6 ~ Lamaran Marco

2704 Words
"Apa maksutnya? Angela?" tanya Bayu. "Hah? Apa? Aku hanya menebak kok, emangnya bener ya?" tanya dengan wajah santai. Bayu dan Aditya yang sedari tadi menegang dengan pemikiran masing-masing lantas terlihat bernapas lega. Bayu yang lega karena ternyata tak ada hal aneh antara Angrla dan patner bisnisnya, sedangkan Aditya lega karena Angela yang tahu kondisi dan tempat dalam menyampaikan hal yang memang ia ketahui kebenarannya. "Iya sih, Kak Angela bener kok, Mas Adit gak suka sayur. Tapi aku mau nyoba, tapi masih gak suka, ya udah aku makan sendiri deh." Aditya langsung meraih tangan Anggi yang menyumpit menu itu dan segera di lahapnya. Sontak hal itu membuat Anggi tersenyum dan justru membuat Angela semakin kesal. Hingga satu jam kemudian mereka telah menyelesaikan makan malamnya, Anggi pamit ke kamar mandi sebentar tanpa Aditya. Sedangkan beberapa menit kemudian Bayu menerima telepon dari keluarganya dan terpaksa meninggalkan Angela dan Aditya. "Oh jadi beneran sekretaris kamu itu istrimu?" Angela mulai mengeluarkan suaranya setelah dirasa hanya ada dirinya dan Aditya saja. "Memangnya ada masalah?" tanya Aditya balik. Angela tersenyum dan mendekatkan dirinya di meja. Menaruh kedua tangannya di atas meja tersebut sembari menatap Aditya. "Baru tau aja kalo seleramu kayak gitu? Aku pikir istrimu model setidaknya, atau bahkan artis? Emm atau sama-sama pengusaha." Asitya mendecih bahkan tertawa kecil mendapati pemikiran Angela. "Aku mencari hatinya Angela, bukan fisiknya. Menurutku istriku sangat cantik dan sempurna karena hatinya. Dia bukan w*************a yang biasa kutemui." "Maksutmu apa? Kamu menyindirku?" tanya Angela yang kini sudah tak bisa lagi tetap santai. Aditya hanya tersenyum tanpa repot-repot menjawab pertanyaan Angela. Jelas Aditya tahu bahwa hubungan Bayu dan Angela bukan hanya sebatas rekan kerja, lebih dari itu. Aditya sudah bisa membacanya dari awal wanita itu datang bersama Bayu. Ia justru menenggak minumannya tanpa memerhatiakn Angela lagi.Namun, tiba-tiba wanita itu memegang tangan Aditya yang bebas di atas meja. Sontak saja pria itu menariknya tiba-tiba. "Sikapmu sama sekali tidak pantas, Angela!" "Kamu munafik banget sih, Dit, gak mungkin kamu cuman punya istri kamu kan? Jangan sok suci deh! Lagipula kamu lupa kalau kamu pernah mencintaiku?" "Hah? Kamu pikir aku seperti dulu? Kamu salah Angela! Aku sudah merubah semua itu sejak bertemu istriku. Jadi urungkan niatmu jika kamu mau mengungkit masa lalu! Dan tarik kata-katamu, aku memang bukan orang suci tapi setidaknya aku bisa berubah daripada dirimu yang sepertinya gak pernah bisa berubah." Di saat bersamaan, di saat puncak emosi Angela sudah menguasai karena jelas Aditya menyindirnya, Anggi datang dari toilet. Wanita itu lantas menyairkan suasana kembali dan menurunkan emosi Angela. Tidak mungkin Angela marah-marah tak jelas sedangkan di sisi lain, Bayu masih tampak di sekitar dirinya. "Sayang, ayo kita pulang. Makannya udah kan? Kamu udah janji tadi setelah makan pulang. Istirahat." "Ah, Mas Adit. Tapi tunggu, Kak Angela sendirian, mana Pak Bayu?" Belum juga sempat terjawab, Bayu tiba-tiba datang menghampiri mereka dan duduk sejenak. "Pak Bayu, saya pamit duluan. Biarkan ini jadi tagihan saya semuanya," ucap Aditya. "Loh, jangan Pak Aditya, biarkan saya saja," timpal Bayu. "It's okay Pak Bayu, gak masalah. Biarkan masuk bill saya. Baiklah, saya permisi dulu, lain kali mungkin kita bisa bertemu lagi." Bayu berdiri dan menjabat uluran tangan Aditya. Sedangkan Anggi hanya tersenyum pada Bayu dan berpamitan pada Angela. Sebelumnya mereka berdua menuju ke arah kasir untuk membayar semua tagihan biayanya. Setelah itu mereka beranjak keluar dari restoran tersebut. "Serasi ya mereka itu," celetuk Bayu. "Hah serasi? Eh iya, Mas. Tapi katanya itu sekeretarisnya ya, Mas? Mas Bayu tau?" Bayu menganggukkan kepalanya, ia mengetahui Anggi beberapa kali hanya saja tidak terlalu akrab seperti malam ini. Karena waktu itu mungkin wanita tersebut belum menajdi istri sah dari Aditya. "Kok mau ya Aditya itu nikahin sekretarisnya? Kayak gak ada cewek yang sepadan aja sih?" "Ya namanya jodoh mana tau sih, ayo kita pulang. Maaf ya, aku hanya bisa mengantarmu sampai apartemenmu, aku harus pulang ke rumah." Bayu tampak berdiri, kembali memakai maskernya guna menutupi jati dirinya di depan semua orang dan berlalu bersama Angela. Di banding Aditya, sejujurnya ia iri dengan Anggi yang dengan santainya menggandeng lengan suaminya tanpa harus bersembunyi atau jaga jarak seperti dirinya. Tidak ada perasaan sembunyi-sembunyi seperti dirinya dan Bayu. Andai saja waktu itu ia menerima Aditya mungkin posisi Anggi akan beralih padanya. Di tambah melihat kesuksesan Aditya sekarang, rasanya ia sedikit menyesal. "Iya, Mas. Gakpapa kok." Ia pun segera beranjak dari tempatnya duduk dan mengikuti langkah Bayu meninggalkan restoran tersebut. Menepiskan rasa sesak yang selama ini selalu menyertainya. Andai Bayu tak memiliki ikatan pernikahan dengan yang lain mungkin ia akan bahagia seperti Anggi. •°•°•°•° Aditya tampak terdiam memandang jalanan depannya. Ia tak sadar bahwa Anggi sedari memerhatikannya. Sejak ucapan menggantung Angela ia semakin yakin bahwa ada masa lalu Aditya yang mungkin tak ia ketahui. Sikap suaminya juga tak luput dari apa yang ada di pikirannya dari tadi. "Mas Adit," panggil Anggi. "Hah?" "Tuh kan Mas Adit ngelamun, kenapa sih Mas? Mas aku boleh nanya gak sih?" Aditya mengerutkan dahinya, ia lantas menoleh ke arah Anggi. "Mau nanya apa? Serius banget keliatannya, nanti aja di rumah. Sebentar lagi juga sampai rumah." Anggi menghela napasnya dan hanya terdiam menuruti ucapan sang suami. Sedangkan Aditya sudah paham arah pembicaraan sang istri yang akan membahas tentang Angela. Hal itu yang menggantung sebelum Anggi mengalami keguguran. Aditya tahu dulu ia memiliki perasaan pada Angela apa adanya tapi sayang perempuan itu meninggalkannya tanpa memberi kesempatan. Dan sekarang perasaan itu jelas tak akan pernah ada sama sekali bahkan tanpa jejak. Meskipun ia tahu Angela yang membuka hatinya setelah ia kehilangan Dinda tapi bagi Aditya jika kesempatan yang ia berikan sudah tak lagi dihargai lebih baik lupakan selamanya. Mobil sedan itu berhenti tepat di gerbang setinggi 4 meter di kediaman Aditya. Ia mengklakson gerbang tersebut dan secara otomatis terbuka. Aditya kembali melajukan mobilnya perlahan hingga berada di halaman rumah. "Ayo, turun, Sayang," ujar Aditya. Ia segera keluar dari mobilnya dan dengan cepat berjalan ke sisi yang lain untuk membukakan pintu bagi istrinya. Setelah itu mereka melenggang masuk ke dalam rumah yang langsung disambut oleh sang pembantu. "Nyonya? Nyonya baik-baik saja? Maaf, bibi gak bisa nemenin di rumah sakit," ujar Bi Suin dengan raut wajah penyesalan ssekaligus prihatin dengan kondisi Anggi. "Gakpapa, Bi. Lagipula kan Anggi udah pulang sekarang," timpal Anggi dengan senyum yang sebisa mungkin ia berikan. Jujur saja melihat raut wajah pembantunya yang mencemaskannya membuat ia teringat lagi akan janinnya. Banyak yang peduli padanya, bahkan siapa pun tanpa kecuali tapi sisi egoisnya dan kecerobohannya justru membuat ia kehilangan darah dagingnya sendiri. "Sayang, istirahat gih, udah malem kan? Kamu harus banyak-banyak istirahat dulu. Jangan lakukan apapun yang berat, semuanya biar Bi Suin dan Dini yang membantumu. Kamu paham?" Anggi menganggukan kepalanya dan setelahnya ia melangkahkan kakinya lebih dulu menuju ke arah kamarnya. Sementara itu Aditya kembali menyorot ke arah pembantunya. "Bi Suin, Dini, tolong jangan biarkan Anggi melakukan pekerjaan berat apa pun yanh biasa dia lakukan. Sebisa kalian untuk melarang itu, saya tidak ingin dia terlau capek. Dan lagi jangan bahas tentang keguguran yang menimpanya. Paham?" "Baik, Tuan," sahut Bi Suin dan Dini berbarengan. Setelahnya mereka berlalu dari Aditya. Clink! Sebuah nada chat di salah satu aplikasi sosial media Aditya. Ia menarik ponselnya dan memerhatikan notifikasi di layar benda pipih itu. Sebuah nomor asing tertera begitu saja dan ia pun membuka pesan itu. 081334xxxxxxx | Hai, Dit. Kamu lupa menghubungiku ya? Kan aku udah tinggalin nomor telfonku. | Aditya mengerutkan dahinya, menatap isi chat itu dan menerka siapa yang menghubunginya secara personal. Tidak mungkin kliennya mengetahui nomor ponsel pribadinya karena selama ini melalui Anggi lah mereka dapat menghubunginya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui kontak pribadinya. Namun, cara chat nomor asing itu seolah mengenalnya. Ia memutar kembali ingatannya barangkali memang ada yang terlewat. Angela! Batin Aditya menebak. Aditya lantas menghapus pesan itu dengan cepat. Menghindari pertengkaran dengan Anggi andai wanita itu tahu siapa yang menghubunginya secara personal. Ia pun segera berlalu menuju ke kamarnya dan mengabaikan semua hal yang berkaitan dengan Angela. •°•°•°•°• Keesokan harinya, seperti biasa Aditya memasuki lobi kantornya tapi hari ini tanpa di dampingin Anggi, sang sekretaris. Aditya sudah membicarakan semuanya dengan sang istri semalam bahwa ia akan mencari pengganti Anggi untuk membantunya dan wanita itu tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan pekerjaan. "Mas, kamu yakin bisa sendiri?" tanya Anggi yang tengah memasang dasi suaminya itu. "Sebelum kamu jadi sekretaris saya, semuanya juga baik-baik saja kan, Sayang?" "Ya kan ada Kak Sandra, sekretaris sekaligus—" Cup! Satu buah ciuman hangat mendarat di bibir Anggi. Membuat wanita itu berhenti memasangkan dasi untuk suaminya hingga ciuman itu mengurai. "Kamu tuh ya, masih aja cemburu sama Sandra. Udah tau Sandra itu calonnya Marco." "Ya kali aja khilaf lagi, aku mana tau," ujar Anggi yang melanjutkan membenarkan dasi suaminya. Aditya hanya tertawa melihat kecemburuan Anggi. Wajar saja jika Anggi masih sering cemburu, berbagai hal sudah terjadi dalam hubungan mereka sebelum menikah. Tentang kedekatannya dengan Sandra pun wanita itu sangat memahaminya. "Kamu wanita yang saya cintai, apa pun masa lalu saya tidak akan berpangaruh dengan masa depan saya. Cinta saya berhenti di kamu. Tidak akan pernah lagi ada yang bisa gantikan kamu. Jika pun itu bukan kamu saat ini yang jadi istri saya mungkin saya tidak akan pernah cinta sama perempuan lain." Anggi mengerjapkan matanya takjub. Ucapan Aditya selalu membuat hatinya menghangat. Sorot mata itu tanpa kebohongan sama sekali. Ketulusannya memang benad-bemar terbukti. "Iya, aku percaya kok, Mas. Jadi cari sekretaris baru kan? Atau aku bantu bikinin lowongan pekerjaan?" "Astaga Sayang, bisa gak sih kamu diam aja di rumah tanpa mikir kerjaan saya. Sudah, kamu hanya perlu menunggu saya pulang dari kantor dan siapkan menu di meja makan untuk makan malam. Oke!" Anggi menghela napasnya dan hanya menganggukkan kepalanya. Ya, mungkin ia hanya belum terbiasa berdiam diri tanpa mendampingi suaminya ke kantor. Tapi demi Aditya dan untuk menebus kesalahannya tempo hari, ia akan lakukan apapun untuk Aditya. "Pak Adit," tegur Sandra. Sebuah sapaan nyatanya mampu membuat lamunan Aditya kembali ke alam nyata. Ia menoleh ke arah sang pemanggil dan Sandra tepat di sisinya. "Eh, San. Kamu sejak kapan di sini?" "Barusan, Pak Aditya melamun ya bisa gak sadar saya di sini. Anggi mana Pak?" "Anggi udah gak ikut saya kerja lagi. Saya udah nyuruh dia untuk diam di rumah saja. Saya gak mau kejadian kemarun keulang lagi. Lagipula saya gak tega lihat dia masih memikirkan pekerjaan saya." "Ah benar, lebih baik seperti itu. Lagipula kan Anggi udah jadi istri bapak. Masa masih kerja di sini sih. Kan saya juga sangsi, gak enak sama Anggi, masa nyonya Aditya jadi bawahan saya," ucap Sandra sembari tertawa kecil. "Iya makanya itu Sandra. Saya juga gak tega, tapi Anggi itu pekerja keras. Susah dibantah untuk urusan profesionalisme. Momen kemarin akhirnya bisa bikin dia mikir kalo saya itu sayang sama dia, gak mau dia kenapa-napa hanya karena urus pekerjaan. Kemarin juga saya sudah membicarakan dengan Anggi perihal lowongan kerja untuk membantu saya menggantikan dia. Tolong kamu buatkan ya, San," ujar Aditya. "Pak Aditya tenang saya akan bantu Bapak selama belum mendapatkan sekretaris baru dan nanti saya akan buatkan lowongan pekerjaan baru." Aditya menganggukkan kepalanya dan tepat lift di depan mereka terbuka. Ia dan Sandra beserta Marco yang terlihat menyusul mulai memasuki lift tersebut. "Jadi kalian kapan nikahnya?" celetuk Aditya. Beruntung, di dalam lift tersebut hanya ada mereka bertiga. Namun, keterdiaman kedua tangan kanannha itu membuat Aditya menoleh ke belakang. "Gak jadi nikah ya? Wah padahal kalian itu co—" "Jadi!" seru Marco tiba-tiba. Aditya tertawa kecil mendapati respon cepat Marco yang selama ini selalu menjaga image-nya di depan siapa pun itu. "Oh kalian berantem ya, pantesan Sandra dateng duluan. Biasanya kalian barengan terus. Selesaikan dengan baik. Saya tunggu kabar bahagianya." Ucapan Aditya berakhir tepat lift terbuka. Sedangkan Marco langsung menarik lengan Sandra sebelum mereka berpisah ke ruangan masing-masing. Ia sadar raut wajah Sandra berubah ketika pertanyaan serupa terlempar lagi pada mereka. "San, kita perlu bicara. Jangan seperti itu terus." "Apa sih! Ini di kantor, tau kan situasinya? Aku banyak pekerjaan setelah ini juga." "Enggak. Aku tidak tau apa kamu akan berbicara nanti atau kapan pun. Aku mohon sekarang kita bicara. Kalau kamu gak mau di sini. Oke aku akan ke ruanganmu." "Serah lah!" Sandra segera berjalan cepat menuju ke ruangannya. Dan Marco benar-benar sesuai ucapannya bahkan ia tak perlu meminta ijin lagi dengan perempuan itu dan turut masuk ke dalam ruangan Sandra. "Sandra, kenapa kamu semarah ini? Sikapmu bahkan Tuan Aditya menyadarinya." Sandra meletakkan berkas sekaligus tas jinjing miliknya di atas meja kerja dengan kasar. Ia menghela napas kasar dan berbalik cepat ke arah Marco. "Harusnya kamu bisa mikir dong aku kenapa? Marco hubungan kita kamu anggep apa sih? Main-main? Apa kamu kayak Pak Aditya yang sebelum nikah sama Anggi cuman main-main sama cewek?" "Hah? Enggak, kenapa kamu mikir seperti itu?" "Terus? Sampai detik ini aku gak pernah melihatmu berniat melamarku? Kamu serius gak sih sama aku? Dua kali aku bingung harus jawab apa kalau Pak Adit atau Anggi nanya kapan kita nikah? Sedangkan kamu gak repot-repot mikirin itu kan?" Marco terdiam. Memang benar ia belum melamar Sandra secara terbuka. Selama ini hanya jalinan kasih saja yang bahkan seluruh kantor tahu akan hubungan mereka. Marco hanya menunggu waktu sampai mereka sama-sama tidak sibuk. Tapi nyatanya pekerjaan membuat Marco harus sering ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk urusan teknis kantor cabang. Hal itu membuat komunikasi antara dirinya dan Sandra sedikit merenggang. Hingga hari ini, Marco menyadari perubahan sikap Sandra yang kembali dingin terhadapnya. "Aku minta maaf. Aku pikir, aku memberimu waktu untuk menyelesaikan pekerjaan kita masing-masing. Aku pikir aku benar tidak menggangu pekerjaanmu dengan hal pribadi kita—" "Dan kamu salah. Urusan pribadi kita gak akan pernah ngeganggu pekerjaan. Setidaknya ada alasan untuk aku gak curiga sama kamu kalo kamu lagi di luar kota atau di luar negeri. Seenggaknya aku punya alasan buat nunggu kamu karena kamu calon suamiku. Tapi hubungan kita cuman stuck di sini. Aku tau mugkin terlalu cepet ngasih kamu pilihan kayak gini, tapi aku udah gak mau main-main Marco. Harusnya kamu tau itu!" Marco kembali mengembuskan napasnya perlahan. Ia pun berjalan menuju ke arah Sandra yang baru saja membelakanginya lagi. Pria itu kemudian memeluk Sandra dan menjatuhkam kepalanya di pundak kekasihnya. Membiarkan pelukan itu beberapa detik sampai ia menggenggam tangan Sandra. "Aku minta maaf. Harusnya aku sadar kalau aku harus melamarmu secepat mungkin dan tidak menunda-nunda seperti ini. Jujur, aku sudah lama ingin melamarmu tapi semua terkendala pekerjaan kita yang semakin hari rasanya semakin membuat waktu kita tidak ada." Marco melepas pelukannya dan terlihat tengah mencari sesuatu dari saku celananya hingga kemejanya. Hingga ia menemukan benda yang ia cari di balik jas kerjanya. "Aku tau ini gak seromantis yang kamu harapkan tapi kalau kamu tanya keseriusanku? Bahkan sudah sejak lama itu ada di benakku, Sandra." Marco mulai menunjukkan sebuah kotak bludru berwarna biru. Ia membukanya dan terdapat cincin berlapis emas putih dengan berlian sebagai mata cincin tersebut. "Will you marry me, Sandra Calista?" Sandra yang tak menyangka mendapatkan pernyataan itu hanya bisa tercengang hingga tanpa sadar meneteskan air matanya. Memang ini tidak seromantis pasangan lain tapi itu tidak penting untuk Sandra. Keseriusan Marco lah yang menjadi tolak ukur Sandra saat ini. "Kamu serius?" "Bahkan cincin ini sudah lama aku bawa hanya saja waktu selalu salah Sandra. Waktunya tidak pernah tepat. Aku minta maaf tapi bagaimana jawabanmu?" Sandra menganggukkan kepalanya dan kembali menitikkan air matanya. "Yes, I will. Thank you very much, Marco. I'm sorry but all my agrument because i love you." "I see, i love you too so much. And this, all about my choice, and i choose you to be my wife." Marco mulai memasangkan cincin itu di jari manis sang kekasih. Pelukan hangat langsung Sandra berikan. Ia sangat mencintai pria ini, pria yang membuatnya sadar bahwa obsesinya dulu mencintai Aditya bukanlah sebuaah cinta tulus melainkan hanya ambisi semata. Dan dari Marco ia juga sadar bahwa ada seseorang yang lebih mencintainya dan akan melakukan apa pun untuknya. "Thanks Marco, i'm happy now, i love you." "I love you too so much, Honey." Kebahagiaan sederhana yang dirasakan Sandra melebihi apa pun hari ini. Keseriusan Marco membuat dirinya benar-benar yakin akan keputusannya memilih pria itu. Dan tidak ada satupun pria yang akan benar-benar terpatri di dalam hatinya selain Marco.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD