Bab 3 - Evans Julians

1020 Words
Pria dengan rahang kokoh itu mengemudikan mobilnya cepat setelah menghabiskan malamnya di sebuah hotel bersama beberapa botol minuman yang berhasil membuat alam bawah sadarnya melupakan situasi rumit yang terjadi dalam hidupnya sekarang. Ponselnya yang hampir saja tertinggal di kamar hotel, beruntungnya pelayan itu antarkan sehingga dia tak melewatkan panggilan dari ibunya. Panggilan yang tentu saja sangat penting dan darurat. Perkenalkan, dia adalah Evans Julians. Pria berusia 28 tahun yang merupakan pewaris tunggal dari Julians Company. Saat ini, Evans sedang menghadapi masalah yang cukup sulit sehingga membuat pria itu sedikit berubah haluan dan memilih klub sebagai pelariannya. Namun, bukan untuk bermain wanita. Melainkan untuk melenyapkan masalahnya dengan minuman memabukkan. "Evans, kau berada di mana?" suara ibunya terdengar berat. "semalam kau tidak tidur di rumah? Kau bermalam di mana?" lanjutnya karena Evans masih saja terdiam dan belum menjawab pertanyaannya. "Apa ibu bisa berhenti menggangguku?" bukannya menjawab pertanyaan ibunya tadi, Evans justru mengucapkan sesuatu yang bisa dibilang tidak sopan dia katakan pada ibunya. "Bricik masuk rumah sakit, Evans! Apa kau tau itu?" Suara lantang ibunya kali ini, membuat Evans mengerem mobilnya secara mendadak. Beruntungnya, jalan yang dilaluinya sekarang sepi sehingga tak membahayakan pengendara lain. "Aku akan segera ke sana." Evans menutup sambungan telepon itu kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bricik masuk rumah sakit. Bagaimana bisa, dia tidak mengetahui hal ini? Satu hal yang terlupakan dari Evans adalah, Evans sudah memiliki istri bernama Bricik. Pernikahannya dengan Bricik sudah berjalan selama 3 tahun. Namun, meski begitu. Sampai saat ini Bricik belum bisa memberinya seorang anak. Mulanya, semua baik-baik saja. Namun, tekanan mulai dirasa ketika ibunya terus menerus menginginkan dirinya memiliki seorang anak. Bahkan ibunya mengatakan, di usianya yang ke 30 tahun, dia sudah harus memiliki seorang penerus atau semua aset keluarga Julians akan jatuh ke tangan Hilton. Saudara tiri mendiang ayahnya yang sangat menginginkan harta Julians jatuh ke tangannya seorang. Semua usaha telah dia lakukan bersama Bricik selama 1 tahun terakhir. Namun, Bricik masih belum juga bisa hamil. Program bayi tabung pun juga dilakukan tapi tetap saja gagal. Dan tekanan itu semakin membuatnya sulit bernapas, ketika Hilton datang dan secara terang-terangan mengancam akan membuatnya jatuh miskin setelah harta Julians menjadi milik pria itu. Sial! Evans tidak tau harus melakukan apa. Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan harta milik ayahnya, sedangkan di sisi lain kenyataan tidak bisa memiliki anak pun menamparnya. Ibunya bahkan memintanya untuk menikahi wanita lain. Namun, secara tegas tentu saja dia menolak. Dia mencintai Bricik dan tidak mungkin bisa mencintai wanita lain. Bricik adalah kekasihnya dan menjadikan Bricik sebagai istrinya adalah satu-satunya mimpi yang bisa dia gapai. Evans memukuli setir mobilnya beberapa kali. Dia begitu tak terima akan permainan takdir yang membuat hidupnya begitu tertekan. Semua yang dia miliki tidak berarti apa-apa sekarang. Dan semua itu hanya karena seorang penerus yang sulit untuk dia dapatkan. Dia tidak tau apa yang salah dengannya ataupun Bricik sehingga tidak bisa memiliki anak. Semua hasil pemeriksaan terhadapnya, menyatakan dirinya normal. Begitu pun dengan Bricik. Namun, entah kenapa kehamilan Bricik yang dia tunggu-tunggu tak pernah terwujud juga. Tak lama kemudian, mobil Evans sampai di halaman rumah sakit. Dia segera turun dari mobil kemudian masuk ke dalam rumah sakit setengah berlari. Mendengar kabar jika Bricik masuk rumah sakit, dia menyesal karena sudah meninggalkan wanita itu sendiri dan memilih menginap di hotel. Dan sekarang entah bagaimana kondisi wanita itu. Sungguh, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu kepada Bricik. Setelah bertanya kepada resepsionis, Evans pun melanjutkan langkahnya menuju ruang rawat Bricik yang ternyata berada di ruang ICU. Hal itu tentu saja membuatnya terkejut. Bricik tidak menderita sakit yang parah sampai harus masuk ke ruangan itu. Langkah lebar Evans tadi telah sampai di depan kamar ICU dan melihat ibunya yang duduk di kursi ruang tunggu. "Apa yang terjadi dengan Bricik, Bu?" tanya Evans dengan gusar. Dia melihat ke arah pintu ruang ICU yang tertutup. Belum memutuskan untuk masuk karena dia belum tau juga, apakah dirinya diperbolehkan masuk sekarang atau tidak. Emma Julians, yang merupakan ibu Julians pun bangkit dari duduknya. Raut wajah wanita itu terlihat begitu terluka. "Kau harus menemui Bricik, Evans. Dia membutuhkanmu." Jawaban ibunya, tentu saja membuat Evans masuk ke ruangan itu. Saat berada di pintu, seorang perawat mencegatnya dan memberikan interupsi untuk memakai pakaian yang sudah seharusnya dipakai di ruang ICU. Setelahnya, dia pun mendekati Bricik yang terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit dengan peralatan lengkap yang menempel di tubuhnya. "Bricik? Hey, ada apa?" tanya Evans dengan lembut kemudian memberikan kecupan di kening wanita itu. Wanita bernama Bricik yang memiliki sorot mata teduh itu tersenyum lembut. Sejenak, dia membenarkan letak alat bantu pernapasannya yang berada di hidung. "Aku baik-baik saja, Evans. Apa kau sudah makan?" jawaban wanita itu, tentu saja membuat Evans mengangguk meskipun yang sebenarnya adalah tidak. Dia belum makan. "Ya aku sudah makan dan maaf, karena sudah meninggalkanmu dan tidak pulang semalam." Evans menyesal. Melihat kondisi Bricik sekarang tentu saja dia merasa bersalah. "sekarang katakan. Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kau bisa berada di ruangan ini?" Evans tentu saja penasaran. Bricik baik-baik saja dan tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Dan sekarang, Bricik harus terbaring lemah. Bricik terlihat menarik napasnya cukup kuat. Manik matanya yang semula teduh, mulai berkaca-kaca. Dengan bibir bergetar, dia pun berkata, "Maaf sudah merahasiakan hal ini darimu sejak 1 tahun yang lalu. Aku--aku hanya tidak ingin kau meninggalkanku. Dan hari ini aku sadar, jika yang aku lakukan selama ini sudah membuatmu selalu tertekan dan terluka." Bricik meraih tangan Evans kemudian menggenggamnya dengan erat di depan d**a. Setelah memiliki cukup keberanian dia pun melanjutkan perkataannya lagi, "Sampai kapanpun aku tidak akan bisa memberimu anak, Evans. Aku menderita kanker serviks stadium 4." Laksana tersambar petir disiang bolong, kebenaran yang dikatakan Bricik tadi, tentu saja membuat dunia Evans menjadi gelap. Lantas, apakah ini menjadi pertanda jika dirinya akan benar-benar kehilangan harta milik ayahnya? Dan haruskah seumur hidup dia tidak pernah bisa merasakan menjadi seorang ayah? Evans mundur beberapa langkah. Setelahnya, pria itu terduduk di lantai dengan raut wajah kecewa luar biasa. Kebohongan yang disembunyikan Istrinya juga kenyataan yang telah menghunjam dadanya dengan kuat, benar-benar membuatnya tak berdaya. Mendadak dia kehilangan akal sehatnya. Seolah dunianya telah benar-benar hancur sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD