Penagih Hutang dan Pertengkaran

2058 Words
Di waktu yang sama kau selalu mengerti dengan apa yang aku mau. Aku pikir, aku telah kehilangan sosokmu sejak lima tahun yang lalu. Nyatanya, kau membuat jarak di antara kita semakin tipis. Lihat aku, kau pasti akan memahaminya - 25 Januari 2022 Tertanda, Aksa Adinan. Dia terluka sendirian, tidak punya pilihan karena itu adalah takdirnya. "Sudah aku katakan jika aku belum mendapatkan uang dan bagaimana kalian bisa tahu tempat tinggalku? Aku tidak akan kabur, aku pasti akan melunasi hutang-hutang ayahku." Jazmin meremas gagang pintu apartemennya dan berusaha mendorong agar tertutup dan para penagih hutang tersebut tidak dapat masuk untuk mengobrak-abrik isi apartemen yang ia tempati itu. "Kau bilang tidak ada uang dan sekarang kau tinggal di apartemen mewah ini? Apa kau gila! Bayar hutang-hutang ayahmu itu, baru boleh kabur," sungut Jacob sambil mencengkram bahu Jazmin dengan kuku-kukunya yang tajam. Brak! Salman menendang pintu apartemen tersebut secara asal dan berhasil membuat lengan Jazmin tergores tajam. Jazmin pun memundurkan langkah kakinya dan berhasil menjauhkan bahunya dari cengkraman Jacob. "Tolong, jangan buat keributan. A-aku akan membayar dengan cara mencicilnya," pinta Jazmin, kedua tangannya menyatu dan membentuk tanda memohon. "Cuih!" Jakob meludahi Jazmin dan mencekik leher wanita itu dengan kuat. "Mencicil? Berapa uang yang kau punya memangnya? Sudah kubilang bekerja sama denganku untuk melayani para petinggi dan bos-bos besar kasino, dengan itu kau bisa melunasi hutang ayahmu!" Plak. Jazmin menampar Jacob dengan sekuat tenaga, hingga Jacob melepaskan tangannya dari leher Jazmin. "Jangan menyuruhku untuk bekerja dengan cara yang kotor! Yang berhutang pada bosmu itu adalah ayahku! Bukan aku! Kenapa aku yang kalian cari! Silahkan saja kau gali kuburan pria b*****t itu! Aaaaakkk!" Jazmin berteriak sejadinya karena dia muak dengan semua beban yang menimpa dirinya itu. Jacob terkekeh geli sembari mengusap bekas tamparan Jazmin. Lalu, alihnya bergerak dengan menjambak rambut Jazmin untuk diseret dengan asal. Dia membawa wanita itu sampai ke ruangan tengah yang disana tv menyala. "Tanggung jawab dan bayar hutang-hutang ayahmu! Jika tidak, kami berdua akan menarikmu paksa untuk dijejerkan bersama wanita-w*************a disana. Atau kau mau lihat sesuatu?" Jacob tampak akan mengancam Jazmin dengan cara yang paling ampuh dan terjamin. "Apa!" Mata Jazmin membelalak dengan sempurna. Apa lagi ancaman yang akan diberikan oleh dua pria besar yang mengerikan itu? Jacob melepaskan jambakan rambut Jazmin dan sedikit mendorong wanita itu, hingga Jazmin terbaring ke atas sofa. Jacob melirik Salman untuk melancarkan aksinya. "Keluarkan," titah Jacob dan kemudian dituruti oleh Salman. Salman pun mengeluarkan ponselnya dan dilempar ke arah Jazmin hingga mendarat di atas sofa juga. "Kau bisa lihat video itu! Dan lihat bagaimana ibumu bermain kotor melayani para bos besar kasino. Jadi, kau itu jangan sok suci dan segera bayar hutang ayahmu itu! Apa kau mau video ibumu melayani para bos besar itu tersebar dimana-mana. Atau kau mau jadi bahan gunjingan di kampus tempat kau bekerja? Agar mahasiswa-mahasiswamu tahu jika ibumu adalah penjual diri dan kau juga akan segera menyusul seperti ibumu? Menjual diri dan berakhir bunuh diri?" Salman mengatakan itu semua dengan penuh ejekan. Seolah-olah harga diri Jazmin pantas untuk dimainkan dan diejek seperti itu. "Kalian iblis!" Jazmin tidak menyentuh ponsel milik Salman. Tapi, dia bisa melihat video itu terputar, mempertontonkan bagaimana mendiang ibunya yang melayani para bos besar kasino. Ibu Jazmin meninggal sebelum ayah Jazmin tiada. Itu artinya, di saat sang ayah masih hidup, dia membuat istrinya menderita dan menuruti untuk melayani kotornya para penjilat petinggi dan bos besar kasino. Runtuhlah pertahanan Jazmin, dia membutuhkan Bian sekarang. Dia tidak bisa menahan ini sendirian, dia ingin mencoba bunuh diri untuk yang kesekian kalinya. Ia harap, kali ini berhasil. "Jangan mencoba lari atau kabur dari kami. Jika kau melakukan tindakan aneh, temanmu si Bian yang akan kami bantai!" Jazmin meremas pinggiran bajunya, itu yang selalu tertahan saat dia hendak nekat bunuh diri. Selalu kalah jika nama Bian disebutkan dan berakhir dia tidak jadi melakukannya. Karena Bian, Jazmin masih bertahan. "Eungh- a-aku-" Jazmin menghapus air matanya yang jatuh tanpa henti. "Aku hanya pegang uang 10 juta. Aku tidak akan kabur tapi aku butuh waktu untuk melunasinya karena aku baru mulai bekerja," ungkap Jazmin. Dia ingin Jacob dan Salman memberikan dia sedikit keringanan waktu untuk melunasi hutang-hutang ayahnya. Satu alis Jacob terangkat dan berjalan mendekati Jazmin. Kakinya naik untuk menginjak paha Jazmin. "Jika tidak?" Jazmin meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia berusaha menatap Jacob dan Salman bergantian. "Aku akan menjual diriku jika memang itu perlu dilakukan." Jacob tersenyum dengan penuh kemenangan dan menurunkan kakinya. Dia duduk disebelah Jazmin dan mengeluarkan ponselnya. Salman pun juga mengambil ponselnya dan memilih duduk berhadapan dengan Jazmin. "Transfer sekarang 10 juta dan tidak boleh kurang!" Jazmin mengangguk-ngangguk dan segera mengambil ponselnya yang terletak di dekat meja tv. Dia mulai membuka layanan banking dan segera mentransfer 10 juta ke rekening pria itu. "Sudah aku transfer. B-beri aku waktu sedikit lebih banyak dari yang dijanjikan. A-aku janji akan membayarnya hingga lunas." Jazmin memasang wajah memohon pada Jacob. Salman pun memperhatikan seluruh isi ruangan apartemen milik Jazmin. Tersusun dan tertata rapi perabot-perabot rumah tangga yang mahal dengan harga fantastis. "Apa jaminannya? Perabot rumah tangga disini kulihat sangat mahal. Jika dikumpulkan bisa membayar setengah hutang ayahmu yang ratusan juta tersebut," tawar Salman dan dia berdiri untuk memperhatikan satu persatu perabot rumah tangga tersebut. Jazmin menggeleng-gelengkan kepala, tanda tidak setuju. Mana mungkin, semuanya adalah milik Aksa dan tidak mungkin digadai sebagai jaminan. "Tolong, jangan seperti itu. Aku sudah berjanji untuk membayarkannya dengan jaminan diriku sendiri. Kasih aku waktu dan aku akan segera melunasi hutang-hutang ayahku," pinta Jazmin. Tanpa sadar, dia berlutut di bawah kaki Salman dan juga Jacob. Jacob pun menepis dengan sedikit kuat dengan kakinya. "Baiklah. Aku akan membuat itu sebagai jaminan darimu." Jacob mengeluarkan secarik kertas surat perjanjian. Tentu, dia sudah menyiapkan kertas untuk Jazmin tanda tangani dan dilempar ke arah gadis tersebut. "Tanda tangani itu." Jazmin membuka lembar demi lembaran, perjanjian tertulis bahwa Jazmin telah bersedia menjadikan dirinya sebagai jaminan jika hutang dari Julian Danus yang merupakan ayahnya tidak bisa dilunasi dengan waktu yang telah disepakati. Mau tidak mau Jazmin menandatangani dengan segera. Dia tidak punya pilihan, bahkan untuk pergi dari dunia ini saja tidak bisa karena akan menyusahkan banyak orang termasuk Bian. "I-ini …." Jazmin menyerahkan lembaran tersebut kepada Jacob. "Bagus! Anak manis dan penurut," tutur Jacob sembari menyentuh dagu Jazmin. "Jangan s-sentuh," ucap Jazmin dengan begitu gugup. Jazmin berusaha menjauhkan dirinya dari Jacob, hal itu sangat menjijikkan baginya karena Jacob terlihat lebih genit dibandingkan dengan Salman. Salman pun menyenggol bahu Jacob, dia sebenarnya masih ada rasa empati pada Jazmin. Hanya saja, pekerjaan adalah pekerjaan dan Jacob barusan telah melenceng dari tujuan awal. "Penakut sekali," sindir Jacob, entah ia tujukan pada Jazmin ataupun Salman. Setelahnya, Jacob dan Salman segera pergi dari apartemen Jazmin. Menyisakan sosok Jazmin yang segera menutup rapat pintu dan mengganti password dengan segera. Ia trauma dengan setiap kejadian yang selalu berakhir mengancam nyawanya. Tidak mudah dialalui, tapi jazmin harus. *** Sejak pulang dari kantornya pada jam 11 tadi, Aksa terlihat banyak diam dan pikirannya yang entah jauh kemana. Makanan yang dihadapkan padanya saja belum tersentuh sama sekali. "Hari ini ibu Risa tidak bisa mengantar catering, beliau sedang sakit. Jadi, aku hanya bisa memasakkan telur dadar untukmu. Apa kau tidak berselera untuk makan siang? Apa perlu aku pesankan pizza saja?" Aksa tersadar dari lamunannya dan menatap Mika dengan datar. "Tidak perlu, telur dadar saja sudah cukup," jawab Aksa dan mulai menyendok makanannya ke mulut. Sejujurnya, Mika tidak bisa memasak karena wanita itu juga sibuk membangun karir sebagai salah satu designer di bidang pakaian. Aksa juga tidak terlalu peduli pada hal itu, makanya mereka selalu menyewa catering setiap harinya. Mika terlihat hati-hati ketika ingin mengajak Aksa berbicara. Tapi, ada sedikit rasa penasaran pada rencana mereka tentang ibu pengganti waktu itu. "Aksa?" "Uhm?" "Bagaimana dengan ibu pengganti bayi kita? Bagaimana rupanya? Apakah sangat cantik? Apakah sangat cerdas sesuai yang dikatakan oleh Gio? Apa dia terlihat seperti wanita baik-baik saja dan juga sopan? Aku ingin wanita tersebut mampu membuat anak kita menjadi anak cerdas dengan sifat yang baik hati pula." Rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Mika membuat Aksa sedikit muak dan telinganya terasa panas. Tidak tahu mengapa, ada rasa muak dan ingin cepat-cepat pergi dari meja makan. Aksa menarik nafas dengan pelan dan dihembuskan cukup lama. "Dia wanita yang sangat cantik dan cerdas. Fisiknya juga bagus dan sifatnya sangat baik. Mungkin, kita akan kesulitan mencari ibu pengganti yang lain jika dia tidak mau." Mika meneguk ludahnya dan entah kenapa ada rasa sedikit kesal? Suaminya itu seolah-olah tengah memuji ibu pengganti untuk keturunan mereka. "Wah, secantik itukah? Sampai kau harus menjelaskan sedetail itu? Apa kau menyukainya?" Ting! Aksa meletakkan sendok dan garpunya secara asal, sehingga menimbulkan bunyi antara benturan sendok dan piring. "Apa kau mau memulai pertengkaran lagi? Bukankah kau yang lebih dulu bertanya dan aku menjawab dengan jujur?" Mika menarik nafas dengan kasar dan sedikit mendengus kesal. "Aku hanya bertanya dan kau menjawab dengan detail seperti itu. Buat apa? Apa wanita itu menggodamu, huh?" "Mika!" tekan Aksa sambil menatap Mika dengan tajam. Ini yang tidak ia suka dari Mika, ucapannya selalu tidak terarah dan menyakitkan. Aksa benci dengan situasi seperti ini dan berakhir dengan saling mendiami. Aksa dan Mika tidak cocok jika disatukan dalam satu atap yang sama. Aksa muak untuk terus mengalah. Mika kembali membalas tatapan Aksa dengan tidak mau kalah. "Kenapa? Ternyata benar, ya?" Aksa berdiri dari duduknya. "Kau ini gila, ya? Kau yang memulai duluan dan sekarang kau menuduhku begitu? Dari awal kan kau yang mendesakku untuk mencari ibu pengganti dan menolak untuk mengadopsi anak panti. Aku berusaha memahami keinginanmu itu, menuruti permintaanmu, mencarikan ibu pengganti sesuai harapanmu dan ketika aku bertemu dengan wanita itu kau malah bertanya seperti itu dan merasa kesal. Kau pikir aku ini apa? Laki-laki penuh kesabaran? Aku muak, Mika!" Mika semakin jengkel dengan jawaban Aksa. Dia ikut menantang suaminya dengan cara berdiri juga. "Jadi, kau menyalahkanku atas semuanya?" Aksa mengusap wajahnya dengan kasar dan tangan yang satunya terkepal hebat. "Wah! Semakin gila jika aku melanjutkan perdebatan sampah ini!" berang Aksa, dia berbalik dan berjalan ke arah tangga. Dia tidak jadi menghabiskan makannya dan sekarang memiliki rencana untuk keluar rumah. Mika yang melihat punggung Aksa menjauh tidak bisa membiarkan laki-laki itu mengabaikan saja. "Kabur? Apa keahlianmu adalah kabur dan lari dari masalah?" Bug! Aksa melayangkan tinjuan mengenai dinding berbahan keramik untuk meluapkan emosinya tersebut. Mika juga terlihat kaget dan memegangi dadanya yang sesak. Aksa tidak pernah sampai semarah ini? Apa perkataannya terlalu kasar? Tidak selang beberapa lama, Aksa keluar dengan memakai pakaian biasa non formal. Laki-laki itu masih dalam mode dingin dan berjalan ke arah pintu utama. "Kau mau kemana, A-aksa?" Aksa diam saja dan tidak berminat untuk menjawab pertanyaan Mika yang bisa berakhir dengan saling tuduh-tuduhan. "Aksa?" "b*****t," gumam Aksa yang tidak didengar oleh Mika. "Aku akan keluar untuk menenangkan pikiranku. Aku tidak ingin berakhir menyakitimu," ucapnya lagi dengan berusaha untuk merendahkan nada bicaranya agar Mika tidak membalas lagi. Aksa menghilang dari balik pintu utama kediaman, dia mencari ketenangan dan apa sekarang? Kenapa dia membawa mobilnya dan berakhir sampai di apartemen miliknya yang ditempati oleh Jazmin? Aksa mencoba memasukkan password apartemennya, namun selalu salah dan dicoba berulang kali dengan hasil yang sama. Jazmin telah menggantinya tanpa persetujuan Aksa. Wah, apa hari ini Aksa akan bertengkar dengan dua wanita? Pertama adalah Mika dan yang kedua adalah Jazmin? "Kenapa dia mengganti passwordnya?" "A-aksa?" Aksa menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati sosok Jazmin yang menjinjing keranjang belanjaan. Wanita itu terlihat habis berbelanja di lobi bawah dan ekspresinya tampak terkejut karena kehadiran Aksa yang tiba-tiba. Aksa pun memutar tubuhnya dan berhadapan sempurna ke arah Jazmin. "Kenapa kau mengganti passwordnya tanpa sepengetahuanku?" Jazmin menatap Aksa dengan takut-takut, dia merasa bersalah sekarang. "Maaf karena aku menggantinya. Aku kemarin merasa tidak aman saja dan berencana akan memberitahumu nanti." "Kenapa nanti? Kenapa kau seenaknya begini?" Jazmin memeluk keranjang belanjaannya dan tidak berani melangkahkan kakinya untuk mendekat pada Aksa. "Maaf …." Satu kata itu berhasil membuat Aksa tidak jadi marah. Ini yang membuat Aksa senang berada di dekat Jazmin. Ketika sedang bertengkar, Jazmin mencoba untuk tidak menyerang balik dan selalu meminta maaf lebih dulu. Ya, mana mungkin Aksa akan emosi setelah ini? "Berapa passwordnya?" "I-itu … karena ini apartemenmu, maka aku menggantinya dengan tanggal ulang tahunmu," jawab Jazmin dengan suara yang begitu pelan. Aksa menaikkan satu alisnya dan cukup kaget dengan jawaban yang dilontarkan gadis itu. Entahlah, kenapa jantungnya berdetak tidak karuan? "Jadi, kau masih mengingat tanggal ulang tahunku, huh?" Tidak bisa, memori itu diletakkan dalam tempat yang paling spesial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD