Hari itu, aku mengatakan bahwa aku menyayangi istriku dengan begitu dalam. Tatapan matanya terlihat kecewa dan aku menyesal. Jika tidak begitu, bagaimana aku harus melindungi dia dan menebus rasa bersalahku selama lima tahun belakangan ini? - 06 Januari 2022
Tertanda, Aksa Adinan.
Memikulnya sendiri adalah tanggung jawab terbesar yang harus diselesaikan.
Sedari tadi kepala Jazmin tertunduk tatkala Aksa yang duduk di hadapannya tidak berhenti memandanginya tanpa berkedip. Tentu, hal itu membuat Jazmin menjadi begitu risih.
"I-ini belum sah, kan? Setelah kami berpikir lebih jauh, kami menolak saja. Aku pribadi ingin membatalkan perjanjian ini saja," ungkap Jazmin dengan penuh keberanian. Tidak peduli pada tatapan Bian yang kaget dengan jawaban dirinya.
"Zi …," lirih Bian. Dia sendiri tahu bagaimana kondisi keuangan Jazmin dan ini adalah kesempatan besar untuk Jazmin lepas dari para rentenir yang setiap hari seakan-akan meneror kehidupan wanita itu. Satu lagi, Bian tidak tahu antara Aksa dan Jazmin pernah menjalin hubungan spesial.
"Pak Dirga sudah memberitahu kami bahwa kalian setuju. Tolong, jangan main-main. Presdir kami tidak punya banyak waktu untuk sekedar meladeni kalian yang terkesan menipu ini," ungkap Gio yang tiba-tiba mendadak jengkel pada ucapan Jazmin barusan.
Aksa mengangkat tangannya menghadap Gio, memberi kode seolah-olah tidak perlu sampai semarah ini pada dua orang yang ada di hadapan mereka. Aksa jelas tahu jika Jazmin memiliki alasan tersendiri karena dia.
"Pres-"
"Sudah, tidak apa," tutur Aksa. Sorot matanya masih setia memandang Jazmin dengan sendu.
"Kalau begitu, saya permisi dan maaf telah membatalkan kesepakatan ini." Jazmin pun berdiri dan sedikit membungkukkan badannya untuk memberi rasa hormat pada Aksa. Setelah itu, dia benar-benar langsung pergi tanpa mengajak Bian. Bian pun merasa keheranan dengan sikap Jazmin yang mendadak aneh dan terkesan menghindari situasi yang telah dibuat canggung.
"Bagaimana ini?" tanya Gio sembari menatap ke arah Bian yang terlihat tidak tahu menahu tentang sikap ketidakprofesionalan dari Jazmin.
"M-aaf. Maafkan aku, ak-"
"Biar aku saja yang menyusulnya, aku mengenal dia di Swiss. Aku akan berbicara pada Jazmin dengan baik-baik," sela Aksa cepat. Pria itu enggan berbasa-basi dan segera melangkahkan kakinya dengan cekatan untuk menyusul Jazmin yang berjalan ke arah toilet restoran tersebut.
Aksa pun sedikit berlari karena punggung Jazmin terlihat semakin jauh dari pandangan matanya. Rambut hitam sepunggung itu membuat si wanita semakin cantik dan anggun.
Stap!
Aksa meraih pergelangan tangan Jazmin dan membawa wanita itu ke tempat yang sedikit sepi. Dengan pergerakannya yang begitu kuat, dia membuat punggung Jazmin menempel pada tembok bernuansa putih tersebut. Ya, pergerakan Jazmin terbatasi sekarang.
"K-kau-"
Dengan cekatan, Aksa menutup mulut Jazmin dengan telapak tangannya. "Jangan berteriak, aku tidak bermaksud ingin menyakitimu," ucap Aksa agar Jazmin mengerti situasi.
Jazmin menggeleng-geleng dengan kencang, dia tidak mau sekedar berbicara dengan Aksa.
"Sebentar saja, Jazmin …." Sorot mata Aksa mendadak sayu untuk membuat Jazmin terhipnotis. Ya, Jazmin mengubah ekspresinya menjadi tenang karena terbuai dengan tatapan mata Aksa yang begitu lembut.
Aksa menjauhkan telapak tangannya dari bibir kemerahan Jazmin. "Apa kabar?" tanyanya dengan nada yang begitu lembut. Bukankah sapaan adalah hal yang terpenting saat bertemu orang yang sudah lama tidak kita jumpai?
Jazmin membuang wajahnya ke samping, enggan membalas tatapan Aksa lagi. "Aku tidak ingin berurusan denganmu. Kau sengaja ya ingin menjebakku!" Selidiknya dengan penuh kedengkian dan merasa benci dengan pria yang ada di hadapannya tersebut.
Aksa sedikit menjauhkan tubuhnya. "Jujur, aku tidak tahu menahu tentang dirimu. Aku hanya diberitahu bahwa yang akan mengandung keturunanku adalah seorang wanita lulusan S2 di Swiss. Wanita cerdas asal Indonesia yang selalu mendapatkan beasiswa di kampusnya."
Jazmin mengulum bibirnya, dia menatap tajam pada Aksa. "Sudah, kan? Aku tidak ingin melanjutkan pekerjaan ini. Aku menolak menjadi ibu pengganti untuk keturunanmu, cari saja wanita lain yang siap."
"Aku membutuhkan keturunan dari ibu yang cerdas," ucap Aksa dengan penuh keyakinan dan tegas.
"Aku tidak mau!" sela Jazmin dengan begitu cekatan.
Aksa menghela nafas panjang. "Aku tidak bermaksud memaksamu. Aku dengar, kau seorang dosen kontrak yang mengundurkan diri dan memilih pekerjaan ini. Kau membutuhkan uang untuk melunasi ratusan juta hutang ayahmu. Apa kau yakin akan menolaknya? Imbalan yang kau terima dariku jauh-jauh lebih besar dari tawaran pria lain."
Jazmin mengangguk cepat. "Ya, aku yakin itu. Aku lebih tidak sudi bekerja sama denganmu," sarkasnya dengan spontan.
"Kau merasa aku masih mencintaimu?"
Deg!
Jantung Jazmin hampir tidak berdetak saat pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut seorang direktur Adinan real estate.
"Kenapa kau terlalu percaya diri, Jazmin Andara?"
Deg! Deg!
Bahkan, Jazmin merasa harga dirinya telah jatuh dan merasa malu atas pertanyaan Aksa.
"A-aku-"
"Aku memiliki seorang istri, Jazmin. Istriku juga orang yang cerdas, hanya saja tidak seberuntung dirimu yang memiliki rahim sehat. Tentu, aku adalah seorang suami yang begitu menghormati dan menyayangi istriku lebih dari aku menyayangi diriku sendiri." Aksa benar-benar tidak membiarkan Jazmin menyela ucapannya.
Jazmin pun juga mendadak diam. Dia bersusah payah untuk menelan ludahnya. Bagaimana bisa Aksa menyebutkan Jazmin lebih beruntung dari istrinya? Jika boleh memilih, Jazmin tidak ingin terlilit hutang karena ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu.
"Bukankah hubungan kita sudah selesai sejak lima tahun yang lalu?"
Jazmin mendongakkan kepalanya dan menatap Aksa dengan lantang. Dia memberanikan dirinya untuk membela diri. "Justru itu Aksa, aku tidak ingin terlibat dalam lingkunganmu lagi. Karmaku, telah kurasakan sendiri karena pernah menjadi wanita yang menyakiti wanita lain. Justru sekarang, aku tidak ingin menambah luka lagi pada diriku sendiri," lontar Jazmin dengan tegas. Obsidian kelamnya terbaca oleh Aksa, pancaran menanggung beban dan lelah di saat yang bersamaan.
Aksa mengangguk pada akhirnya. "Baiklah, jika memang itu keputusanmu. Jika kau benar ingin menolak tawaran ini, maka kau sendiri yang akan kesulitan dikejar oleh para rentenir. Jika kau menerima, juga aku hanya akan peduli pada anakku yang akan kau kandung. Aku tidak akan peduli padamu ataupun masalahmu. Karena yang aku butuhkan hanya seorang keturunan."
Jazmin menggigit bibir bawahnya, dia menjadi bimbang setelah diingatkan dengan rentenir yang selalu menghantuinya. Di satu sisi, dia tidak ingin berurusan dengan Aksa. Namun, di sisi lain dia sangat ingin segera terlepas dari para rentenir yang bahkan pernah hampir membunuhnya.
"Tawaran ini tidak berlaku dua kali," sungut Aksa.
Diam.
Jazmin masih berkutat dengan pemikirannya dan kebimbangan. Akankah ia ambil?
"Aku pergi."
Stap.
Jazmin menahan lengan Aksa dan merematnya sedikit. "A-aksa …," ucapnya dengan gugup. "A-aku akan mencoba," sambungnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Tidak ada pilihan lain karena ini rencana Tuhan dan semesta menyetujuinya.