CHAPTER 16

2930 Words
"Jungkook? Mau ke mana pagi-pagi sudah rapi?" Jimmy yang masih dengan muka bantalnya menemukan si bungsu yang sedang memakan roti berselai.             "Ingin menjenguk manajer kita," jawabnya.             Jimmy mengerutkan dahi. Mungkin dia memang baru bangun—masih mengantuk, belum sepenuhnya sadar—tapi Jimmy yakin dia mendengar ucapan Jungkook dengan jelas.      "Kukira San hanya manajermu saja?" ledeknya, iseng. "Sejak kapan kau mau berbagi San dengan member lain?"             "Dia bukan sesuatu yang harus aku keep selamanya, hyung." Jungkook membawa piring kotor pada wastafel. Mencucinya bersih. "Aku ke rumah sakit dulu, ya."             "Maaf mengganggu rencanamu," Jimmy berdeham kecil, tangannya yang imut ia gunakan untuk menggaruk tengkuk, "tapi hari ini San pulang, Kookie."             "Oh? Jadi aku tidak perlu ke rumah sakit? Jam berapa dia pulang ke dorm? Manajer Sejun yang jemput?"             Pertanyaan itu terlalu bertubi-tubi untuk seseorang yang tidak akan kau keep selamanya, ujar Jimmy dalam hati. Tapi dia hanya berkata, "Tidak pulang ke sini. Aku kira kau tahu?"             Jungkook sudah mendengar pertanyaan ini sebelumnya—dari Seokjun, dan itu bukan sebuah berita yang Jungkook ingin dapatkan. Jungkook memilih tidak peduli, tapi dia ingin San tetap terjamah di matanya. Kepindahan itu bukan sebuah bualan?             "PD-nim sudah menyetuji surat pengunduran diri milik San. Dia bukan manajer TTS lagi, Jungkook-ah." Jimmy berhati-hati saat mengucapkannya, sebisa mungkin tidak menunjukkan kesengajaan. "Kau... okey?" dan Jimmy tahu ini tidak bagus ketika Jungkook mengepalkan tangannya.             Langkah  lebar Jungkook pergi menuju kamar San, pintunya tidak terkunci dan dia sangat tidak menyukai perasaan marah serta terkhianati saat melihat ruang pribadi perempuan itu sudah rapi—kosong. San pulang duluan ke Korea di sela-sela tour, meski alasannya untuk dirawat di rumah sakit, tapi pasti gadis itu sudah menyuruh orang untuk melenyapkan jejaknya di dorm.             Pintar dan egois, seperti biasa.   (*)               Sudah seminggu San tinggal di apartemen yang dibeli dari hasil menjadi manajer TTS selama 3 tahun. Berarti sudah seminggu pula dia berhenti dengan pekerjaannya. Member TTS mendapatkan libur sebelum tour asia, hanya ada acara akhir tahun saja. San masih mengingat baik jadwal mereka dan merasa sangat egois karena harus berhenti di saat semua orang kerepotan dan lelah.             San menyiapkan kebutuhannya dengan tertata. Dia punya satu koper berisi seluruh keperluan jika tiba-tiba dia harus masuk rumah sakit lagi. Tabungannya diinvestasikan untuk pengobatan, bahkan apartemen ini akan resmi diberikan kepada yayasan kanker jika hidupnya selesai. San sudah memikirkan semuanya. Hanya ingin meninggalkan yang baik-baik, setelah hilang nanti.             Bukan menyerah pada hidupnya, tapi kemungkinan-kemungkinan terburuk itu sudah membuat San lelah. Setidaknya, dia tidak menjadi gila karena mengurung diri. San sibuk menjalani hidupnya yang baik-baik saja, makan sesuatu yang enak dan bersenang-senang sebanyak mungkin. Itulah yang San pikirkan.             Dering ponsel berisi pekerjaan berhenti ketika dia memilih keluar dari dorm. Tidak ada lagi yang menuntutnya untuk ini dan itu. Menjalani hari yang tenang, rapi—kosong.              Dia akan baik-baik saja, itu yang menjadi kalimat penguat San, tak peduli mimisannya kambuh terlalu sering.             "Apa kau mau kol?" Suara Ahjumma yang menjajakan sayuran di sore hari mengintrupsi San. Gadis itu refleks mengangguk, mengeluarkan uang dari saku hoodie. Meminta sayuran lain untuk dibawa ke apartemen.             "Sejak kapan kau suka sayur?"             Kali ini San amat sangat terkejut karena suara serta parfum familiar terasa sangat dekat dengannya. Seorang pemuda jangkung tampak memasang ekspresi kelewat santai, menyentuh ubi dengan tangan kekarnya.             San mengedarkan pandangan, tidak ada siapa-siapa, namun dia tetap panik. "Untuk apa kau ke sini? Kenapa tidak pakai masker?!" dia sibuk mencari sesuatu dari kantung belanjaan, tapi tak ada apa pun yang bisa dipakai menutupi wajah rupawan milik Kim Jungkook. "Ikut aku," menarik tangan kelewat cepat dan Jungkook menurut.             "Tidak ada yang melihatku, Sanayya." Seolah mengerti kekhawatiran gadis itu. "Apartemenmu berada di kawasan sepi penduduk."             "Tetap saja, kau ini idol!" Harus berapa kali San ingatkan? Jungkook seharusnya lebih hati-hati—untuk kebaikan dirinya sendiri. "Ayo bicara di apartemenku."             Jungkook mengangguk, mengikuti langkah San yang terlihat seperti menyelundupkan seorang pencuri yang berbahaya. Jungkook ingin terkekeh namun dia sadar bahwa rasa kecewanya lebih banyak.             "Untuk apa ke sini?" San menaruh belanjaannya di meja dapur, to the point bertanya karena semakin cepat Jungkook menjawab, semakin cepat pemuda itu pergi. "Seharusnya kau berada di Busan, di rumah orangtuamu. Kalian mendapat libur."             "Kau terdengar seperti tidak suka aku berada di sini?" Jungkook membalikkan ucapan, membuat San menatapnya bingung.             "Apa kau kesepian di dorm karena member lain pulang?" San tidak menatap Jungkook, dia sibuk mengeluarkan belanjaannya.             "Apa keadaanmu lebih baik?" Jungkook sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan San, dia duduk di satu-satunya sofa panjang apartemen. Dapur milik San tak mempunyai sekat sehingga mereka bisa leluasa mengobrol meski berbeda ruangan. "Apa karena penyakitmu itu kau memilih berhenti menjadi manajer TTS?"             "Pasien sekarat tidak bisa mengurus banyak orang, Jungkook. Jawabannya, iya. Aku ingin istirahat."             Tak ada sahutan sehingga San menghampiri Jungkook dengan dua gelas s**u cokelat panas, pemuda itu menerima gelas yang satunya. "Dan aku baik-baik saja," lanjutnya.             "Ya...," Jungkook menganggukkan kepala dengan wajah tertunduk sehingga San tidak bisa melihat ekspresinya. "Kau terlihat baik—tanpaku."             "Jungkook-ah?"             Mereka kini berpandangan, dengan satu gelas s**u cokelat yang menghangatkan genggaman pada masing-masing tangan. San seolah ingin mengucapkan sesuatu, mungkin seperti jangan ke sini, fokus pada jadwal padatmu. Atau yang lainnya.             "Apa kau makan dan tidur dengan baik?" San tidak bisa jika tidak bertanya.             "Mengapa kau pergi jika masih ingin tahu?"             San diam.             "Aku memang ingin hubungan kita kembali seperti sedia kala—manajer dan idol. Tapi, haruskah kau menghilang dari jarak mataku?" ada kalut tak berujung dari sorot netra Jungkook. "Aku berusaha untuk tidak peduli padamu, tapi aku bukan kau. Aku tidak bisa."             "Jadi, kau mau aku seperti apa?"             "Aku—tidak tahu, noona. Kau sangat complicated." Jungkook kembali menunduk "Pergi sebentar saja dari pikiranku, aku mohon. Ingin berhenti memikirkanmu. Tapi, aku, tidak, bisa."             San menghela napas, hangat dari cokelat dalam gelas menambah panas pada kedua matanya. Jungkook seharusnya tidak datang hari ini agar semua bisa tampak normal untuk mereka—untuknya.             "Mau menginap, Jungkook-ah?" Dan seharusnya San tidak menawarkan hal seperti ini.             "Apakah boleh?"             "Yaaa." (*)               Movie marathon mereka lakukan sampai jam 2 pagi. Menghabiskan pizza dan juga jus jeruk. Menonton apa saja karena rasa kantuk tak kunjung datang. Berada di selimut yang sama, ada boneka panda besar yang duduk di tengah-tengah sebagai pembatas.             "Kau tidak boleh sering bergadang, tidak baik," kata San.             Jelas saja Jungkook langsung berdecak. "Berkaca untukmu sendiri."             "Aku ini pengangguran, jadi bebas."             Film yang mereka tonton lagi-lagi sudah sampai di bagian akhir, namun kali ini San menggeleng ketika Jungkook bertanya ingin lanjut nonton film baru atau tidur.             "Aku akan tidur, kau bisa menklaim sofaku. Silakan." San keluar dari selimut, merenggangkan tubuhnya yang lumayan pegal karena duduk sejak jam 7 malam. "Good night."             "Kau ada acara di malam pergantian tahun, nanti?" Pertanyaan Jungkook menghentikan langkah San. "Ayo keluar denganku."             "Kau ada acara musik, Kim."             "Setelah pulang. Aku akan menjemputmu."             San sedikit berpikir. "Tapi aku sudah punya janji. Kau bersenang-senanglah!"             Jungkook membiarkan San pergi ke kamarnya, tidak memaksa agar mau menerima ajakan. Menerka-nerka gadis itu pergi dengan siapa dan Jungkook tahu bahwa San berbohong. Hanya mencari alasan agar tidak pergi bersama.             Meneruskan menonton film, Jungkook tidak bisa fokus. Dirinya sudah diberikan selimut tebal dan juga bantal—tidur di sofa—namun sejak tadi tak mengantuk. Satu jam berlalu, mungkin San sudah terlelap jauh.             Jungkook memberanikan diri untuk pergi ke kamar pribadi gadis itu. Seperti biasa, San akan tidur dengan suasana temaram, karena tidak bisa nyenyak jika lampu menyala.                 Memerhatikan setiap sudut kamar, Jungkook tertarik pada meja berwarna cream di sudut tempat tidur. Ada banyak kertas putih yang dilipat menyerupai amplop dan ketika Jungkook hitung, semuanya ada enam. Setiap kertas memiliki tujuan karena semua nama member TTS tercantum di sana, kecuali nama Jungkook.             Dia melirik San yang tertidur dengan damai. Kedua matanya terpejam seolah dayanya benar-benar diistirahatkan. "Kau menulis wasiat?" tanya Jungkook dengan suara rendah. "Untuk semua hyung, kecuali aku?"             Jungkook menghampiri San, duduk di pinggiran ranjang sambil menatap dengan lekat. Wajah gadis itu terlihat polos dan cahaya seadanya di dalam kamar ini membuat San seperti wanita rapuh yang memilih menghabiskan waktunya sendirian. Selalu bertingkah angkuh, mampu, dan tak memerlukan bantuan. Menyembunyikan kejujuran pada sifat tegasnya.             Tangan Jungkook terangkat untuk mengelus rambut San. Secara perlahan kepalanya menunduk, wajah mereka bertemu dan Jungkook mengecup bibir dari gadisnya. Sangat dalam, ingin terus merasakan irama meletup-letup pada jantung dari bibir ini.             "Noona, mengapa mencintaimu sangat sulit? Mengapa aku bisa mendapatkan seluruh cinta dari dunia, tapi tidak darimu?"             San mungkin tak akan pernah mau tahu—tapi bagi Jungkook, poros hidupnya berhenti pada San ketika untuk pertama kalinya gadis itu mengenalkan diri sebagai manajer baru TTS.             Jungkook tidak memerlukan bulan yang cantik karena dia yakin sudah punya San—sun, matahari—untuk dirinya sendiri. Melengkapinya. Tapi, San tak pernah mau peduli.   (*)   Jungkook : Jadi, apa yang sedang kau lakukan? San : Jalan, tentu saja. Ini malam tahun baru! Jungkook : Jalan di dalam apartemenmu? Jangan bohong. Cepat buka pintu, aku tidak pakai masker.               "Damn!" San terpaksa mengumpat karena sepertinya Jungkook tidak main-main. Ada ketukkan di pintu depan, San benar-benar kesal. Dengan hoodie hitam kebesaran—yang sialnya milik Jungkook—dan juga celana tidur jauh di atas lutut, San bergegas untuk membuka pintu. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian.             "Kau jangan sembarangan datang ke sini terus!" San emosi, tapi nampaknya Jungkook tidak peduli. Pemuda itu main masuk saja. "Biasakan pakai masker, Kookie!"             "Aku pakai masker, tadi kubuka tepat di depan pintu apartemenmu." Jungkook senang melihat San emosi. "Ayo kita beli jagung bakar. Di sekitar gang apartemenmu banyak yang jual."             "Kau gila?! Kau tidak bisa seenaknya keluar seperti itu!"             "Santai saja. Ini malam pergantian tahun, semua sibuk dengan acara mereka sendiri. Tak akan ada yang mengenaliku. Ayolah, aku benar-benar ingin melepas stres dengan makan jagung bakar."             San bisa menolak, tapi dia tidak tega. Jungkook datang dengan keadaan lusuh, sudah jelas dia langsung menemuinya setelah acara musik yang TTS ikuti. San mengganti celananya dengan training, lalu pergi keluar mengenakan masker. Menuruti Jungkook, mereka membeli jagung bakar di tempat yang tidak terlalu ramai. Pembelinya juga kebanyakan orangtua.             Ketika mereka menunggu pesanan jagung, ada seorang kakek yang memperkenalkan diri sebagai pelukis jalanan. Dia menawarkan jasanya, meminta sisihan rezeki agar bisa pulang membawa makanan enak untuk keluarganya di rumah.             "Tolong gambar kami," ujar Jungkook, bersamaan dia melapas maskernya. San menyikut pinggang Jungkook dan pemuda itu berkata semuanya akan baik-baik saja. "Lepaskan maskermu juga, San."             Kakek itu tersenyum, menyiapkan selembar kertas yang dia pakai sebagai media gambar. Mulai melukis dengan pensil, dua sosok yang duduk bersebelahan. Sekitar lima belas menit, gambarnya siap. "Apa ingin diberi nama dan tanggal?"             "Tulis tanggal hari ini dan kata 'SanKook' di bawahnya.” Jungkook meminta dengan sopan, kali ini ucapan pemuda itu membuat San tidak dapat bergerak dari tempatnya.             Jungkook pergi membayar jagung, sedangkan San menyerahkan uang dari Jungkook kepada si kakek yang berkata tulus, "Semoga kalian selamanya."             "Tidak," San refleks menggeleng, "kami bukan pasangan."             "Ah... maafkan saya."             San menundukkan badannya, memberi hormat kepada si kakek yang sudah bekerja keras dalam menggambar dirinya dan Jungkook. Sebuah karya dari coretan pensil yang bagus.             "Yuk?" Jungkook sudah kembali, dan pemuda sialan itu seenaknya meraih tangan kanan San untuk ia genggam. Pergi dari sana, melangkah berdua melewati gang menuju apartemen.             "Apa gambarnya bagus?" tanya Jungkook di sela-sela langkah kakinya, San hanya berdeham. Sesampainya di apartemen, San tidak bisa berhadapan lagi dengan Jungkook yang seperti ini.             "Setelah makan jagung sebaiknya kau pulang." San terlihat geLizzyh, melepaskan genggaman Jungkook lalu menaruh selembar gambar itu di atas meja makan. "Lebih bagus kau pulang sekarang."             "Kenapa?"             "Bisa-bisanya kau bertanya seperti itu?" Nada suara San refleks naik. "Kau ini maunya apa, Jungkook? Kau terus mengganggu hidupku! Kau sendiri yang bilang sudah melepaskanku, tapi kau selalu datang. Kau membuatku bingung dengan kalimatmu yang selalu tidak bisa, selalu kesulitan, selalu kesepian. Kau harus berhenti di sini! Aku muak denganmu!"             San tidak tahu mengapa sekarang sangat emosi dan juga ingin menangis. Tidak bermaksud mengeluarkan kalimat yang menyinggung Jungkook, tapi dia sendiri juga tidak berdaya. Pemuda itu memiliki banyak kesempatan di luar sana untuk mengencani wanita manapun. Wanita yang tidak egois atau sekarat.             "Apa Noona akan tetap seperti ini padaku?" Jungkook melangkah mendekati San yang pipinya sudah basah. "Aku begini juga karena Noona! Aku bersabar ketika selama ini kau selalu menganggapku belum dewasa. Aku mengikuti keinginamu untuk mencoba berkencan. Aku berpura-pura tidak menyukaimu dan melukai diriku sendiri. Seharusnya yang paling muak adalah aku!"             "...."             "Aku selalu sabar menunggu Noona, apakah Noona tahu itu?!" Mungkin sudah terlalu lama memendam, sehingga bom waktu akhirnya benar-benar tak bisa Jungkook tahan lagi.     "Noona tidak akan pernah mau tahu. Yang Noona tahu hanya melukaiku. Sungguh melelahkan, bahkan aku kesulitan berhenti."             "Tolong mengertilah...," San kehilangan alfhabet dari bibirnya sendiri. "Karirmu...diriku...semuanya... bukan untuk sebuah hubungan yang selama ini kau inginkan, Kim."             Saat San mencoba menyentuh wajah Jungkook, pemuda itu menjauh. Matanya memerah, ada kecewa di sana.             Melemparkan jagung bakar yang mereka beli, tak mengatakan apa pun lalu Jungkook pergi dari sana. Tubuh San jatuh pada lantai, dia menarik rambutnya sambil terisak keras. Dia tidak tahu apa yang salah di sini.             "Maaf, Jungkook-ah...," aku memang buruk.             Suara dari kembang api mulai bermunculan, menandakan bahwa mulai dari detik ini tahun sudah berganti. Angka-angka berubah, tak lagi sama. Semua orang mendamba kesempatan yang lebih baik dan juga menanamkan asa lewat tahun yang baru. Semua orang tahu apa yang mereka mau, mereka damba dan inginkan. Tapi... kenapa San tak berniat mewujudkan apa yang dia mau seperti manusia lain di luar sana?             Dengan tergesa-gesa, San berdiri, mencoba menopang kakinya yang terasa lunglai. Mengunci pintu apartemen, berlari terseok-seok seolah malam ini adalah kesempatan terakhirnya menemukan seseorang.             "Jungkook...." San menyesal sudah melukai hati pemuda baik itu, dia membenci dirinya sendiri untuk ini. Untuk semua luka dan perasaan sesak tanpa obat. Untuk setiap tangisan dan rindu yang membuatnya seperti berdiri di ujung jurang kehampaan.             "Jungkook..." San tentu sadar, sejak awal. Keinginannya tidak bisa terwujud, maka dari itu dia memilih menggantinya dengan keangkuhan. Agar dirinya baik-baik saja.             Langkahnya terhenti, seluruh inderanya terasa menolak bekerja. San ingin berteriak tapi tenggorokannya terlalu sakit. Dia tidak bisa meneruskan berlari tanpa arah.             Tubuh San bergetar, dia kesulitan lagi berdiri. Kedua tangannya berada di antara kaki karena kini San sudah berpikir yang macam-macam. "Kookie-ya...." tangisnya semakin pecah.             San ingin meminta maaf.             San ingin melihat Jungkook.             San ketakutan.             "Hei...," Sebuah tangan hangat menyentuh bahunya, dengan gemetar San mengangkat wajah dan dia menemukan Jungkook berada di hadapannya. Sehat, baik-baik saja, tidak terluka. "Mengapa kau menangis?" tanya pemuda itu.             San terlalu takut dan kesulitan berpikir sehingga dia langsung melingkarkan tangannya pada leher Jungkook. Terisak, dadanya sakit sekali. Napasnya putus-putus."Jangan pergi. Aku—tidak bisa, jangan tinggalkan aku. Jungkook, aku....,"             Usapan lembut terasa menangkup punggungnya, menenangkan. Tubuh San begitu bergetar, berbanding terbalik dengan suhu Jungkook yang hangat.             "Bagaimana... jika kau tidak baik-baik saja?" San mengeratkan pelukannya, menangis di d**a Jungkook. "Aku akan membenci diriku sendiri. Jangan pergi."             "Aku baik-baik saja," Jungkook menghela napas, "hanya pergi sebentar karena aku akan menyakitimu dengan ucapanku jika masih berada di apartemen."             "Aku yang selalu menyakitimu."                 "Sshhh... sudahlah,  aku baik-baik saja." Mencoba melepaskan pelukan, menangkup wajah sembab San lantas menggenggam kedua tangan dingin milik gadis itu. "Mengapa menangis? Noona tahu kan aku paling benci jika noona menangis apalagi itu karena aku?"             "Aku takut kau pergi jauh, aku rasanya seperti mati, sakit sekali—"             Jungkook menggeleng cepat. "Tidak lagi," ingin mendekapnya lama, "aku tidak akan pergi.”   (*)               Hampir satu jam mereka habiskan untuk meminta maaf. San mengusap rambut Jungkook, membuat pemiliknya terasa ingin terlelap namun Jungkook terlalu takut saat nanti besok ia membuka mata—kedekatan ini adalah mimpi. Jungkook meletakkan  kepalanya di atas pangkuan San, hanya menatap wajah sembab yang terlalu banyak menangis.             "Noona, kau adalah first kiss-ku."             San menghentikan pergerakannya mengelus rambut Jungkook. Ada semburat merah di pipinya. "Kau ini bicara apa, anak kecil?"             "Apa kau tersipu sekarang?" Jungkook sengaja menggoda.             "Tidak."             Namun, tentu saja itu bohong. Wajah San semakin memerah dan Jungkook senang. "Kookie menyukai noona, sangat banyak." Jemarinya membelai sudut bibir San, dengan susah payah gadis itu menahan senyum. Jungkook yang manja adalah godaan paling mematikan. "Sangat sangat sangat menyukai noona."             Jungkook mengangkat kepalanya, kini dia duduk di sebelah San. Mengambil kedua tangan gadis itu agar bangkit karena sekarang Jungkook mendudukkan San tepat di pahanya. Mereka berpandangan, terlalu dekat. San bahkan tidak berani menatap Jungkook.             "Turunkan aku, anak kecil!” San bisa gila karena jantungnya dipaksa bekerja lebih keras. Setiap sentuhan dan deru napas Jungkook adalah sesuatu yang illegal. Mereka berdua seperti ini, tanpa jarak—seperti kekasih—San dibuat mabuk tanpa perlu menenggak alkohol.             "Anak kecil ini bisa menciummu sangat panas, noona. Hati-hati." Terlalu intens, berbahaya dan seksi. Bahkan Jungkook berani menggesekkan hidungnya pada pipi San dan setelahnya mengecup rahang San menggunakan bibirnya.             San menaruh kedua tangan pada bahu Jungkook, sehingga pemuda itu menghentikan perbuatannya. Untuk beberapa detik, San merasa selamat.             "Kau belum mengucapkan selamat tahun baru padaku." San benci karena ternyata dia punya suara yang bisa merengek, tapi dia ingin melakukannya. Menatap Jungkook dengan jarak sedekat ini hanya mengkukuhkan fakta yang bertebaran;  Kim Jungkook itu sangat tampan.              Saat Jungkook tersenyum—tidak nakal atau menyebalkan—gigi kelincinya manis. Seperti boneka.             Pemuda itu terkekeh, karena permintaan San cukup aneh namun tetap bisa diwujudkan dengan mudah. "Baiklah...," kedua tangan Jungkook mengusap punggung San agar gadisnya merasa rileks, dan jarak tak seberapa antara mereka tentu saja membuat Jungkook bisa mendaratkan bibirnya pada milik San tanpa halangan.             Hanya ciuman manis, tidak tergesa-gesa namun tetap menghanyutkan.             Dengan gemetaran, San membalas ciuman itu. Dia bisa merasakan Jungkook tersenyum di sela-sela kecupannya. Pemuda itu sangat sabar meski fantasinya sudah melayang ke mana-mana. Tangannya sangat baik karena hanya mengelus pelan dan hati-hati. Jungkook tidak ingin mengahancurkan momen.             San langsung menyembunyikan wajahnya yang memerah pada lekukkan leher Jungkook setelah ciuman manis itu terlepas. Sang maknae tak bisa menahan tawa. Mengeratkan pelukan, menandakan kepemilikkan. "Selamat tahun baru, sayangku Sanayya."             San tentu saja membalas tulus, "Selamat tahun baru juga untukmu, Jungkookie."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD