tidak ingin memesan makanan? Pak direktur akan sampai sebentar lagi."
Jazmin menggeleng pelan. "Aku tidak berselera. Hatiku bimbang, Bi. Seperti apa rupa pak direktur itu? Aku dengar, umurnya 50 tahun ke atas."
Bian terkekeh melihat raut wajah Jazmin yang lucu tersebut. "Siapa bilang 50 tahun ke atas? Pak direktur masih sangat muda," jawab Bian atas rasa penasaran dari Jazmin.
"Benarkah? Tapi pak Dirga sudah tua, bukan? Pasti temannya itu seumuran dengan dirinya."
Bian mengernyitkan dahinya keheranan. "Bukan teman pak Dirga. Itu bosnya pak Dirga, Jazmin. Beliau masih sangat muda dan memang seorang direktur. Kau sudah membaca dokumen yang aku letakkan diatas meja ruang tamumu, kan? Aku harap saat kau menyetujui itu kau sudah tahu siapa orang tersebut."
"Dokumen yang mana, Bi? Aku bahkan tidak mendengar jelas saat kau menyebut nama pak direktur itu. Jadi, aku percaya saja padamu," jawab Jazmin dengan kepanikan. Dia selalu teledor dan bergerak lamban dari yang dibayangkan.
Bian menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangannya. "Kau ini selalu saja begini. Kapan sih mau berubahnya? Aku ini tidak bisa selamanya menjagamu. Kau harus bisa sendiri, Jazmin!" Terlihat Bian sedikit kesal dengan kelakuan Jazmin yang terkesan menyepelekan sesuatu.
"Bian. Bagaimana ini?"
"Percaya saja padaku. Pak direktur adalah orang yang baik dan bijaksana. Namanya adalah Aksa Adinan," jawab Bian dengan setenang mungkin agar Jazmin berhenti untuk bersikap panik.
Dug.
Jantung Jazmin seperti berhenti berdetak. Tidak mungkin, kan? Hanya nama yang mirip saja, kan?
"A-aksa Adinan."
"Ya, Aksa Adinan," timpal seseorang yang datang dari arah belakang Jazmin duduk. Sontak, Jazmin berdiri dan menghadap pria tersebut.
"A-aksa," ucap Jazmin dengan bola mata yang membesar sempurna. Bahkan, dia hampir hilang keseimbangan dengan beberapa kali mundur ke belakang.
Begitu juga dengan Aksa, dia lebih terkejut dengan kehadiran Jazmin yang telah menghilang dari hidupnya kurang lebih lima tahun.
"J-jazmin …."
Dua insan yang dipertemukan kembali karena perpisahan mereka dilalui dengan cara yang salah.