LAST CHAPTER

2163 Words
Satu jam sebelum Joonie mendapat panggilan....             Sejun menatap San dengan iba, dan gadis itu tidak suka. Dari sekian banyak ekspresi, San ingin melihat Sejun tersenyum.             “Mobil Oppa enak dikendarai,” ujar gadis itu sambil memberikan kunci kepada pemiliknya. “Terima kasih, aku akan meminjamnya lagi.”             “Kau bebas memakainya.”             “Bensinnya sudah aku isi.”             Sejun hanya menepuk-nepuk kepala San. “Kau pulang naik apa?”             “Mungkin bus?” San sedikit tidak yakin, “ah... taksi saja.”             “Maaf Oppa tidak bisa mengantar karena harus meeting.”             San mengangkat jempolnya, tahu Sejun pasti sibuk. Tour Asia akan berlangsung, belum lagi rencana comeback di sela-sela tour. Team di belakang layar memiliki banyak hal untuk diurus. San berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi. Menemukan supir yang ramah saat San memberikan alamat apartemennya.             Semula tampak biasa saja, San duduk di kursi belakang, mendengarkan radio yang diputar oleh supir. Hanya selang beberapa waktu dari itu, San melihat mobil di depannya berhenti mendadak dan dia tidak mau menyalahkan supir taksi yang membanting stir sehingga mobil tergelincir dan menabrak sesuatu dengan keras.   (*)               Saat kabar itu datang, Jungkook ingin memastikan Seokjun memberikan lelucon yang sangat-sangat buruk. Namun kepalanya berputar, ulu hatinya mendadak sakit ketika Jungkook tahu semuanya benar.             Jungkook tidak bisa fokus mendengar penjelasan bagaimana gadisnya bisa kecelakaan. Yang dia tahu sekarang, San berada di sebuah ruang rawat dengan banyaknya alat medis terpasang pada tubuhnya. Dua hari yang lalu San mendapatkan serangkaian operasi besar di kepala dan saat itu Jungkook marah pada San karena gadis itu tidak menghubunginya. Jungkook tidak tahu.             Semua orang mencoba merahasiakan tentang keadaan San, itu yang membuat Jungkook merasa marah, kecewa dan kesal.             “Jungkookie, hyung hanya tidak mau kau—“             “Hyung pikir aku akan baik-baik saja jika tidak diberi tahu?” Jungkook memotong ucapan Seokjun, kedua matanya memerah. “Dia Sanayya, seseorang yang penting untukku!”             “Kami semua ingin memberi tahu hal ini padamu, tapi kau akan kalut dan terluka.” Jimmy mencoba menjelaskan. “Sekarang kau sudah tahu, dan kita tidak bisa berbuat banyak selain berdoa agar San bisa bangun secepatnya dan berkumpul dengan kita lagi.”             Semua member bisa paham bahwa Jungkook begitu terpukul. Mereka memang salah karena merahasiakan ini—meski dengan alasan untuk kebaikan Jungkook. Pemuda itu berhak marah, tapi apa yang Jungkook lakukan tidak bisa membuat San terhindar dari kecelakaan. Faktanya, gadis itu sekarang terbaring koma. Ada di antara tipisnya garis hidup dan mati.             “Aku bahkan tidak tahu apa yang dia ucapkan sebelum koma, hyung....” Sekarang Jungkook tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Isakan-isakan menyedihkan itu lolos, Jimmy langsung mengusap bahu Jungkook dengan penuh pengertian.        “Bagaimana jika dia meninggalkan aku?”             “Ssshh... Kookie, jangan berkata seperti itu.”             “Aku masih sangat membutuhkannya.” Jungkook tidak tahu caranya berhenti dari ra sa sakit hati. Dia seperti dihancurkan oleh banyak hal sehingga untuk bernapas saja tidak ada ruang, sangat sesak. “San tidak mungkin tega meninggalkanku kan, Hyung? Aku tidak mau kisah kami selesai seperti ini. Hyung, aku ingin San bangun.”   (*)               Jungkook sangat biasa saja saat latihan koreografi, namun tidak ada dari mereka yang menegur. Memahami posisi Jungkook. Dia mau datang ke ruang latihan saja itu sudah sangat bagus. Karena semenjak Jungkook tahu San koma, pemuda itu seolah ingin mendedikasikan dirinya menemani San di rumah sakit. Jungkook selalu terburu-buru untuk pergi lagi setelah latihan, namun dia tetap mencoba profesional di atas segala kesedihannya.             Menemukan keenam member mendapatkan surat dari San, membuat Jungkook kecewa berlebih. Dia merasa tidak spesial, sengaja ditinggalkan dan terluka. Meski begitu, dia tidak bisa melepaskan fokusnya pada Sanayya yang tertidur damai sekali. Rambut gadis itu tak bersisa, bekas tindakan operasi. Kulitnya pucat, dan nyaris tak ada rona dari wajahnya.             Sore ini Jungkook kembali menjenguk San. Berharap saat datang gadis itu sudah duduk menunggunya dengan senyum lebar. Meminta didekap dan mereka akan memiliki lagi satu sama lain. Hanya khayalan, San tetap menutup mata saat Jungkook tiba.             “Hai, gorgeous.” Jungkook menarik kursi di sebelah brankar yang menjadi tempat tidur San. Menatap gadis itu lama, lalu mengusap pelan tangannya yang sangat dingin. Alat-alat medis itu memberikan San bantuan menghirup oksigen sehingga tetap bisa bernapas. Jungkook hanya tidak sabar menunggu gadisnya untuk bangun lagi.             Saat melirik pada meja nakas, Jungkook menemukan vas berisi bunga sweet pea segar. Beberapa tangkai bunga itu tidak pernah layu, sampai-sampai Jungkook merasa bahwa petugas rumah sakit ini sangat raJun mengganti bunga di setiap ruangan pasien.             “Kau suka sweet pea, kan?” Jungkook tahu pertanyaannya tidak akan mendapat jawaban, tapi dia hanya rindu berbincang dengan San. “Aku tidak suka arti dari bunga ini. Dan jika kau bangun nanti, aku tidak akan memberikan sweet pea untukmu. Tidak akan pernah.”             Jungkook mengeluarkan sebuah n****+ dari tasnya, membuka lembar-perlembar itu dan membacakannya untuk San. Gadis itu selalu senang membaca n****+ Twilight jika sedang lenggang, dan Jungkook akan membuat kebiasaan San tetap terlaksana meski kedua tangan gadis itu kini tak bisa menggenggam sebuah buku.             “I love you, Bella; ujar Edward.” Jungkook membaca sederet kalimat. “Forever.”             “....”             “Apa kau suka bagian ini, San? Aku suka. Karena Bella juga balas mengatakan bahwa dia mencintai Edward.” Menutup n****+ itu, menaruhnya pada nakas dan sekarang Jungkook benar-benar menatap San yang sedang tertidur. “Jadi kapan aku bisa mendengar kau membalas ucapanku saat aku berkata seperti itu?”             “....” tidak ada jawaban.             Jungkook tersenyum, namun di sana tertanam pilu tak berkesudahan. “Aku harus pulang, karena berjanji akan makan malam di dorm.”             Bangkit berdiri, mencondongkan badannya untuk mengecup kening San. “Aku mencintaimu, Sanayya. Dan aku ingin mendengarnya.”             “...mendengar suaramu saat kau berkata bahwa kau juga mencintaiku.” Kali ini Jungkook benar-benar tersenyum.       “San... cepatlah bangun. Rinduku mulai lelah.”   (*)               Membawa langkah kakinya ke meja makan, Jungkook mendapat sambutan hangat. Jimmy langsung melambaikan tangan, menyuruh adiknya itu segera mengambil tempat duduk. Jungkook menurut, dan dia mencari-cari Vantae yang tidak ada. “V-hyung ke mana?” tanyanya.             “Ahhh, sepertinya dia pergi dengan Yoora,” jawab Hoobi dengan bahu terangkat.             Jungkook melirik Seokjun, dan kakak tertua itu langsung mengangguk.”Dia izin padaku.”             “V-hyung tidak pernah ada untuk makan malam. Baginya sekarang hidup di sini seperti lelucon atau bagaimana?”             “Jungkook...,” Joonie menggeleng, menandakan bahwa Jungkook tidak boleh berkata seperti itu. Joonie tahu emosi Jungkook sedang tidak stabli sehingga langsung memberi pengertian, “Vantae akan segera pulang.”             “Ada yang membicarakanku?” Itu suara Vantae, yang baru saja datang. Ada seorang gadis bernama Yoora di belakangnya, tersenyum kikuk dan Jungkook langsung memundurkan kursinya sehingga berdecit keras.             “Bahkan V-hyung tidak ada waktu untuk menjenguk San?” sindir Jungkook tepat di hadapan Vantae. Pemuda dengan alis tebal itu mencoba meraih tangan kiri adiknya tapi Jungkook menghindar dan memberikan tatapan tidak suka pada Yoora. Langsung pergi dari sana.             Jimmy bangkit dari duduknya untuk menghampiri Vantae, menepuk bahu. Menyuruh Vantae dan Yoora ikut makan malam.             “Jungkook marah padaku?” tanya Vantae pada semua member. “Dia berpikir aku tidak peduli pada San?”             “Tidak, Tae,” Seokjun menggeleng, “dia marah pada dirinya sendiri. Jungkook sangat merindukan San dan dia terlalu sedih untuk mengungkapkannya.”   (*)                             “ARMY akan sedih jika kau juga sedih.” Jimmy mengambil posisi duduk di sebelah Jungkook, mengacak-acak rambut pemuda itu. “Banyak yang sayang padamu, kau tidak sendirian.”             “Aku baik-baik saja.”             Jimmy hanya berharap ucapan itu benar.             “Kau masih belum bicara dengan Tae?” Jimmy tidak berniat menambah kalut suasana hati Jungkook, tapi dia ingin permasalahan sekecil apa pun selesai dengan cepat. Keadaan San yang terbaring koma sudah membuat Jungkook hancur, jangan sampai ada hal lain yang membuat pemuda itu seperti ditinggalkan.             “V-hyung tidak butuh lagi bicara denganku,” kata Jungkook, datar. “Dia punya orang lain sekarang.”             “Tentu saja itu tidak benar. Vantae menyayangimu, dia juga sedih sekali dengan keadaan San.”             Jungkook mencoba menatap Jimmy, mencari pembenaran. Jimmy segera mengangguk. “Itu benar, Kookie. Vantae peduli padamu dan juga San.”             Tidak ada jawaban dari Jungkook, dia hanya menatap layar ponselnya. Jimmy bisa paham bahwa adiknya ini harus diberi tahu secara perlahan. Jungkook sedang rapuh, kebingungan mencari pegangan.             “Kookie...?”             Jungkook dan Jimmy mencari sumber suara, rupanya di sana ada Vantae. Bibirnya melengkung sambil memeluk selimut. “Hyung tidak bisa tidur, Koo.”             “Temani Tae.” Jimmy mengusap pipi Jungkook sehingga pemuda itu bangkit berdiri. Menyampirkan selimut pada tubuh Vantae, bertanya mengapa Vantae gundah dalam lelapnya. Jimmy memberi nasihat sebaiknya mereka segera pergi tidur karena dirinya juga akan kembali ke kamar.             Vantae merengkuh pinggang Jungkook, kini mereka berdua berjalan mengenakan selimut yang sama. Ini adalah cara Vantae agar Jungkook tidak salah paham padanya.        “Kookoo, aku rindu San,” katanya dengan  nada yang sangat hati-hati. “Aku menghabiskan waktu dengan temanku—Yoora—untuk menghiburku, dia tidak menjauhkanku darimu. Jangan salah paham.”             Jungkook mengangguk, berjalan dengan Vantae menuju kamar pemuda itu. Membiarkan kakaknya mengusap pinggangnya lembut.             “Koo, besok kita ke rumah sakit, ya?”             “OK.”   (*)               Joonie melihat Jungkook yang baru saja melepas dahaga dengan sebotol air mineral. Sungguh luar biasa perform Jungkook di hari pertama konser Hongkong. Pemuda itu menari seolah malam ini adalah kesempatan terakhirnya menggerakan badan. Tapi Joonie tahu, di balik semangat Jungkook yang ditunjukkan pada fans, di dalam lubuk hati Jungkook dia mulai lelah. Jiwanya kosong, apa yang dia lakukan adalah manipulasi. Otaknya terus memaksa Jungkook berpikir bahwa semua hal baik-baik saja dan itu menyiksa.             “Kau keren sekali malam ini, Jungkook.” Joonie memuji, member termuda itu layak mendapatkannya.             “Terima kasih, Hyung,” balas Jungkook yang sekarang badannya sudah ambruk pada sofa. “Tapi aku lelah.”             “Tentu saja, kau menari dengan penuh semangat.”             “Yahh, sepertinya begitu.”             “Aku masih ingat saat untuk pertama kalinya kau datang menjadi trainee. Sangat polos, dan sekarang kau sudah menjadi the real idol. Sangat bangga sekali padamu, Jungkook-ah.”             “Aku masih sama saja, Hyung,” balas Jungkook dengan senyuman kecil. “Dan karenamu aku debut dengan TTS.”             Lalu Jungkook merubah topik,“Ada kabar terbaru dari San?”             “Maafkan aku, tapi tidak ada.”             Jungkook mengangguk, seolah mengerti padahal harapannya dipatahkan lagi.  “Sudah tiga bulan. Tidak terasa ya, Hyung?”             “Kook, San akan bangun.” Joonie yakin.             “Aku tahu,” katanya, “aku hanya rindu saja.” seperti berjalan di lorong gelap dan Jungkook tidak diperbolehkan membawa lentera. Seperti itulah rasanya menunggu Sanayya. “Apa dia mengingatku di tidur panjangnya?”             “Pasti.”             “Aku takut menjadi penghalang, Hyung. Bagaimana jika San ingin pergi, dan karena aku tidak mau itu terjadi membuatnya kesakitan sekarang?” Entahlah harus kalimat apa yang Jungkook rangkai. “Tapi aku benar-benar tidak akan bisa melepaskannya.”             “Dengar, Kook,” Joonie menyentuh bahu adiknya, “tidak ada yang perlu melepaskan, okey? Semua akan baik-baik saja.”             “Aku ragu Tuhan memberikan ‘baik-baik saja’ untukku dan Sanayya.”             Dan keraguan Jungkook memang nyata.   (*)               Jungkook mendengar Vantae terkekeh kecil ketika dia melihat sebuah gambar berbingkai yang dibuat dari pensil. “Ini kau dan San?” tanyanya.             Jungkook mengangguk, menaruh bingkai itu di atas nakas. Seperti biasa, ada bunga sweet pea segar di dalam vas. Dan Jungkook tidak mengerti ketika Vantae malah semakin senyum-senyum sendiri. “Hyung juga suka sweet pea?” Jungkook penasaran.             “Tidak.” Pemuda Gucci itu langsung menggeleng. “Aku lebih suka sweet Kookie, karena kau manis sekali pada San. Dia akan menangis haru jika tahu kau selalu duduk di sini sambil membacakan n****+ vampir.”             “Hyung pikir dia akan bangun?”             “Harus bangun.” Vantae tidak mau berpikir negatif karena dia kesulitan membayangkannya. Jungkook akan menjadi orang yang paling terluka.             “Aku merindukannya, dan ingin mendengar kabar baik setelah pulang dari konser Bangkok.” Jungkook menatap San yang masih saja tidak mau membuka mata. “Tapi aku takut terlalu berharap.”             “Harapan-harapan itu yang membuat San kuat,” kata Vantae. “Dan kita harus kembali sekarang, Kookie.”            Jungkook mengangguk paham. Saat dia menarik kursi untuk duduk di sebelah San, Vantae langsung keluar dari ruang rawat. Menghargai waktu dan privasi mereka berdua.             “Hai, Gorgeous...,” Jungkook tidak mungkin bosan menyapa gadisnya. “Aku harus pergi ke Bangkok untuk beberapa hari dan pastinya aku akan sangat merindukanmu.” Hanya ada suara dari alat medis yang memberi tahu Jungkook bahwa jantung San masih berdetak. Setidaknya, meski hanya kemungkinan kecil, itu sangat berharga. San masih di sini.             “Aku mencintaimu, kau harus tahu itu.” Jungkook mengusap jemari pucat kekasihnya, menikmati setiap momen. Mengabadikannya lewat memori dan juga kecupan hangat pada dahi San. “Kau tidak perlu membalas ucapanku, karena yang kubutuhkan adalah kamu. Kehadiranmu membuat aku hidup, Ken Sanayya. Kau membuatku merasakan kebahagiaan.”             “Bertahanlah untukku, San. Karena aku menunggumu.” Sebelum benar-benar pergi, Jungkook membisikkan kalimat itu pada telinga kanan San, lantas tersenyum dengan perasaan sangat ikhlas. “Menunggu pengantinku bangun.”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD