"Jadi, gimana?" "Sebentar, saya lagi mikir." Aku berputar memunggungi Pak Anggit. Sengaja berlagak mempertimbangkan, kok kesannya murahan sekali kalau aku main jawab iya-iya aja. Walaupun sebenarnya nggak ada yang perlu aku pertimbangkan. Pak Anggit kan cuma minta izin pendekatan yang dia sebut pakai istilah bertamu, bukan ngajak nikah. Mau setuju nggak ada ruginya, mau larang, sepertinya banyak ruginya. Pertama, pastinya aku akan kehilangan kesempatan kemungkinan jadi istri orang kaya. Kedua, dari caranya minta izin pendekatan, sepertinya dia pria baik-baik. Dan yang ketiga, Pak Anggit mungkin saja tiket emas terakhir sekaligus satu-satunya mengubah nasib dengan instan. "Memang apa, sih, yang kamu pikirkan?" Pak Anggit mendesak karena aku belum juga bersuara. Aku memutar bola mata ma