CHAPTER 11

2598 Words
"Juliet, aku mencintaimu!" Tiba-tiba saja Jungkook berbicara seperti itu kepada San. Semenjak mereka menonton film semalam, Jungkook tak henti-hentinya mengucapkan kalimat film pada semua member TTS. Kurang kerjaan.             "Berhentilah, aku pusing. Sejak pagi kau begitu berisik." San menutup telinganya dengan kedua tangan, sebuah bentuk protes pada apa yang dilakukan Jungkook.             "Baiklah aku ganti. Rose, aku mencintaimu!" Jungkook malah semakin menjadi-jadi. Demam film yang tak berkesudahan.             Joonie terkekeh melihat adiknya. "Kau salah makan atau apa, Kookie? Kau ingin jadi aktor film?”             "Benturkan saja kepalanya pada tembok," ujar San, terdengar serius.             Jungkook berdecak, "Kau ini kekanak-kanakan sekali, Noona. Tak bisa diajak bercanda."             "Aku?" Jari telunjuk langsung diarahkan olen San kepada dadanya sendiri dan Jungkook mengangguk enteng. "Kalau aku kekanak-kanakan, kau apa? Bayi?!"             "Aku bayi yang tampan!"              “Bayi Medusa!”             Joonie dengan segera memisahkan dua orang yang akan terlibat cek-cok jika dibiarkan saling mendumel. "Aku akan pergi ke kamar dan kalian berdua jangan bertengkar ya, sudah malam."             "Hyung, aku membuat melodi baru. Bisa kau cek?" Jungkook menahan langkah Joonie.             "Oke.”             Jungkook mengucapkan terima kasih dan tersadar bahwa San tidak ada, Joonie juga pergi ke kamarnya. Saat Jungkook ingin melangkah, dia melihat beberapa tetes darah di lantai dorm dan tanpa berpikir Jungkook langsung berlari menuju kamar San. Feeling-nya terlalu kuat bahwa darah ini memang milik San.             Pintu kamar mandi dari gadis itu terbuka dan lampunya menyala. Jungkook melangkah ke sana, menemukan San yang berdiri di wastafel, menundukkan kepala karena sibuk mengeluarkan seluruh isi di dalam perutnya. Muntah.             "Aku pegangi." Jungkook dengan sigap berdiri di belakang San, membawa rambut milik gadis itu ke belakang agar tak terkena muntahan.             "Ah, aku tidak pa-pa—“ Namun, semakin sering San berkata seperti itu, semakin banyak juga mual tanpa henti yang ia rasa. Kepalanya seperti berputar. "Aku lupa meminum obatku," ujarnya dengan suara parau. Tak ada waktu berbohong atau memberi alasan, Jungkook akan mengetahuinya. Pemuda itu tidak bodoh.             "Dan kau tidak makan malam. Iya, kan?" Bukan sebuah pertanyaan, Jungkook mendesak. Dia sudah tahu jawabannya bahkan sebelum San mengangguk."Makanlah beberapa suap lalu minum obatmu, Sanayya."             "Obat-obat itu tidak menyembuhkanku, Jungkook. Hanya membuatku tenang dan merasa lebih baik dalam sesaat. Sisanya, aku akan seperti ini terus." Dokter Cheol memberikan resep baru karena obat San yang lama terus membuatnya mual. Tapi lihat, tubuh San kembali bereaksi menolak zat apa pun.     Hanya beberapa hari bertahan—membuat San berpikir obat-obat itu cocok—dan sistem kekebalan tubuhnya kalah lagi.             "Setidaknya kau akan tetap baik-baik saja jika teratur minum obat." Suara Jungkook rendah saat mengatakan itu.             San tahu tidak ada yang baik-baik saja. Mereka berdua tahu hal itu.             San mengucapkan terima kasih pada Jungkook karena sudah mau memegangi rambutnya. Gadis itu meninggalkan kamar mandi, menuju meja di sebelah tempat tidurnya. Ada obat yang harus diminum.             "Rasanya aku pusing sekali." San duduk di tepian kasur, kepalanya menunduk untuk menatap beberapa obat berupa strip."Tanganku bergetar," amat sangat. "Aku kesulitan menyobek strip. Kookie, aku—“             "Biar aku saja." Jungkook mengambil alih strip-strip sialan itu dari tangan San yang bergetar hebat dan juga dingin. Menyobeknya cepat, dengan kedua iris mata yang terus menatap San. Gadis itu terlalu pucat, menyedihkan, matanya berair—menangis—dan beberapa kali San menggigit bibir bawahnya sendiri. Entah menahan isakan atau rasa sakit.             "Kau akan baik-baik saja." Jungkook ingin berjanji, tapi pada siapa ia meminta harapannya diwujudkan? Tuhan seharusnya bisa mendengar itu. "San?" panggilnya.             "Aku baik-baik saja," ujar San setelah meminum obat-obatnya, dibantu oleh Jungkook. Meski mereka kesulitan.             "Iya." Jungkook mengangguk. Kini dirinya merendahkan badan, berjongkok dan kedua tangannya berada di pangkuan San, membukus jari jemari yang perlahan-lahan sudah tak gemetar. "Aku mungkin akan gila jika kau tidak baik-baik saja, Sanayya. Tetaplah hidup."   (*)               Mengapa San memilih tinggal di Korea Selatan meski saat menyiapkan berkas-berkas pengajuan sangat sulit? Mengapa San lebih memilih bertahan di negeri orang meski tak punya sanak-saudara yang bisa dimintai tolong? Mengapa San pergi, nyaris mengorbankan seluruh yang ia punya di Indonesia untuk tinggal di Korea?             Karena gadis itu tak mau merepotkan siapa pun. Karena dia tak ingin bergantung pada siapa pun. San merasa menjadi beban untuk orang lain karena dia sakit. Dikasihani adalah hal terakhir yang ingin ia dapatkan dari orang lain. San paling tidak suka jika mereka memandangnya lemah meski San memang tidak sekuat kitu.             Ada kalanya pemikiran bodoh tentang bunuh diri hinggap di kepala San. Tapi dia tak ingin membusuk di neraka. Setidaknya, jika San memang harus meninggal karena penyakitnya—ada harapan mungkin saja Tuhan berbaik hati dan membiarkannya mencicipi surga setelah dosa-dosanya dibersihkan.             Dan kini San tidak tahu apa yang dilakukan oleh Kim Jungkook. Apakah San sangat menyedihkan sehingga pemuda itu merasa kasihan terus-menerus padanya?             Jungkook terlelap pulas di kursi pojok ruang kamar San dengan kedua tangan yang bersidekap di d**a. Sekarang pukul 2 pagi, seharusnya Jungkook tidak repot-repot menunggu San yang ia sendiri yakini tertidur—atau mungkin pingsan—setelah minum obat. Sangat lemah dan merepotkan.             Badannya sudah tidak semengerikan beberapa jam yang lalu. San tidak lagi merasa gemetar atau pening. Itu bagus, karena San akan membenci dirinya sendiri jika terus-terusan kambuh.             Semakin hari, penyakitnya semakin terasa begitu superior. Tanpa perlu benturan ringan maupun berat, atau kelelahan ekstra, kini San bisa mimisan. Sangat mudah.             Tanda-tanda umurnya semakin sedikit, mungkin? Baiklah, San paham.             San turun dari ranjang, bergerak untuk menghampiri Jungkook. Pemuda itu harus pindah ke kamarnya atau badan Jungkook akan pegal-pegal ketika dia bangun di pagi hari.             Alih-alih membangunkan Jungkook, gadis itu hanya berdiri diam. Menatap yang seharusnya tak ia tatap. Membiarkan yang seharusnya tak ia biarkan.             "Terima kasih, Kookie." Ada satu alasan di mana San senang memanggil Jungkook seperti itu. Saat-saat terasa cukup dekat atau hanya sengaja ingin meledek si Golden Maknae.             Sekarang San tidak tahu alasan mana yang dia pakai. Atau mengapa selama ini harus punya alasan saat melakukannya pada Kim Jungkook? Yang pasti, San hanya punya satu kalimat yang tidak bisa dia ucapkan jika Jungkook sedang bangun apalagi ketika menatapnya;             "Kookie... aku minta maaf. Karena tidak bisa berjanji akan terus hidup." (*)               Konser pembuka LOVE YOURSELF TOUR  di Korea malam ini ditutup dengan sempurna, sekalian merayakan ulang tahun Jungkook yang akan datang.             Sebagai seorang leader dan juga orang yang selalu melihat Kim Jungkook tidak bisa menyiapkan barang-barangnya sendiri, Kim Joonie merasa aneh menemukan Jungkook sibuk mengemasi hoodie-hoodie hitamnya ke dalam tas yang ia ketahui diberikan oleh Jimmy sebagai hadiah ulang tahun untuk Jungkook. Si Golden Maknae sesekali menggaruk kepalanya, mungkin memikirkan apa lagi yang harus ia bawa.             Joonie mengetuk pintu yang terbuka setengah, pintu ruangan khusus Jungkook menyimpan baju-bajunya. "Ke mana asisten pribadimu, Jungkook-ah?"             "Siapa, hyung?" Jungkook hanya melirik Joonie sebentar, lalu kembali merapikan baju. Mereka akan konser di Amerika, berlanjut ke Eropa dan belahan dunia lainnya.             "Sanayya,” kata Joonie.             "Dia bukan asisten pribadiku, hyungnim. Dia mengurus semua member, meski dikhususkan mengawasi maknae line."             Alis Joonie naik sebelah, karena kenyataannya tiga tahun ini gadis bernama Sanayya lebih pantas disebut asisten Jungkook daripada manajer TTS. "Biasanya kau mengemas bersama San. Hyung hanya heran saja."             "Hoobi-hyung berkata aku tidak boleh terlalu bergantung pada San," jawab Jungkook sesuai kenyataan. Bisa dikatakan Jungkook tidak mau membuat San capek karena sekarang gadis itu gampang kambuh. Jungkook membutuhkan San selama tour. Gadis itu harus berada di sisinya.             "Ya, itu benar sekali." Joonie mengangguk, merasa bangga dengan pikiran Jungkook. Ah, sebenarnya Joonie pergi menemui Jungkook bukan hanya untuk melihat pemuda itu berkemas, melainkan ada satu hal yang perlu ia sampaikan.      Tapi, dilihat dari pengertian Jungkook pada San, sepertinya pemuda itu tahu bahwa San mungkin akan resign secepatnya dari kontrak yang sudah disetujui.             San sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya tadi pagi pada BigHit. (*)   Sejun Oppa : Bang PD-nim akan melepaskan kontrakmu setelah LY tour selesai. Sanayya : Berdoalah aku masih hidup sampai encore tour digelar. Sejun Oppa : Oppa akan menghukummu karena berbicara sembarangan. Kau tidak akan Oppa traktir steak sampai 3 bulan!               Gadis itu hanya membalas pesan Sejun dengan emot tertawa. San harus berterima kasih kepada orang kreatif yang menciptakan berbagai bentuk emot pada fitur ponsel karena manusia yang sedang sedih, bimbang, bahkan marah tetap bisa berbohong dengan mengirimkan emot-emot itu.             Malam ini suasana hati San cukup baik, atau bisa dikatakan baik sekali karena dia akan menemui seseorang. JanJunya makan steak dengan Park Hoonie membuat euphoria dalam hatinya terasa berdetum-detum. Nyaris membuatnya tidak bisa menahan senyum.             San menaiki bus menuju restoran private yang menjadi tempatnya bertemu Hoonie. Sepanjang perjalanan gadis itu tak bisa berhenti memainkan jarinya, tanda jika ia sedang gugup. Khusus untuk malam ini San mengenakan kaos pink panjang berenda di ujung tangan, rok berwarna cream—meski di bawah lutut—-namun ini adalah style feminim pertamanya.             Sebelum pergi bahkan Jimmy memberikan saran kepada San dalam berpakaian dan Hoobi menyuruh gadis itu memakai riasan agar tambah manis. Juga menggerai rambutnya, memakai wedges hasil pinjam salah satu coordi noona.             San sudah turun dari bus, dengan sedikit hati-hati—karena tak pernah pakai wedges—San membawa langkahnya memasuki restoran. Bernuansa sangat elegant dan hangat. Gadis itu menghubungi Hoonie, memberi kabar bahwa ia sudah berada di resto. Hoonie bertanya apakah Vantae ikut dan dengan menyesal San menjawab bahwa Vantae punya acara lain.             Sepertinya Hoonie sebentar lagi sampai atau mungkin sudah berada di pintu resto sehingga San semakin gugup dan perutnya melilit karena menahan rasa senang.             San yakin Hoonie akan datang sebentar lagi tapi sampai dia menunggu dua jam lamanya, bukan sosok Park Hoonie yang datang dengan senyum manisnya, melainkan sebuah pesan singkat;   Hoonie : Noona, aku tidak bisa menemuimu. Maaf. Selamat malam.   Ya, seharusnya sejak awal San sudah tahu bahwa tidak akan pernah ada yang benar-benar mau menemuinya. Hoonie mungkin hanya ingin bertemu dengan Kim vantae saja dan San tidak tahu diri karena berpikir terlalu jauh. Sanayya : Tidak apa-apa, Hoonie-ssi. Kau juga tidak perlu repot mengirim pesan padaku. Kau tidak akan menemuiku lagi. Selamat tinggal. (*)               Jungkook merasa badannya sangat nyaman setelah berendam pada bath up air hangat dan kini ia siap menjahili Seokjun yang sepertinya sedang bermain game. Jungkook masuk ke kamar member tertua tanpa mengetuk dan menemukan Seokjun tampak asyik berbicara sambil menggunakan headseat. Tangan pemuda itu sibuk di atas keyboard, menikmati free time sebelum sibuk konser di luar negeri. Seokjun bilang sedang main game dengan squad-nya, secara lengkap.             Saat Seokjun heboh berbicara, Jungkook mendengar bahwa Seokjun memanggil nama Hoonie. Jungkook ingat sesuatu, namun tidak sepenuhnya sehingga saat mendengar nama Hoonie ia perlu menapsirkan sejenak. Sampai Jungkook tersadar tentang pembicaraan San saat opening tour beberapa hari lalu. Seharusnya Hoonie menemui San malam ini, bukan?             "Hyung, selamat main game!" Jungkook menepuk bahu Seokjun, lantas keluar dari kamar kakaknya dan berlari menuju kamar San namun ruangan itu kosong.             "Kau mencari San? Dia pergi kencan dengan Hoonie," ujar Hoobi ketika melihat Jungkook kebingungan.             "San pergi?" ulang Jungkook, tidak mau salah dengar.             Hoobi mengangguk. "Dia berdandan, lho. Wah, sepertinya San benar-benar menyukai Park Ji—eh, Jungkook, kau mau ke mana?!"             Jungkook tidak memperdulikan panggilan Hoobi karena ia langsung pergi ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menelepon San namun gadis itu tak mengangkat.             "RM-hyung, aku akan pergi sebentar memakai mobil!" teriak Jungkook setelah ia mengambil kunci yang dikhususkan untuk TTS namun tentu saja mobil itu tidak bisa dipakai sembarangan tanpa persetujuan manajer mereka, alias San. Namun kali ini yang berhak memberi izin bahkan tidak ada di dorm.             Joonie kalah cepat untuk mencegah atau menanyakan ke mana Jungkook akan pergi karena pemuda itu sudah menghilang. Ada untungnya Jungkook sudah bisa menyetir karena dalam saat-saat terdesak seperti ini tidak perlu bantuan orang lain.             Sambil menyetir menggunakan headseat bluetooth, Jungkook terus mencoba menghubungi San. “Kau di mana?!" tanyanya langsung setelah panggilan tersambung.             "Kau membutuhkan sesuatu? Aku sedang minum soju di dekat dorm, kok. Sebentar lagi pulang."             "Share lokasi, aku akan menjemputmu. Jangan berdebat, cepat lakukan!"             "Baik, Tuan. Tapi, kau tak perlu menjemputku, aku bukan bayi." San mendengus dari sana, mengirimkan lokasi tempatnya berada dan Jungkook tahu itu di mana. Memang tidak jauh dari dorm namun mengingat ini sudah jam sebelas malam dan Jungkook tahu bahwa San sendirian—gadis itu gagal menemui Hoonie, atau terserah sebutannya apa—Jungkook tidak mungkin membiarkan San berkeliaran di saat gadis itu tengah menenggak soju, entah berapa botol.             Jungkook memarkirkan mobilnya di depan sebuah resto kecil yang tidak ramai dan sepertinya dia tidak perlu takut ada yang mengenali karena jalanan ini terbilang sepi. Saat Jungkook masuk ke resto, tidak ada San di sana.             "Tadi memang ada seorang wanita dengan wajah seperti bukan orang Korea tapi bahasa Koreanya bagus," ujar seorang nenek pemilik resto. Sudah dipastikan, itu Sanayya.             "Dia membeli dua botol soju, menghabiskannya sendirian lalu menangis. Dia membayarku sangat banyak. Aku bahkan tidak diizinkan memberikan kembalian," tambah pemilik resto.             Jungkook mengucapkan terima kasih dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh si nenek. San baru pergi beberapa menit lalu pasti gadis itu belum jauh.             San tidak mengangkat teleponnya, membuat Jungkook berpikir yang tidak-tidak karena member yang ada di dorm bilang San belum pulang. Jungkook menyelusuri jalanan sepi, setiap bangunan, membawa fokusnya ke mana saja berharap bisa menemukan San.             Dia hampir menelepon San lagi jika saja Jungkook tidak menemukan sesosok gadis yang terkulai lemas duduk di bangku halte. San menunduk, meremas ujung rok dan bahu rapuh itu bergetar.             Jungkook ingin berlari ke arah gadis itu, memarahinya karena tidak pulang—malah membeli soju—namun Jungkook mengurungkan niatnya.             Mungkin saja, San akan malu jika Jungkook menemukannya dalam keadaan seperti ini. San paling tidak suka terlihat lemah dan menyedihkan.             Jungkook menghela napas, memerhatikan San dari jarak yang lumayan jauh namun masih tetap bisa melihat gadis itu dengan jelas. San bangkit dari duduknya ketika bus terakhir datang, gadis itu mengambil tepat duduk paling belakang dan mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Satu pesan masuk untuk Jungkook.   Sanayya : Aku pulang naik bus, Tuan Maknae. Jangan menjemputku, ya. Aku baik-baik saja. Bus itu sudah berjalan menjauh dan Jungkook mengetik balasan;   Jungkook : Bagus jika kau baik-baik saja. Aku memang tidak mau repot menjemputmu, Noona. Kembalilah dengan selamat.   (*)               Pagi ini dorm sepi. Setelah sarapan, semua member sibuk dengan urusan masing-masing karena beberapa hari lagi akan terbang ke luar negeri, menyapa ARMY di seluruh dunia. Beberapa member bahkan pergi menemui keluarganya, hanya Jungkook yang berada di dorm.             Pemuda itu mendelik saat menemukan manajernya keluar dari kamar mengenakan topi. Sebenarnya San selalu melakukan itu tapi kali ini tampak sangat janggal. Seminggu setelah kejadian San gagal makan steak dengan Hoonie, selama itu pula Jungkook tidak membicarakannya. Dia tidak mau dianggap serba ingin tahu meski super penasaran mengapa Hoonie tidak datang menemui San yang pada malam itu bahkan berpakaian sangat rapi—cantik.             "Berhenti di sana," tegur Jungkook, membuat San langsung berbalik badan untuk menatap Jungkook. Gadis itu bertanya apa Jungkook membutuhkan sesuatu dan sang maknae hanya berjalan mendekat.             "San...." Tangan kanan Jungkook terangkat ke atas, dengan perlahan ia melepaskan topi hitam yang dipakai San. Gadis ini memotong rambutnya.             "Aku tidak suka rambutku memanjang, kau tahu." San langsung menjelaskan sebelum Jungkook bertanya.             "Yang kemarin tidak panjang, kurasa." Jungkook masih ingat bahwa rambut San bahkan hanya di atas d**a. Kini gadis itu memotongnya pendek, di atas bahu.             "Aku tidak mau repot memanjangkan rambutku." San menjawab tanpa menatap Jungkook, ia mengambil topi yang diambil oleh pemuda itu. "Karena aku tidak punya banyak waktu untuk merawatnya."             Jungkook tahu arah pembicaraan ini akan pergi ke mana.             "Tidak masalah. Kau masih San dengan gaya rambut sebahu." Jungkook menganggukkan kepala. "Bahkan jika kau mengubah warna rambut atau bahkan tak punya sehelai rambut lagi, aku akan tetap mengenalimu."                 San yang semula memasang ekspresi dengan sorot jengah, kini dia berdeham kecil dan menepuk -nepuk bahu pemuda itu. Katanya, "Tentu kau akan ingat aku, Kim. Aku kan manajer terbaik."             "Iya, kau yang terbaik." Sekali lagi Jungkook mengangguk. Mengambil tangan San yang berada pada bahunya. Terasa sangat dingin, mengapa sangat dingin? San seharusnya berbicara pada Jungkook tentang kondisinya ini. Spontanitas San berlaku pada apa saja tapi mengapa tidak kepada Jungkook?             "Sanayya, sejak dulu, selalu kau."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD