Dia hanya terjebak dengan perasaannya sendiri. Tanpa disasari, dia sedang menyakiti diri sendiri.
Jazmin hampir melongo melihat bagaimana lahapnya Aksa makan pada siang hari ini. Lauk yang ia masak juga hanya tempe yang digoreng dengan tepung dan juga tumisan sayur kangkung. Tapi, Aksa melahapnya seperti makanan mahal yang tersedia di restoran.
"Aksa belum makan siang, ya?"
Aksa menggeleng dan tidak mengizinkan mulutnya berbicara. Laki-laki itu sibuk menikmati makanannya sampai tidak sadar jika cacing masih berbunyi. Apa Jazmin mendengarnya? Tentu saja.
Jazmin pikir Aksa sudah makan siang dan hanya memberi dua centong nasi tadi. Lalu, saat tahu pria itu belum makan siang, Jazmin memasukkan lagi beberapa centong besar nasi dan mendekatkan piring lauk ke dekat Aksa.
"Tambah, ya? Biar kenyang perutnya," tawar Jazmin. Sebanyak apapun dia membenci Aksa hari itu, kini dia lupa seharusnya ia cuek pada laki-laki itu. Namun, bagaimana? Dia membutuhkan kerja sama ini dan membutuhkan bayaran fantastis untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.
Aksa memberhentikan kegiatannya dan menatap Jazmin. "Kau tidak makan memangnya?" tanyanya karena merasa tidak enak telah menjadi orang rakus yang menghabiskan makanan milik Jazmin.
Jazmin berdiri dan mengambil gelas bening untuk diisi air putih tawar. "Aku sudah makan sebelum ke lobi bawah," jawabnya sembari mendekatkan gelas tadi di dekat piring Aksa. Ternyata, air minum itu untuk laki-laki tersebut.
Aksa sedikit termangu melihat perhatian kecil dari Jazmin. Tidak pernah berubah dan Aksa jadi semakin merindukan momen romantis saat mereka masih berstatus sebagai sepasang kekasih.
"Boleh buatku semuanya?"
Jazmin mengangguk yang diartikan dengan tanda setuju. "Boleh. Nanti malam aku akan masak lagi," jawabnya dan masih memperhatikan Aksa yang sedang fokus makan. "Ada apa kemari? Apa ada yang perlu dibicarakan?"
"Ini apartemen punyaku. Jadi, itu urusanku mau datang setiap hari, setiap menit, setiap detik dan itu bukan urusanmu." Aksa kembali dalam mode jutek dan dinginnya mengalahi kutub es yang sering Jazmin lihat di tv.
Jazmin pun meredamkan tatapannya dan hampir melengkungkan sudut bibirnya ke bawah. Kecewa dengan sikap Aksa yang selama berpacaran laki-laki itu lemah lembut dan memperlakukan Jazmin seperti ratu.
"Euhm …."
"Apa!" Aksa kembali menaikkan pandangannya pada Jazmin. "Kenapa ekspresimu begitu? Bukankah ini yang kau inginkan di antara kita? Bersikap tidak saling mengenal dan menjaga jarak. Aku melakukannya dengan baik, bukan? Tapi, kenapa kau yang terlihat menyedihkan dan mengharapkan aku yang seperti dulu?"
"Aku tidak ingin bertengkar, Aksa …," lirih Jazmin, suaranya hampir terdengar bergetar. "Apa hubungan kita tidak berarti? Sepertinya aku yang bersalah waktu itu, walau hatiku terluka karena luka yang kau tancapkan," sambung Jazmin dan dia berdiri dari bangkunya, meninggalkan Aksa dan masuk ke dalam kamarnya.
Menurut Jazmin, Aksa telah berubah banyak dan dia tidak mengenali sosok laki-laki itu lagi. Awalnya, memang Jazmin menghindari Aksa, namun bukan ini yang dia mau. Pria itu terlalu berlebihan seolah-olah Jazmin adalah manusia terkotor yang pantas diperlakukan dengan tidak adil.
"Jazmin?"
Tidak ada jawaban karena pintu kamar Jazmin tertutup rapat. Ada hanya terdengar bunyi gagang pintu yang terkunci dengan sempurna. Lagi, Aksa mengusap wajahnya dengan kasar. Gara-gara pertengkarannya dengan Mika tadi, Aksa melampiaskannya pada Jazmin, hingga wanita itu merasa terluka.
"Bodoh! Bodoh! Aksa bodoh!" gerutunya memaki diri sendiri yang sudah kelewatan terhadap Jazmin.
Jazmin pun di dalam kamar memilih untuk bermain dengan ponselnya. Jujur, dia sakit hati dengan sikap Aksa tadi, tapi bukan berarti dia akan bersedih sampai berlarut-larut. Jazmin berpikir ada benarnya tindakan Aksa yang cuek padanya dan juga Jazmin tidak berniat untuk kembali pada Aksa yang statusnya adalah suami wanita lain.
Masih di meja makan, Aksa kembali menyantap lauk sederhana yang berhasil menghipnotis dirinya. Sangat enak atau Aksa kelewat rindu pada masakan Jazmin?
"Sangat enak, aku ingin keluarga kecil yang bahagia bersama Mika. Tapi, kenapa hanya ada pertengkaran selama ini," gumamnya. Dia memikirkan sudah berapa banyak hal menyakitkan yang dilalui bersama Mika. Jika ditanya apakah Aksa menyayangi Mika? Maka, jawabannya adalah iya. Namun, rasa sayang itu sebatas karena mereka tinggal di satu atap yang sama dan hidup berdampingan.
Tentu, tahta pertama dalam hati Aksa masih seperti dulu, Jazmin Andara. Seberapa banyak denial dengan rasa sayang itu, maka semakin Aksa merindukan kehadiran Jazmin.
Setelah makan siang itu selesai, Aksa memilih untuk menonton tv. Handphone-nya sengaja dimatikan secara total agar dia bisa menenangkan diri. Dia tahu jika Mika pasti akan menelponnya berulang kali untuk menanyakan Aksa ada dimana.
Aksa pun tertidur hingga pukul 17.30, dia terbangun dan menyadari jika hari sudah sore. Jazmin pun juga sepertinya tidak keluar kamar sejak tadi. Aksa berinisiatif untuk menegur Jazmin lebih dulu.
"Jazmin? Apa kau di dalam? Apa tidak mau keluar?" Aksa berusaha mengetuk pintu kamar Jazmin dan memanggilnya berulang kali sampai wanita itu menyahut. "Jazmin! Buka dulu pintunya. Apa kau tidak ingin mencari makan malam? Oke! Aku mengaku salah sudah membuatmu tersinggung. Tapi, tolong buka dulu pin-"
Sret.
Jazmin membuka pintu kamarnya dan memasang wajah datar saat melihat Aksa ada di depan pintu kamarnya.
"Ada apa? Aku tidak ingin bertengkar, Aksa."
"Kau marah pada perkataanku tadi?"
Jazmin mencoba biasa saja dan tidak peduli pada kejadian tadi. "Tidak. Aku biasa saja dan hanya tidak ingin bertengkar denganmu. Lupakan saja, jangan mengajakku berbicara jika kau muak padaku."
Aksa mengulurkan tangannya ke hadapan Jazmin, tentu membuat wanita itu keheranan dengan sikap Aksa sekarang. Apalagi yang ingin laki-laki itu perbuat untuk memarahi Jazmin?
"Hum?"
"Ayo." Aksa menggerak-gerakkan tangannya agar Jazmin mau berpegangan tangan dengannya.
"Kemana?" tanya Jazmin. Tumben sekali berlagak baik pada dirinya, bukankah tadi sangat ketus dan tidak bisa diajak berbaikan?
"Membeli makan malam bersamaku sebagai permintaan maaf karena telah membuatmu tersinggung," jawab Aksa dengan menaik turunkan alisnya dan ingin sekalian mentraktir Jazmin.
Tatapan Jazmin kentara sekali karena dia keheranan dengan laki-laki tersebut. Tapi, mumpung Aksa dalam mode baik, dia menerimanya dan berjalan lebih dulu masuk ke kamar tanpa menerima uluran tangan Aksa. Itu, tidak mungkin untuk bersentuhan dengan pria tersebut.
"Oke. Aku menerimanya."
Aksa mengangguk-ngangguk dengan wajah polosnya sambil memperhatikan tangannya yang ditolak Jazmin. Dia membuntuti gadis itu yang masuk lagi ke dalam kamar. Ada apa?
"Ehm?"
Jazmin berbalik badan karena merasa ada yang mengikuti, sebab ada deheman Aksa yang sangat dekat dengan telinganya.
"Aku tahu ini apartemenmu. Tapi, apa kau tetap juga boleh seperti ini masuk ke dalam kamarku? Ini kan privasiku. Apa tidak bisa tunggu diluar saja? Aku ingin mengambil sweaterku!"
Set.
Aksa berbalik mundur dengan menggaruk-garukkan kepala belakangnya. Dia juga heran kenapa dirinya ikut masuk ke dalam kamar? Entahlah, hanya Aksa yang tahu.
"Ayo," ajak Jazmin, dia telah keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pintu keluar. Dia memakai sandal dan mengaitkan tas kecilnya ke tubuh.
"Kau mau makan apa?"
"Sate. Aku ingin makan itu malam ini," jawab Jazmin dan didapati anggukan oleh Aksa.
Mereka berdua pergi bersama untuk makan sate. Jazmin pun tidak berpikiran macam-macam karena dia hanya menganggap Aksa sebagai rekan kerja. Sedangkan Aksa? Sudah berdebar jantungnya sejak mereka keluar dari apartemen.
***
"Kau dari mana saja baru pulang jam segini?"
Aksa mengedarkan pandangannya ke arah jam dinding yang tertera menunjukkan pukul 20.40. Dia kembali ke rumahnya karena tidak mungkin berlama-lama dia apartemen Jazmin? Dan pastinya, Jazmin akan risih karena ada Aksa disana.
"Aku dari luar untuk bertemu temanku. Kau sudah makan?" Aksa berjalan mendekati Mika yang menatapnya dengan sendu. Sepertinya, Mika merasa bersalah pada pertengkaran tadi siang. "Maafkan aku, ya."
Mika menggeleng dan sedikit berlari untuk memeluk Aksa. Tentu, laki-laki itu langsung menerimanya dan membawa Mika ke dalam dekapan hangatnya.
"Maaf karena pertanyaanku tadi siang membuat kita bertengkar, Sa," ungkap Mika dengan rasa bersalahnya dan sedikit meluruhkan air mata yang tidak bisa ditahan.
Aksa menggeleng dan mencium puncak kepala Mika. "Tidak. Kau tidak salah, aku juga seharusnya tidak menjawab seperti itu, Sayang," tutur Aksa sembari melepaskan pelukannya di tubuh Mika.
Aksa menangkup wajah Mika dan menghapus air mata di pipi wanita itu dengan jari-jarinya. Ya, Aksa tidak tahan jika melihat wanita sedang menangis, apalagi jika itu adalah istrinya sendiri.
"Aku takut …."
"Aku disini, Mika."
Mika kembali memeluk Aksa lagi, sangat erat seperti tidak ingin ditinggalkan. "Jangan tinggalkan aku. Aku takut, aku takut kau berpaling."
"Aku tidak berpaling, Mika." Aksa tersenyum hambar serta kebohongan hati yang sulit ia jelaskan. Ia pikir move-on dari Jazmin sudah selesai, nyatanya perasaan itu kian membesar setelah bertemu kembali. Aksa pun terus berprasangka bahwa dirinya hanya akan bersama Mika karena mendiang ibunya juga hanya ingin Mika yang menjadi istrinya saja.
"Jangan pergi."
Aksa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pergi."
"Aku yang terbaik, bukan?"
Aksa mengangguk yang artinya setuju. "Kau yang terbaik, Mika," jawabnya, walau itu semua adalah kebohongan. Aksa selalu memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja dan menerima semuanya tentang Mika agar wanita itu juga merasa dihargai.
Mika mendongakkan kepalanya untuk melihat sang suami. "Apa aku boleh bertemu dengan ibu pengganti bayi kita? Aku ingin tahu dan melihatnya secara langsung, Aksa."
Aksa sempat tertegun dan merasa panik dengan permintaan Mika. Tapi, buru-buru dirinya untuk terlihat biasa saja. Lagipula, Mika juga tidak pernah mengenal Jazmin selama ini, dia hanya tahu mantan kekasih Aksa adalah wanita Swiss.
"Aksa?" panggil Mika karena Aksa tidak kunjung menjawab pertanyaan sederhananya itu.
Aksa pun tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Itu artinya dia memperbolehkan Mika untuk bertemu dengan Jazmin. "Tentu saja boleh, Mika."
Mata Mika pun berbinar-binar karena mendapatkan izin dari Aksa. Dia pun melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Aksa untuk masuk ke dalam kamar. Mereka berjalan beriringan dan kembali mengobrol.
"Beneran sudah makan?"
"Iya. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah makan?"
"Sudah, aku memesan pizza karena aku ingin makan itu. Aku juga menyisakan untukmu, apa kau mau memakannya juga?" Mika menawarkannya pada Aksa. Sengaja ia sisakan, mana tahu pria itu saat pulang belum makan dan berakhir Mika akan kerepotan untuk membuat telur mata sapi sebagai menu.
"Nanti, ya. Kalau sekarang sudah kenyang."
Mereka berdua masuk ke dalam kamar dan Aksa segera membuka seluruh pakaiannya. Dia merasa gerah karena belum mandi dan akan berencana mandi sekarang juga.
"Eum, itu."
Aksa menaikkan kedua alisnya. "Apa?"
"Aku ingin meminta izin, dua minggu lagi akan ke Bandung untuk mengisi seminar di salah satu universitas swasta. Kira-kira butuh lima harian aku disana. Apa boleh?"
Aksa meletakkan pakaian kotornya di keranjang cucian. Dia mengambil handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. "Boleh. Tapi, aku tidak bisa mengantarkannya jika itu terjadi dua minggu lagi. Kau tahu sendiri, aku punya jadwal padat yang sudah diatur oleh Karina."
"Tidak apa-apa. Aku akan pergi bersama tim kami. Intinya, kau mengizinkan, kan?"
Aksa mengangguk dan mendekatkan wajahnya untuk mencium dahi Mika. "Boleh. Aku mengizinkannya, Mika."
"Yeee!" Mika tampak senang dan kembali membalas ciuman Aksa, kali ini di pipi.
Setelahnya, Aksa pergi ke kamar mandi dan Mika mengambil ponselnya untuk mengabari timnya. Dia senang karena akhirnya akan pergi ke Bandung dan sekalian bertemu dengan teman-teman lamanya semasa sekolah dahulu.
Di dalam kamar mandi, ada manusia yang jauh lebih bahagia dan kini telah kegirangan karena sang istri akan bepergian selama lima hari. Artinya, akan ada kebebasan yang sungguh luar biasa untuk Aksa.
"Yes! Yes! Jika perlu lebih lama pun akan aku izinkan!"
Kesabaran selalu ada batasnya, tapi untuk berpura-pura mengabaikan terlihat kesulitan.