CHAPTER 15

2551 Words
"Selamat tinggal, San."             Dan Jungkook melakukannya. Persetan dengan segala hal. Segalanya tampak menyakitkan, tak ada celah keluar. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan Jungkook dari rasa sakit adalah melepaskan.             Dirinya tidak bisa memaksakan kehendak atau Jungkook bisa kehilangan lebih banyak. Dari ini, dari hal yang paling ia hindari. Menyerah akan hatinya.             Sekali lagi persetan, Jungkook marah bukan karena perempuan itu, tapi karena dirinya sendiri yang sangat menginginkan perempuan itu. Yang bahkan tak pernah menerima uluran tangannya. Perempuan itu melukainya.             Sangat berisiko memilih untuk mencintai Sanayya, seperti yang selama ini Jungkook lakukan bagai orang tidak waras. Lepas kendali.             Ternyata menjadikan perempuan itu alasan hidup tak membuat San  merasa cukup untuk sekadar ingin berada di sisi Jungkook.             Tak ada ibarat dengan hargasama. Dirinya jelas kalah oleh rasanya sendiri.             Apa Sanayya lupa ketika waktu itu, dengan sumringahnya dia mengangguk pada ajakan Jungkook untuk berkencan? Kala itu. Sebelum sulit.             "Aku mau. Mari kita berkencan, Koo-Kookie."             Jungkook kira dunia di pihaknya, ternyata tidak. Dari sanalah rasa sakit ini muncul. Mempermainkannya, terus menyuruh Jungkook mencoba dan dikecewakan menjadi jawaban.             Seharusnya Jungkook tahu; dua tahun lalu San memang berhasil berkencan dengannya, tapi kalimat itu—tentang apakah San mencintainya—sampai sekarang Jungkook tak pernah tahu. Atau mungkin memang tak pernah ada?             Bagi Jungkook, Sanayya menjadi cinta serta lelucon dalam satu waktu. Layaknya m****n, Jungkook akan merasa melayang namun berakhir mati jika nekat mengkomsumsinya dengan takaran banyak. Dan bodohnya, Jungkook tidak pernah sadar bahwa mungkin selama ini dia hanya membuang-buang waktu. Berdarah-darah, untuk orang yang salah.   (*)               "Dia tidak bisa menari," ujar seorang staff medis. "Maafkan aku tapi jika Jungkook nekat, lukanya akan semakin buruk."             Dua jam sebelum konser yang mampu menjungkir balikan segala hal. Mereka semua tidak mengizinkan Jungkook melakukan dance untuk konser kali ini karena saat rehearsal pemuda itu melukai kakinya. Jungkook tetap ingin menari, dan ia memberi solusi bahwa dirinya akan menari satu lagu, istirahat satu lagu, dan kembali menari. Begitu seterusnya.             Sejun menggeleng. "Jadwal tour masih panjang. Bukan masalah  tidak menari malam ini asal kau bisa menari di negara lain. Kau tidak tampil malam ini saja, Jungkook."             "Tapi aku akan mengecewakan ARMY." Sudut mata Jungkook terus berair, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kecerobohan ini. Jungkook bahkan terus meminta maaf karena konser harus ditunda dari waktu yang sudah dijadwalkan.             "Kau duduk ya, Jungkook. Jangan membuat kakimu semakin luka." Joonie mencoba memberi pengertian.             "Hyung, aku minta maaf," ujar Jungkook dengan suara bergetar.             "Jangan meminta maaf terus, kecelakaan seperti ini rentan terjadi. Yang perlu kita lakukan adalah lebih berhati-hati dan sekarang kau hanya perlu fokus pada kesembuhan kakimu. TTS tidak bisa tampil tanpa main vocal-nya."             "Kookie-ya...," Vantae mengusap pipi Jungkook yang basah. "Dengarkan perkataan hyungs. Malam ini kau duduk ya, semua akan baik-baik saja. ARMY malah akan khawatir jika kau terlalu memaksakan diri."             Jungkook akhirnya mengangguk, tahu bahwa kecelakaan ini membawa kerugian untuk performa team di stage, tapi dia sendiri juga tidak mau ini terjadi.             Sejun memberi arahan pada anak asuhnya bahwa konser tidak bisa lebih lama lagi ditahan. Mereka harus bersiap-siap, banyak ARMY yang menunggu.               "Jung—“ ucapan San tertahan ketika pemuda yang dia panggil sama sekali tak melirik padanya. Berjalan dibantu Vantae dan Jimmy menuju stage. "Jungkook, kakimu—“             "Berisik," potong Jungkook, langsung.             Vantae memperingatkan, "Kookie... San hanya bertanya," lalu Vantae tersenyum pada San. "Jangan khawatir. Jungkook-mu pasti baik-baik saja, Manajer San. Jungkook kuat."             Saat San ingin menghela napas lega, Jungkook membuatnya menjadi sulit dengan berkata penuh sindiran, "Apa maksudmu, V-hyung? Maaf, aku bukan miliknya. Aku tak mungkin bisa menjadi berharga di matanya."   (*)               Dengan keadaan kaki Jungkook yang terluka, konser tetap berjalan meski mereka semua dilanda rasa khawatir. Sekarang member sedang berbicara sebelum menyakikan lagu encore.             "ARMY, Jungkook tidak bisa kembali ke hotel dengan keadaan seperti ini." Jimmy berbicara menggunakan mic yang dia pegang. "Jungkook akan menangis setelah meninggalkan stage. Jadi, mari bilang bersama-sama bahwa kalian mencintai Jungkook. Yang keras, ya!!"             "JUNGKOOK! WE PURPLE YOU!!!" Serentak venue konser dipenuhi teriakkan ARMY.             Jungkook terisak di kursinya, tidak bisa berhenti menangis dan meminta maaf. "Sebenarnya aku sudah menyiapkan  kalimat menggunakan bahasa Inggris, tapi..." tangis itu hadir lagi. "Kali ini aku hanya ingin mengucapkan sesuatu dari lubuk hatiku. Maafkan aku."             "TIDAK APA-APA! JANGAN MENANGIS!!" ARMY sangat baik, maka dari itu Jungkook semakin merasa bersalah karena tidak hati-hati.             "Aku berjanji tidak akan menangis lagi, aku akan lebih ceria besok. Jadi, mari bertemu lagi. Terima kasih, Aku mencintai kalian!"             Gemuruh dari ARMY yang terus berkata bahwa ini bukan kesalahan Jungkook dan mereka mencintai Jungkook, adalah teriakkan tuntas di penghunjung konser London hari pertama. Semua member melambaikan tangan sambil mengucapkan terima kasih kepada ARMY, sampai tubuh mereka sudah benar-benar turun dari stage.             "Kerja bagus, semuanya. Terima kasih," ujar Sejun pada member dan staff. "Jungkook, sebaiknya kau langsung istirahat. Hyung akan panggil San—“             "Jangan," tolak Jungkook pada ucapan Sejun.             "Jangan?" Sejun mengulang.             Hanya ada anggukan. Jungkook duduk di sebuah sofa setelah medis memeriksa lukanya. Dia meminum air sampai habis dan Jimmy yang sedang mengipasi badan lantas menghampiri Jungkook. Bertanya tentang keadaan kaki sang maknae.             "Sakit, tapi tidak pa-pa," jawab Jungkook.             "Pulanglah duluan ke kamar hotel dengan San.”             "Bisa tidak semua orang berhenti menyembut nama itu?!"             Jimmy melongok. "Huh?"             "Aku bisa hidup tanpa dia." Jungkook melemparkan botol air minumnya ke atas meja. Ekspresinya mendung.             "Jungkook, kenapa kau kesal pada San? Dia kan selalu menolongmu dan tadi dia begitu khawatir lho mengetahui kakimu terluka." Jimmy merendahkan suaranya.             "Dia mana peduli, hyung."             Jungkook benar, kan? San bahkan tak terlihat sama sekali saat para medis sibuk mengobati kakinya. Jungkook juga tidak peduli pada San, terserahlah.             Jimmy menghela napas ketika Jungkook berkata ketus. "Aku menemukan San menangis."             Tapi Jungkook benar-benar tak peduli.             "San menangis saat manajer Sejun bilang bahwa kakimu terluka, dia terus bertanya apa kau baik-baik saja. Aku juga lihat San mimisan saat menangis," jelas Jimmy dengan wajah serius. "Kook, aku tak pernah melihat San menangis seperti itu, untukmu."             Untuk siapa?             "Jika itu bukan sebuah bentuk peduli, aku tidak tahu namanya apa," tambah Jimmy menuntaskan obrolan. Hanya menepuk bahu Jungkook, lalu pergi dari sana.   (*)               Tangannya bergetar hebat saat membuka sebungkus rokok serta mengeluarkan satu batang yang akan menjadi obat. Setidaknya itu yang dipikirkan San setelah menyelesaikan satu hari penuh dengan rasa sakit menyerang bagian kepala dan sendi-sendinya. Terparah, hatinya.             Lupakan itu, dia punya hal lain yang lebih penting. Memperbaiki yang sudah retak. Oh, tidak mudah—tapi San akan bersusah payah. Untuk dia... Kim Jungkook.             Siapa lagi, memang?             Pemuda itu melukai kakinya, tak bisa menari di stage, menyalahkan diri sendiri bahkan menangis. Jungkook membuat San menjadi tidak berguna. San sangat tidak suka ketika dia tidak bisa melakukan apa-apa. Selalu mengecewakan.             San benar ketika meminta Jungkook melupakan bualan-bualan tentang aku mencintaimu dan sebagainya. Karena untuk hal kecil saja—berada di sana, ada bersama Jungkook—San tidak bisa. Jungkook pantas sekali mendapatkan perempuan yang kuat untuknya. Tidak lemah, apalagi penyakitan.              Hanya akan mendapatkan berita duka, lalu merasa menyesal di depan sebuah makam—patah hati. San tidak mau.             Jungkook tidak boleh menginginkan perempuan lemah.             "San...?"             Gadis itu dengan segera memasukkan bungkus rokoknya pada saku jaket. Tersenyum pada Joonie. Pemuda itu menggeleng lelah, seolah memberikan jawaban sebelum San bertanya. "Jungkook tidak mau makan."             “Aku akan bujuk.” San  tidak tega kepada Joonie. Gadis itu mengelus bahu sang leader, memintanya agar beristirahat saja karena besok TTS masih ada satu hari terakhir konser di London. Jangan sampai ada lagi member yang sakit.             Memberanikan diri, San membawa langkah ke kamar hotel Jungkook. Mengetuk pintu  itu, tak berharap banyak namun tetap ingin mencoba.                 Pintu terbuka, ada Jungkook di sana. Berdiri dengan susah payah dan San menyesal karena membiarkan Jungkook berjalan. San langsung memberikan sebuah pernyataan. "Kau belum makan? Mau apa?"             "Hyung yang lain makan apa?"             San kira Jungkook akan menutup pintu kamarnya, menolak dengan terang-terangan namun ternyata tidak. Sehingga San langsung menjawab, "Ada banyak menu di meja makan. Mau aku ambilkan?"             "Kau bisa membawakan apa pun," katanya.             San meminta agar Jungkook menunggu sebentar. Bergegas untuk mengambil makanan lalu kembali, pintu kamar Jungkook terbuka setengah, pemiliknya sudah duduk di tepi kasur. Dekat nakas.             San memberikan menu makan malam pada Jungkook yang tidak ingin meliriknya. Gadis itu paham, karena mereka berdua sedang tidak baik-baik saja.             "Kudengar kau mimisan." Jungkook berkata seperti itu sambil membuka sekotak sushi. Masih sama, tak menatap manajernya.             San perlu waktu beberapa menit untuk menjawab. Tentu saja ia tidak bisa berbohong—dan memang tak mau—sehingga San menjawab, "Iya, hanya sedikit."             "Aku tidak akan ada lagi untukmu, Sanayya. Jadi, berhati-hatilah."             San tidak salah dengar, maka dari itu dia diam. Sedang mencari posisinya yang sekarang.             "Aku merasa ini tidak adil karena aku masih saja ingin tahu keadaanmu." Jungkook mendengus, dia seolah bersiap akan makan namun itu hanya alibi agar tidak terlihat jelas ingin menatap San.             "Menurutku adil,” balas San.             Jungkook menghentikan kegiatannya.             San berdiri hanya beberapa langkah dari Jungkook. Ada banyak cairan yang siap meruntuhkan tembok kelopak. "Ini adil. Aku ingin tahu kondisimu juga, Kookie."             "Oh, jadi kau mengkhawatirkanku?" Jungkook mengerutkan dahinya. Dan apa maksudnya dengan 'Kookie' ?             “Apa terlihat tidak untukmu?" tanya San.             "Aku bertanya, dan kau balik bertanya. Polamu. Kesukaanmu." Jungkook mendengus lagi. Matanya kini sudah menatap Sanayya yang berdiri diam, pucat. "Tenang saja, aku sudah tidak ingin mendengar jawaban apa-apa lagi. Aku melepaskanmu, kau ingat?" Sebuah kalimat final dari Jungkook. "Jadi, mari bekerja lagi seperti biasa, Sanayya. Aku artismu, dan kau manajerku."             (*)               Gadis itu berlari dengan cepat ketika musik di stage berhenti. Ada beberapa staff yang memapah Jungkook agar bisa duduk. Coordi datang untuk menghapus keringatnya. Jungkook mengeluh bahwa kakinya sakit sekali.             "Duduk saja, aku mohon!" San tidak tahu mengapa dia kesal. Jungkook sulit sekali diberi tahu. "Apa kau mau lukamu itu semakin parah karena berjalan-jalan di stage?"             Lalu San meminta coordi membawakan pakaian yang akan dikenakan Jungkook untuk encore. Menolong pemuda itu ganti baju dengan tampang yang sangat ketara bahwa dia kesal tapi juga takut terjadi apa-apa. Jungkook bersiap naik panggung lagi dan saatnya San memikirkan dirinya sendiri karena sejak awal konser dimulai, tubuhnya sudah tidak enak. Kepalanya terasa sangat berat bahkan San beberapa kali kehilangan fokus.             "Permisi, kau mimisan." Seorang coordi yang San ketahui bernama Aera memberikan selembar tisu untuknya. "Banyak sekali darahnya. Apa kau tidak apa-apa?"             Ayolah, Sanayya.... Ini bukan saatnya untuk kambuh, bodoh!             "Terima kasih tissunya, Aera-ssi. Aku tidak pa-pa," jawabnya dengan senyum yang dipaksakan lantas pergi dari sana.             San menyobek kertas pada catatan kecilnya, menulis sesuatu. Kertas itu ia letakan di meja yang dipakai Jungkook istirahat setelah konser selesai. (*)   Manajer Sejun : Kami sampai di Korea dengan selamat. Bagaimana kabarmu? Me : Syukurlah. Aku sudah baikan, Oppa. Manajer Sejun : Istirahatlah, lagi pula kita punya libur panjang sebelum konser Asia.               Sepuluh hari sudah San menyerah pada tubuhnya. Setelah mimisan dan masuk UGD saat konser di London, San langsung meminta pulang ke Korea padahal TTS masih punya beberapa jadwal di sana. Agensi sangat percaya padanya—atau mungkin merujuk pada kasihan—sehingga San diberi waktu untuk dirawat di rumah sakit. Semata-mata agar kondisinya stabil lagi. Demi Tuhan, rasanya San malu pada dirinya sendiri. Dengan penyakitnya ini, dia menjadi tidak profesional. BigHit seharusnya sudah memecat San sejak lama. Hanya bisa merepotkan saja.             Dua hari lalu, San demam tinggi—hampir collapse. Dokter berkata bahwa jika sekali lagi San pendarahan hebat, itu akan berakibat fatal. Keluhan sakit kepala San terlalu dianggap main-main oleh gadis itu, seolah melupakan bahwa dia tidak bisa mendaptkan benturan di area-area penting. Contohnya kepala, yang terhubung langsung dengan tempat tinggal otak.             "Jadi saya akhirnya tetap akan mati, begitu? Berapa lama lagi waktu saya?" Adalah pertanyaan yang San lontarkan ketika dia masih bisa selamat kemarin.             "Semua orang akan meninggal, bahkan tanpa penyakit VWD. Itu mutlak. Tapi sebagai hamba yang sudah dianugerahkan kehidupan, adalah kewajiban untuk memperjuangkannya, Sanayya-ssi." Seperti biasa, dokter punya jawaban khas mereka yang biasa menyembuhkan orang.             Tangan San kebas, bosan harus mengisi brankar dengan tubuh lemahnya atau bertemu obat-obatan. Tidak membuatnya benar-benar sembuh.             Pikirannya melayang entah ke mana, sampai San ingat bahwa di rumah sakit ini pernah bertemu dengan seorang gadis kecil yang mengaku sering berkirim pesan dengan Vantae. Pastinya gadis kecil itu sudah pulang ke rumah, bisa bermain dan bersekolah lagi. Tidak seperti San yang harus bertahan dengan penyakitnya, seumur hidup.             Seorang suster datang untuk mengecek cairan infus San, sempat bertanya keadaan San juga.             "Sus, maaf saya ingin bertanya. Terakhir kali saya dirawat, suster pernah mengantar saya menemui seorang pasien. Gadis kecil, yang menyanyi dengan semangat."             "Saya ingat. Mungkin maksud Anda adalah Eunha?"             San mengangguk. "Dia sudah pulang, ya? Aku tidak sempat bertanya dia sakit apa."             “Saya sebenarnya tidak boleh mengatakan ini.” Suster selesai mengganti cairan infus San dengan yang baru dan ekspresi wajahnya berubah. "Eunha sudah meninggal, Sanayya-ssi."             Oh, astaga. San pikir gadis kecil itu pastilah sudah sehat. Dia tidak menyangka umur Eunha sangat pendek.             "Suster yang menjadi temanku, dia merawat Eunha dan berkata bahwa gadis kecil itu sudah berpulang. Dia dirawat cukup lama di sini. Kami merasa kehilangan."             San bisa merasakan itu. Meski hanya bertemu sekali, Eunha adalah sosok yang menyenangkan. Sayang sekali San tidak bisa bertemu lagi dengan salah satu fangirl Vantae itu.             "Di sana, kau lihat gadis yang sedang membagikan kotak makan pada beberapa suster, Sanayya-ssi?" Suster menujuk ke arah taman, dari jendela kamar rawat San bisa melihat. "Itu Yoora, kakaknya Eunha. Meski adiknya sudah meninggal tapi Yoora tetap datang ke rumah sakit untuk memberikan makanan."             "Sangat baik," komentar San, tanpa sadar. "Aku sudah melihatnya kemarin. Kemarin lagi, juga kemarinnya lagi. Sangat baik." (*) "Jaga kesehatanmu, Jungkook-ah. Pulihlah dengan cepat. Jangan membuat semua orang semakin khawatir. ARMY mencintaimu."                         Jungkook tahu coretan tangan siapa ini, yang tidak mengerti mengapa San harus menulis sebuah kertas untuk mengingatkan Jungkook tentang keadaannya.             Aku tahu ARMY mencintaiku. Lalu bagaimana denganmu?             Sepulang konser, Jungkook langsung tidur dan berpikir bahwa San  mungkin kembali duluan ke kamar hotel. Jungkook tidak tahu bahwa ternyata San masuk UGD. Dan yang lebih parahnya, gadis itu pulang ke Korea.             "Apa kau khawatir pada San, Jeyke?" Seokjun menepuk bahu si maknae.             "Tidak," jawabnya, "dia selalu kambuh."             "Wow... wow...," Seokjun terlalu bereaksi berlebihan. "Berarti kau juga tahu bahwa dia akan keluar dari dorm?"    "Keluar?"              "Kukira kau sudah tahu. San akan pindah ke apartemennya lagi. Tidak tahu kenapa."                 Bukan urusanku. Jungkook ingin menjawab seperti itu tapi rasa penasarannya selalu datang. Dia jadi mengira apa karena kejadian beberapa waktu lalu di antara mereka membuat San semakin berpikir bahwa gadis itu sudah terlepas dari Jungkook, sepenuhnya? San senang? San bisa hidup sendirian?             Karena tinggal bersama-sama di dorm adalah keinginan Jungkook. Memang semuanya selalu keinginan Jungkook.             "Noona, kau bisa tinggal di sini." Dengan sorot mata penuh harap, Jungkook meminta hal itu. "Aku ingin kau tinggal bersamaku dan hyungs."             Kala itu San ingin berdebat, tapi mungkin tidak tega sehingga dia mengiyakan keinginan Jungkook untuk tinggal di dorm.             "Kookie akan membuat Sanayya-noona menjadi milik Kookie." Jungkook masih ingat dia berbicara seperti itu pada San. Hanya pada San.             "Kookie bisa melakukannya?" Dan San hanya tertawa. Mungkin San bepikir, itu hanya kata-kata bualan tidak masuk akal dari seorang maknae TTS.             "Noona mau berkencan dengan Kookie? Jadi pacar Kookie ya, noona? Kookie akan menjadi pacar yang baik."             San tertawa lagi, dia gemas. Super gemas. "Aku mau. Ayo berkencan, kelinci.”             Mungkin saat itu Jungkook sangat senang, tapi sekarang,dia ingin mendengus. "Persetan denganmu."             "Hei, Jeyke!" Seokjun langsung melirik Jungkook yang baru saja mengumpat. "Aku salah apa?"             "Maaf, bukan untuk Hyung." Jungkook langsung meralat. Baru sadar bahwa dia malah pergi ke masa lalu. Kisah usang yang seharusnya bisa ia lupakan, membuatnya bergerak maju. Bukan malah terjebak dan membuatnya semakin terluka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD