Apartemen Baru

1072 Words
Lagi, aku datang bukan untuk mengulang masa lalu kelam itu. Jazmin memandang lekat pada seluruh ruangan dari apartemen yang akan ia tempati. Sebuah tempat luas yang diberikan Aksa sebagai imbalan awal karena Jazmin mau menerima tawaran untuk menjadi ibu dari keturunannya. Aksa melipat tangan di d**a dan berpura-pura menjadi laki-laki yang cuek di depan Jazmin. "Ini tempat tinggal yang jauh lebih layak dari apartemen kecilmu itu. Semata-mata aku memberikannya karena peduli pada calon anakku nanti. Anggap saja rumahmu sendiri atau jika waktu itu tiba kau bebas untuk tetap tinggal atau pergi sesuai kemauanmu." Jazmin mendongakkan kepalanya untuk menatap Aksa. "Terima kasih," ucapnya singkat yang membuat Aksa mengangguk setuju. Selanjutnya, Aksa mengalihkan pandangan pada pergelangan tangannya yang dibaluti jam tangan. Waktu makan siang telah lewat dan dia harus buru-buru ke kantor untuk melaksanakan rapat bulanan karena dia seorang direktur utama yang paling ditunggu kehadirannya. "Besok aku akan menunggumu di klinik bersalin Gumilar. Asistenku tadi yang akan mengabarimu. Tidak ada kata telat karena aku orang yang disiplin," tegas Aksa sembari memperbaiki lengan bajunya yang sedikit terangkat ke atas. "Baik." Jazmin mengangguk. Dia tidak ingin memperpanjang obrolan bersama Aksa dan berharap agar laki-laki itu segera pergi dari hadapannya. Aksa sedikit termangu atas jawaban Jazmin, wanita itu terlihat enggan menatap Aksa lebih lama. Aksa pun berjalan ke arah pintu keluar dan ia menyadari bahwa Jazmin membuntutinya dari belakang. "Kau-" Jazmin mendadak memberhentikan langkahnya karena hampir bertabrakan dengan punggung Aksa yang ada di depannya. Apa-apaan laki-laki itu dan kenapa tidak pergi juga? Malah asik terus-terusan mengajak Jazmin untuk berbicara. "Apa?" "Kenapa mengikutiku?" Jazmin menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku tidak mengikutimu," jawabnya dengan begitu singkat dan ada raut wajah yang sedikit kesal karena laki-laki itu terlalu percaya diri bahwa Jazmin membuntutinya. "Lalu? Ingin mengantarku sampai ke basement?" Jazmin menautkan kedua alisnya secara serentak dan keheranan melihat sikap Aksa yang menurutnya terlalu angkuh saat ini. "Tidak usah terlalu percaya diri. Aku akan keluar dan kembali membawa barang-barang dari tempat tinggal lamaku," tutur Jazmin dan tanpa menunggu balasan dari Aksa, dia melewati laki-laki itu begitu saja dan keluar lebih dulu. Sebisa mungkin untuk menghindar dan menjauhi Aksa yang notabennya adalah mantan kekasih di Swiss. "Cih!" Aksa berdecak dan menyusul Jazmin sampai masuk ke dalam lift. Dalam penglihatan yang terpantul dari dinding berbahan kaca, ia bisa melihat Jazmin secara keseluruhan. "Bajumu tidak berkelas," sindirnya dengan ucapan yang dingin. Jazmin pun menyadari dan berusaha menggeser posisi berdirinya jauh dari Aksa. Tepat, lift tersebut hanya berisi mereka berdua. "Bukan urusanmu. Kau tidak berhak mengomentariku. Jangan bicara padaku kalau tidak penting karena kita hanya sebatas pekerjaan," pertegas Jazmin. Tangannya hampir terkepal karena omongan Aksa yang merendahkannya. Jazmin tahu jika dia miskin, tapi bukan berarti Aksa boleh menghina penampilan sederhananya itu. "Urusanku karena kau akan mengandung anakku. Aku tidak ingin selera anakku nanti tidak berkelas sepertimu." Dug! Bagai dihantam batu ke atas d**a, Jazmin mencoba menahan hati karena kejamnya mulut Aksa. Dia meremat kuat pinggiran bajunya dan dibaluti gigitan pada bibir bawahnya. Awalnya, dia mengenal Aksa sebagai lelaki yang tidak pernah memiliki senyum sedikitpun. Hari demi hari di Swiss nyatanya hanya candaan yang tidak berarti bagi laki-laki itu. Bagaimana bisa dia melupakan bahwa Jazmin lah yang menghidupkan jati diri Aksa sebenarnya? Dan juga …. Jazmin yang kembali membunuh jati diri seorang Aksa Adinan. Andai saja jika hari itu Aksa jujur dari awal, mungkin cerita mereka tidak akan berakhir seperti ini. Ting. Pintu lift terbuka dengan sendirinya karena telah sampai pada lantai satu. Jazmin melangkahkan kakinya lebih dulu dan tidak menegur Aksa lagi. Dia berjalan ke arah lobi dan memesan ojek online lewat ponselnya yang sedikit lagi akan terbelah dua karena sudah tua. Aksa pun hanya memperhatikan gerak-gerik gadis itu dengan seksama. Ada rasa sesal karena telah menghina cara berpakaian Jazmin yang padahal menurut dirinya sangat sederhana dan manis. "Dia tidak bereaksi apapun. Dia benar-benar tidak ingin mengenalku ataupun mengingat masa lalu hari itu. Kehidupannya jauh lebih berantakan dari yang aku kira …," gumam Aksa dam memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Setelahnya, pria itu memilih menuju basement dan segera pergi ke kantornya. Tersisa Jazmin yang sedang menunggu gojek datang, bahkan Aska lewat dengan mobilnya pun Jazmin abaikan. Lebih baik seperti ini, benar-benar menjaga jarak agar hatinya tidak kembali goyah. Dia tidak ingin kejadian dahulu terulang lagi. Jazmin hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan apakah dia mampu melihat anak yang akan ia kandung untuk diberikan pada Aksa? *** "Jazmin!" "Huh?" sambut Jazmin sembari menolehkan kepalanya ke sumber suara. Itu Bian yang datang menghampiri dirinya dan sedikit berlari tergesa-gesa. "Kau kembali? Bukannya sudah diberikan tempat tinggal yang baru oleh pak Aksa? Tinggalkan saja tempat ini yang sudah tidak aman untukmu," seloroh Bian sambil mengikuti Jazmin masuk ke dalam apartemennya yang berukuran kecil tersebut. "Aku akan mengambil barang-barangku, Bi. Tenang saja, aku tidak akan kabur lagi dan membuatmu kelimpungan. Aku harus segera membayar hutang-hutang ayahku dan hidupku akan bebas." "Tapi, kenapa kau kabur tadi dan tanpa berdiskusi denganku dahulu?" Jazmin menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Bian yang juga ikut menghentikan langkah kakinya. "Bi, maafkan aku. Akan aku pastikan tidak akan kabur lagi. Aku berjanji padamu." Bian melipat tangannya di atas perut dan menatap Jazmin dengan rasa penasaran yang dalam. "Zi, aku bukan mempermasalahkan hal-hal yang menjurus dengan uang yang akan kita dapatkan nanti. Aku penasaran dengan alasan kenapa kau kabur tadi. Kita ini teman, Zi … biarkan aku tahu alasanmu agar aku bisa menjagamu dengan benar kali ini. Aku tidak ingin kejadian masa lalu itu terulang dua kali dan berakhir aku gagal melindungimu." Jazmin menggigit bibir bawahnya dengan kuat. "I-itu … masa lalu itu disana. A-aku takut …." Bian menaikkan satu alisnya dan pikirannya penuh dengan tanda tanya. "Z-zi? Apa maksudmu?" "D-dia, dia yang menghancurkan hidupku hari itu. Dia yang merusak semuanya sampai aku harus kehilangan pororoku." Mata Bian terbelalak kaget dengan jantungnya yang berpacu dengan tidak biasa. Pengakuan Jazmin barusan membuatnya sangat syok dan tidak bisa ia terima secara langsung. Sesempit itukah dunia itu? "P-pak Aksa? Dia orangnya? Pak Aksa yang te-" Jazmin mengangguk dengan kuat dan penuh keyakinan sebagai jawaban atas pertanyaan Bian yang belum terselesaikan itu. "P-pororoku-" Set! Bian merengkuh Jazmin ke dalam pelukannya dengan seerat mungkin. "M-maaf … maafkan aku Jazmin. Aku tidak berpikiran jika dia adalah masa lalu terburukmu. Maafkan aku, maaf kau harus menanggung ini … maafkan aku. Mari kita hentikan saja. Mentalmu lebih penting, Zi …." Jazmin menggeleng di dalam rengkuhan Bian. "Tidak. Itu tidak bisa, Bi …." Bagian itu adalah luka sempurna yang tidak ada duanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD