13 | Pak Anggit, Nama Saya Sonya

2043 Words
Sejauh ini, aku cukup bangga dengan diriku sendiri karena situasi dan kondisi masih dalam kontrolku. Dalam artian, semua masih sesuai rencana. Aku belum mengacau seperti sebelum-sebelumnya. Dugaanku bahwa si kucing ini susah beradaptasi di rumah Pak Anggit karena nggak pernah diajak ngorbol agaknya benar, karena setelah sekitar setengah jam bermanja-manja sama aku dan aku ajak ngobrol seolah-olah dia anak bayi, sekarang dia mulai banyak gerak. Tentu saja, aku nggak melakukan ini tanpa alasan. Aku menjadi 'ibu' yang perhatian pada kucing ini karena aku tahu, Pak Anggit sedang mengawasi aku. "Bapak mesti sering-sering ajak Rabbit ngobrol, Pak," aku berkata sambil menoleh pada Pak Anggit sekilas. "Biar nggak kesepian." "Rabbit?" "Eh, maaf, maksudnya si Mpus ini, Pak. Maaf lancang banget kasih nama, habisnya saya gemes banget. Dari dulu suka ngayal seandainya punya kucing, mau saya kasih nama siapa," ungkapku tidak peduli entah perlu atau enggak. "Tapi kenapa Rabbit? ini rabbit kelinci maksudnya?" Aku menghendikkan bahu enteng. "Nggak tahu, kepikiran aja nama itu. Waktu pertama lihat tadi dia ngeringkuk kecil banget, jadi ingat sama kelinci. Emang namanya aneh banget, ya, Pak?" "Nggak juga. Namanya juga nama panggilan," jawab Pak Anggit terkesan nggak peduli. Padahal itu menurutku cukup lucu, dan kalau mau, kami bisa menjadikannya bahan candaan. "Kamu bisa biarkan dia main sendiri, kamu belum menghabiskan makananmu." Dalam hati aku tersenyum. Akhirnya setelah setengah jam dan dia sudah menghabiskan makanan pesanannya sendiri, dia menyinggung piringku yang masih terisi setengah porsi spaghetti. Aku nggak mikir gimana-gimana, tapi ya gimana, dengan dia nyuruh aku makan, bukankah artinya Pak Anggit masih ada sedikit kepekaan terhadap orang lain? Tanpa disuruh dua kali, aku langsung pindah duduk di kursi tanpa melepaskan Rappit dari pangkuanku. Aku lanjut makan makanan yang sudah dingin ini dengan gerak terbatas karena si Rabbit masih ingin main-main. Beberapa kali dia mendoba menendang sendokku dan mencaplok isi piringku. "Astaga, aku makan dulu sebentar, Bit, ini udah dingin. Kan rugi kalau nggak kemakan. Kamu mau makan juga?" "Meww ...." "Tapi kamu nggak boleh makan ini. Tadi di kasih makananmu, kamu nggak mau." "Meww ...." "Iya, habis ini kita main lagi. Tunggu, ya, tinggal tiga suapan lagi." "Kamu kayak lagi ngomong beneran sama kucing." Aku mengangkat wajah menatap pak Anggit sambil tersenyum. "Kucing tuh, ngerti lagi Pak apa yang kita omongin. Makanya dia bisa merespon. Iya, kan, Rabbit?" "Meww ...," ngeong Rabbit sambil menggetarkan ekor. "Tuh," tunjukku bangga. Pak Anggit berdecih, tapi ada getaran di sudut bibirnya. Seperti orang berusaha nahan senyum. Ya, meskipun nggak bisa aku anggap sebagai senyuman, sih, hanya saja itu cukup menandakan kalau Pak Anggit mulai meresponku. Sedikit. Aku pun makin percaya diri. "Coba aja Bapak ajak ngobrol, dia pasti respon, kok. Kucing, tuh, bisa ngerasain emosi kita, Pak. Bapak katanya suka kucing, masa gitu aja nggak tahu," lanjutku nekat setengah meledek. "Saya setuju kucing bisa ngerasain emosi kita, tapi saya rasa konyol aja kalau kita sampai ngobrol seolah dia satu bahasa sama kita." "Dih, si Bapak. Bahasa kan universal, Pak. Bisa dimengerti setiap makhluk hidup apapun jenisnya, asal mereka mau merasa. Kalau lihat Mama saya kalau pagi nyiram tanaman sayur-sayurnya sambil ngomong sendiri, Bapak pasti anggap Mama saya gila." "Ya, semua orang memang gila dengan caranya masing-masing. Paling enggak, pasti punya satu kegilaaan." Pak Anggit membentuk tanda kutip dengan kedua tangan saat menyebut kata gila. "Termasuk Bapak?" tanyaku balik. "Bapak juga punya satu kegilaan?" Aku mengutip kata gila dengan cara yang sama. Tanpa tampak berpikir Pak Anggit menjawab, "tentu." "Apa itu?" tanyaku begitu saja. Mendapati ekspresi tercengang Pak Anggit, aku sadar kalau sepertinya Pak Anggit merasa aku terlalu banyak bicara. Namun aku nggak terlalu peduli, aku duduk di hadapannya sekarang, kan, memang untuk membuatnya banyak bicara. Jangan-jangan, kegilaan yang dia maksud itu adalah informasi yang sedang kugali. Aku menunggu Pak Anggit buka suara dalam harap. "Sepertinya, itu cuma bisa dijawab orang lain yang menilai. Karena masih saya lakukan, artinya saya nggak menganggap itu sebagai kegilaan." Aku mencibikkan bibir. Tentu saja, tidak seru jika misiku berakhir secepat ini. "Kalau menurut saya, Bapak itu—" "Kamu kenal sama saya?" Seketika bibirku terkatup, aku menelan ludah pahit. "Ya ..., enggak juga, sih." "Kalau begitu pendapat kamu nggak kredibel," kata Pak Anggit kalem. Kenapa semua harus dibawa serius pakai bahasa kredibal-kredibel segala, padahal niatku cuma bercanda. "Meww ...." Aku menunduk sekilas karena Rabbit sepertinya merasa diabaikan, lalu lanjut makan. Saat aku mengarahkan gulungan spaghetti di garpu ke mulutku, Rabbit berulah dengan memukul garpu itu hingga terlepas dari pengangan tanganku dan berceceran ke bawah dan sekitar bajuku. "No, Rabbit, nggak boleh nakal!" aku memperingatkan, sembari menatap Rabbit tegas. Namun Rabbit malah mengeong lebih galak. "Bajumu perlu dibersihkan," ucap Pak Anggit sembari bangkit berdiri, kedua tangannya terulur meminta kucingnya. Namun, saat aku mengangkat Rabbit untuk kuserahkan ke sang pemilik, Rabbit berontak menolak dan tanpa sengaja mencakar daguku. Aku memejam menahan pekikan kaget sekaligus sakit, karena kalau aku teriak Rabbit pasti akan lebih kaget. Dengan tenang, aku taruh dia lagi di pangkuan dan menggaruk-garuk kepalanya, sembari dalam hati berdoa supaya cakarannya nggak parah. "Kamu berdarah," tunjuk Pak Anggit ke daguku. Tanpa bisa aku tahan, aku melirik Pak Anggit sebal. Nggak perlu dia kasih tahu, aku juga tahu kalau daguku pasti berdarah karena rasanya lumayan perih. Apa itu adalah reaksi terbaik yang bisa di keluarkan ketika kucingnya melukai aku. Malahan waitres yang lebih peka. Dia menghampiri aku dan tanya apa aku nggak apa-apa, lalu dia pamit berinisiatif mengambilkan kotak pertolongan pertama meski aku sudah jawab aku baik-baik saja. Di pangkuanku, Rabbit mengeong sangat pelan dengan mata bulat jernihnya seolah dia menyesal sudah melukai aku, yang mana itu bikin aku nggak tega. Cih, dulu dia mengkritik responku mencari pengering saat nggak sengaja menumpahkan minuman ke celananya. Terus, apakah tak acuh begini lah rsspon solutif yang dia maksud dulu? Masih mending aku, dong, menunjukkan inisiatif tanggung jawab. Ini dia, kucingnya nyakar aku tapi nggak kelihatan merasa bersalah sedikit pun. Paling enggak, mestinya dia nawarin aku tisu buat nutup lupa. Dasar hom— Aku mengerejap saat tahu-tahu Pak Anggit membungkuk di sebelah kursiku dan ikutan mengelus Rabbit. Entah dia sadar atau enggak, posisi dia membuat wajahnya berada sejajar sejengkal dengan wajahku. "Bapak ngapain?" cicitku mau maju takut kena, mau mundur leher kaku. "Nenangin dia biar mau kamu lepasin," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari Rabbit. Aku menelan ludah, berusaha memutar kepala, berpaling dari kulit wajah sawo matang Pak Anggit yang jerawatnya nggak separah saat pertama kali bertemu tempo minggu lalu. Aduh, seandainya saja dia lakiku, aku pasti akan rawat kulitnya sampai sehat. Aku paksa dia menjalani program penambah berat badan sekaligus membentuk massa otot biar badannya lebih berisi dan kadar kewibawaannya bertambah. Sehingga, nggak akan ada lagi orang yang seperti aku, mengira dia buruh pabrik. Setelah Rabbit kelihatan lebih tenang, Pak Anggit menggendongnya dengan lembut. "Sebaiknya, kamu cuci dulu lukamu pakai air, baru diobati." Walaupun kesal, aku berusaha nggak terlalu menunjukkannya karena sadar pekerjaanku memang mesti baik-baikin Pak Anggit jika ingin berkarir lama di Nitiharta. Aku menarik dua lembar tisu, dan menjawab, "Nggak apa-apa—" "Jangan," seru Pak Anggit tertahan, bersamaan dengan tangannya mencengkeram pergelangan tanganku yang hendak menekan tisu ke lukaku. Aku sontak mendongak, menatap Pak Anggit bingung. Pak Anggit menggeleng pelan, masih sambil menahan tanganku. "Di kuku kucing mungkin saja ada bakteri, sebaiknya basuh dulu pakai air, nanti dikeringkan pakai kain kasa. Jangan pakai tisu, karena rapuh dan bisa nempel ke lukanya." Aku cuma bisa mengerejap bodoh. "Oh ...." Jadi, Pak Anggit nggak nawarin tisu alasannya karena itu? Dan dia sampai ikut nenangin Rabbit biar aku bisa ke toilet? "Kamu tunggu apa lagi?" "Eh?" Aku berjingkat kaget. "Eh, iya." Dan begitu tersadar, aku buru-buru bangun. *** Aku menghabiskan waktu sekitar 15 menit di toilet karena sekalian membersihkan bajuku yang kena cipratan saus spaghetti. Lukaku makin sakit setelah kena air. Untungnya lukanya nggak terlalu dalam dan nggak terlalu besar, meskipun tetap saja akan mengurangi kadar keindahan wajahku. Setelah ini aku akan mencari tahu krim penghilang bekas luka supaya wajahku cepat kembali mulus. Saat aku kembali ke meja, Rabbit sudah anteng di kursi sementara Pak Anggit sedang mengeluarkan benda-benda kecil dari dalam kotak obat. "Sudah?" Aku hanya mengangguk dan duduk di kursiku kembali, meja di depanku pun sudah bersih dari ceceran spaghettiku. Pak Anggit kemudian menyodorkan lipatan kain kasa ladaku. "Keringkan pakai ini." Aku menggerakkan telapak tangan menolak. "Nggak usah, Pak. Biar kering sendiri, lumayan perih kalau ditekan." "Tapi itu mesti secepatnya diobati." "Nggak apa-apa, Pak, cuma baret ini, sih." Aku meringis bermaksud menunjukkan kebesaran hati. Iya, ini 'cuma' baret. Tiga baret yang memanjang dan perih. "Apa kamu keberatan kalu saya bantu mengobati lukamu?" tanyanya lembut dan sopan. Aku berlagak berpikir sebentar. "Ehm ..., boleh saja, kalau Bapak nggak keberatan." Tanpa banyak kata, Pak Anggit berpindah duduk ke kursi di sebelahku. Saat Pak Anggit mulai ambil ancang-ancang mau menempelkan kain kasa ke sekitar lukaku, aku cuma bisa duduk kaku menghadap depan, pada si Rabbit yang kayaknya merasa bersalah melihat aku meringis menahan sakit. "Aw ...," "Maaf, tolong kamu tahan sebentar." Sembari mengoleskan gel antiseptik, aku merasakan Pak Anggit memberi tiupan-tiupan halus. Di bawah meja, kakiku bergerak-gerak gelisah. Bukan berarti aku ganjen atau kegatelan, wanita normal mana pun akan deg-degan jika berdekatan dengan laki-laki yang pernah disemogakan akan jadi jodohnya. Namun sayang, ada kemungkinan Pak Anggit nggak suka perempuan. Berhubung baretnya nggak terlalu dalam, Pak Anggit bilang nggak perlu diperban. Aku mengiyakan saja, sepenuhnya percaya atas sarannya. "Bapak di sekolah dulu ikut PMR, ya?" tanyaku memulai percakapan, sementara Pak Anggit membereskan kotak obat. "Tidak." "Oh, saya kira ikut kegiatan semacam itu karena bisa ngerawat luka. Saya kalau luka, paling langsung ditutup plester." "Itu bukan luka serius. Lagian, merawat luka ringan itu basic pertolongan pertama yang harus diketahui semua orang untuk kejadian nggak terduga kayak tadi, supaya penaganannya tepat." "Luka ringan aja, Pak?" Pak Anggit menatapku, seolah heran dengan pertanyaanku. Aku menangkat alis nggak ngerti, aku kan tanya karena memang nggak tahu. "Ya, tidak. Ada banyak. Cara merawat luka pun beda-beda. Luka cakaran hewan gimana, luka bakar gimana, luka sayat gimana, memar gimana. Cara menangani mimisan, kaki keseleo, tersedak, kecelakaan lalu lintas, kesetrum, pingsan, serangan jantung ...," Pak Anggil menghela napas, tiba-tiba berhenti bicara dan secara otomatis kepalaku yang manggut-manggut mendengarkan pun juga berhenti. "Kamu sebaiknya banyak-banyak membaca." Aku melotot nggak terima. "Saya suka baca, kok. Cuma, memang nggak pernah baca-baca tentang medis." "Itu sebenarnya masih masuk ke pengetahuan umum." "Berati nggak terlalu umum, buktinya saya nggak tahu." Pak Anggit menatapku sekilas. "Itu berarti, kamu mesti perluas jenis bacaan kamu," ujarnya santai sambil membawa kotak obat itu ke kasir. Aku memicingkan mata kesal, barusan secara nggak langsung dia menganggap aku bodoh. Tiba-tiba Pak Anggit menoleh menunjuk mejaku, sontak saja aku melempar pandangan ke arah lain. Nggak lama kemudian, Pak Anggit kembali lagi ke meja. "Saya udah bayar pesanan kamu." "Eh, nggak usah, Pak." "Sudah saya bayar." "Aduh, saya jadi nggak enak." Pak Anggit nggak terlalu menghiraukan omong kosongku, kenapa omong kosong? Karena aku berharap Pak Anggit akan menawari hal lain, yaitu tumpangan pulang. Namun, sepertinya itu nggak akan terjadi. "Mew ..." Rabbit berkelit melepaskan diri dari Pak Anggit yang hendak memasukkan dia ke pet carrier, dia melompat turun dan berputar-putar di sekitar kakiku. Aku lantas berjongkok dan meladeninya sebentar. "Rabbit pulang dulu, ya. Nggak boleh nakal, oke? No no, nggak boleh, kamu harus pulang." Dibantu Pak Anggit mengelus-elus Rabbit, dia akhirnya mau dimasukkan ke dalam carrier dengan aman. Di balik jeruji itu dia mengengong sambil menatap aku. "Kamu masih mau di sini?" tanya Pak Anggit. "Enggak, saya juga mau pulang." Aku sengaja memberi sinyal sangat jelas. "Oh oke, saya duluan kalau begitu." Hah? Apa-apaan itu? Bagaimana bisa dia setidak peduli itu pada perempuan? Minimal dia mestinya basa basi tanya, aku pulang naik apa. Laki-laki macam apa dia? Pastinya, laki-laki normal pastinya tidak akan seacuh ini sama perempuan. Sayangnya, nggak ada yang bisa aku lakukan kecuali tersenyum dan mengangguk. Setidaknya aku dapat satu clue, aku perlu mengumpulkan beberapa clue lagi, sebelum menyimpulkan apa benae Pak Anggit seorang gay. Untuk itu, aku masih harus berhubungan dengannya. "Pak Anggit," panggilku tepat saat Pak Anggit membuka pintu kafe. Dia hanya menoleh dengan alis terangkat, aku tersenyum dan berkata semanis mungkin, "nama saya bukan kamu. Nama saya Sonya. Sonya Reinita." Alis Pak Anggit makin meninggi, tapi aku hanya tersenyum dan menganggap dia cukup mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD