CHAPTER 10

2517 Words
Beberapa jam yang lalu Jungkook mendapat telepon lagi dari Seokjun, member tertua TTS itu mengatakan bahwa San masuk ICU karena pendarahan hebat tapi kini gadis itu sudah kembali ke ruang rawat.             Jungkook tidak panik karena setelah gadis itu sadar, San mengirimkannya pesan bahwa gadis itu baik-baik saja. San mengabari Jungkook—seperti janJunya.             "Jungkook..." Itu suara Vantae yang berjalan bersama sang adik di sebelahnya. Mereka berganti untuk menjenguk San setelah hyung yang lain pulang. "Maaf karena aku baru tahu bahwa San masuk ICU."             "Tak apa, hyung. San sudah kembali ke ruang rawatnya." Jungkook menjawab tanpa menatap Vantae, melanjutkan langkah menuju kamar rawat San dan mereka berdua tak sengaja bertemu dengan dokter Cheol.             "Apa Sejun datang hari ini?" Dokter Cheol bertanya setelah menyapa dua pemuda yang ia ketahui sebagai member TTS—orang-orang yang pasiennya kenali. Menanyakan Sejun karena lelaki itu adalah wali dari Sanayya.             "Sepertinya manajer Sejun tidak datang. Apa ada hal serius?" tanya Jungkook.             Cheol semula tampak ragu, namun akhirnya dia menjelaskan. "Sanayya tidak meminum obat-obatnya—obat yang saya berikan. Pendarahan yang terjadi kali ini membuatnya sampai masuk ICU karena San sengaja melakukannya.”             "Apa dokter serius?" tanya Jungkook, lagi. Tidak mungkin, bukan? Terakhir Jungkook menjenguk San kemarin malam, dia sudah memastikan dan bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa San meminum obatnya.             "Hasil tes darah membuktikan bahwa San tidak meminum obatnya, Jungkook-ssi." Cheol yakin dengan ucapannya.             "Jungkook," Vantae menyentuh bahu adiknya ketika melihat Jungkook mengepalkan tangan. "Kau tenang dulu. Mungkin San lupa minum obat?"             "Aku selalu ada saat dia minum obat, hyung. Dia membohongi aku." Jungkook tidak mengerti mengapa San melakukannya. "Dia berani tidak menelan obatnya, bahkan di depan aku, Hyung?"             Gadis itu masih sama saja. Selalu egois. "Aku tidak suka saat dia berbohong, V-hyung. Aku marah."             "Sekarang yang bisa saya lakukan hanya memberikan Sanayya obat lewat infus untuk menahan pendarahan lain yang mungkin terjadi," ujar Cheol, perlahan. Sebelum pamit dia meneruskan, "Saya melakukan yang terbaik untuk San. Tapi dokter tidak bisa menolong pasien jika pasiennya sendiri tidak mau sembuh, Jungkook-ssi.”   (*)               Siang tadi Vantae datang sendiri menjenguknya, tersenyum ramah membawa beberapa buah. San ingin bertanya ke mana Jungkook—tidak berharap dijenguk—hanya aneh saja karena pemuda itu berhenti sibuk menanyakan kabar San. Mungkin Jungkook kembali bersama Lizzy lalu menghabiskan waktu dengan kekasihnya itu? Jika memang iya, baguslah. Sangat bagus.             "Apa Anda masih mual?" Dokter Cheol datang untuk memeriksa San yang tampak sudah membaik setelah membuat geger karena pendarahan hebat semalam.             "Aku tidak meminum obat-obat sialan itu karena selalu muntah, Dokter. Aku ingin sembuh, kok." San menjawab dengan nada datar. Dia selalu mencoba menelan obat apa pun yang diberikan dokter Cheol tapi ujung-ujungnya selalu muntah. Maka dari itu San berhenti meminum obat. Salahnya, dia malah tak mengadu.             Cheol sudah berhenti memberikan obat oral untuk San karena ketidakcocokan sang pasien. Kini San bertahan dari obat yang Cheol suntikkan pada infus. Meski rasanya masih tidak enak, setidaknya San tidak perlu muntah-muntah lagi.             "Apa aku boleh keluar untuk mencari angin? Aku muak berada di sini."             Cheol menatap San yang terlihat begitu bosan, seharian hanya ditemani TV. Sang dokter itu meminta salah satu suster membawa kursi roda dan menemani San untuk berjalan-jalan sebentar.             "Aku bisa sendiri sebenarnya. Maaf merepotkan," ujar San pada suster yang mendorong kursi roda. Cairan infus milik San digantungkan pada kaitan yang berada di sebelah kiri kursi. Suster hanya tersenyum, melakukan tugasnya untuk mengajak San jalan-jalan. Melewati lorong rumah sakit yang tampak sepi karena sekarang bukan waktunya jam besuk.             Sebuah suara, lebih tepatnya nyanyian dari seorang gadis kecil terdengar di telinga San. Yang membuatnya tertarik adalah karena lagu yang dinyanyikan adalah lagu milik TTS, berjudul Spring Day.             "Apa aku boleh masuk ke ruangan ini?" San menunjuk pintu yang terbuka sedikit, menampilkan seorang pasien yang duduk di atas brankar sambil bernyanyi riang. Suster membuka pintu ruangan itu, berbincang pada salah satu suster yang berada di sana lalu memperbolehkan San untuk masuk.             San tidak tahu mengapa ia ingin berkunjung, mungkin hanya butuh hiburan dan menemukan seorang gadis kecil bernyanyi membuatnya sedikit tertarik? San mengucapkan halo dan meminta maaf jika tidak sopan karena berani masuk ke ruang rawat orang yang tidak ia kenal.              "Annyeong, unnie!” sapa balik gadis kecil itu dengan bahasa informal. Matanya tampak sayu, khas orang sakit tapi suaranya riang. San berpikir mungkin dia sudah baikan dan akan bisa segera pulang karena sudah kuat bernyanyi sampai suaranya terdengar keluar.             "Suaramu bagus." San memuji, sesuai kenyataan. Menanyakan apakah gadis kecil itu suka TTS dan dia menjawab sangat suka.             "Namaku Kim Eunha. Unnie siapa?" Dia mengenalkan diri.             "Aku Sanayya. Salam kenal, Eunha."             "Margamu?"             "Aku bukan dari Korea jadi aku tidak punya marga."             "Wah, tapi kau seperti penduduk lokal. Bahasa Koreamu juga bagus dan lancar, unnie!”             Mereka berdua saling melemparkan senyum dan berjabat tangan secara perlahan. Eunha berkata bahwa bias-nya adalah Vantae. "Selain tampan, aku suka Vantae-oppa karena suaranya bagus! Dia juga orangnya lucu dan baik hati!"             "Apa kau mempunyai banyak foto Vantae di ponselmu?" Meski San yakin Eunha punya ratusan atau bahkan ribuan, ia tetap ingin bertanya.             Gadis kecil itu mengangguk, mengambil ponsel pintarnya yang berada di bawah bantal lalu dengan serius menklik galeri untuk menunjukan foto-foto Vantae. "V-oppa sangat tampan, aku setuju  dia berkencan dengan unnie-ku. Sanayya-unnie jangan bilang-bilang ya, ini rahasia kita sesama ARMY. Vantae-oppa menyukai unnie-ku, lho! Namanya Yoora!"      Eunha terus berceloteh, terdengar tak masuk akal di telinga San. Bahkan berkata punya nomor Vantae.             Eunha bisa melihat tatapan San yang tidak percaya sehingga ia menunjukkan layar ponselnya pada San. "Aku tidak berbohong.”             Sederet nomor berada di hadapan San, ia menghapalkan lima digit terakhir lalu tersenyum pada Eunha. Mengusap pelan tangan gadis itu, berkata bahwa dia percaya dan ikut senang. Eunha mengucapkan terima kasih.             San pamit pada Eunha, ia berjanji akan datang lagi jika ada waktu. Sebenarnya San ingin cepat-cepat kembali ke ruangannya untuk melihat ponsel. Setelah ia bisa memegang ponselnya dan mencari kontak Vantae, San sampai harus menahan napas mengetahui sebuah kenyataan.             Karena ucapan gadis kecil bernama Kim Eunha itu benar adanya. Dia... memiliki nomor pribadi Vantae.   (*)               Jungkook baru datang, jam sepuluh malam. Bukankah sebaiknya tidak usah menjenguk saja?             "Apa persiapan konser berjalan baik?" San tetap ingin memastikan semua lancar.             "Pulihkan saja badanmu dan berhenti berbohong," ujar Jungkook tanpa menatap San. "Kau tidak meminum obatmu, kan? Pintar."             Aku mual, Jungkook. Aku selalu muntah. "Aku hanya tidak ingin meminumnya." San membalas cuek.             "Apa kau tidak mau sembuh, San?”             Tentu aku ingin sembuh, Jungkook. "Aku tidak tahu."             "Lalu apa yang kau tahu? Apa yang kau mau, San?"             "Aku tidak tahu, Jungkook."             Untuk saat ini, tatapan Jungkook sangat terasa asing. San tidak nyaman.             "Apa kau tidak punya jawaban lain? Selalu itu kalimatmu sejak dulu. Aku bosan." Jungkook secara sadar mendengus kecil.             "Jika bosan, berhentilah bertanya," kata San, dengan nada rendah. "Aku tidak pernah memintamu melakukannya."             "Karena aku yang mau."             San mendesah, ingin istirahat dan kedatangan Jungkook malam ini memperburuk mood-nya. Bisakah mereka berdua mengobrol dengan nada biasa saja dan tak perlu sinis-sinisan seperti ini?             "Aku hanya ingin kau sehat." Jungkook kembali dengan nada bicaranya yang biasa.             "Akan aku lakukan, Kim. Aku pasti sehat.”             "Aku tidak bisa sendiri."             "Maka kau harus terbiasa,” balas San.             "Aku tidak mau."             San membawa tatapannya pada manik cokelat Jungkook yang begitu teduh. "Lalu apa yang kau mau, Kim Jungkook?"             Jungkook sangat tenang, seolah bisa mengontrol semuanya termasuk dengan mengatakan kalimat, "Sejak dulu kau tahu apa yang aku mau.”             “....”             "San, cepatlah sembuh dan kembali padaku."   (*)               Lima hari kemudian San sudah menjadi manajer TTS kembali. Ia sendiri yang tidak mau mengambil waktu pemulihan lebih lama karena opening tour sudah di depan mata. San juga berjanji sebisa mungkin tak akan kambuh atau masuk rumah sakit lagi. Menyebalkan.             Tangannya masih terasa sedikit kebas karena hampir seminggu berkencan dengan jarum infus. Juga kesulitan menyentuh layar tablet, pegal saat menulis hal penting di catatan kecilnya.             Atau mungkin keseimbangan tubuhnya memang semakin melemah setiap harinya? Berarti manajer Sejun harus benar-benar segera mencari pengganti San. Lebih cepat lebih baik.             San berada di gedung agensi untuk mendampingi semua member yang berlatih keras setiap hari. Mengatur jadwal makan mereka agar tetap terkontrol meski hanya punya waktu istirahat yang sedikit. Hari-hari menuju konser memang membuat semua member dan tim sibuk. Belum lagi konser kali ini akan diadakan di berbagai belahan dunia, latihan ekstra adalah wajib. Mereka dituntut sempurna karena kesalahan sekecil apa pun tak boleh terjadi. TTS sendiri mengibaratkan kesalahan adalah sesuatu yang akan membuat ARMY kecewa. Mereka tak mau melakukannya.             "Lima belas menit lagi kalian istirahat untuk makan siang." San bersuara di sela-sela ketujuh member berlatih koreografi lagu Silver Spoon.             "Kau sendiri mau ke mana?" Jimmy bertanya.             "Pergi mengecek pakaian tour milik Yang Mulia Kim Jungkook."             Jungkook berdecak mendengarnya. "Berlebihan sekali. Aku kan hanya minta tolong, Sanayya-noona." Evil maknae itu sengaja memanggil San dengan embel-embel hormat padahal niatnya adalah protes.             "Minta tolong dan memaksa mempunyai versi yang sama untukmu, Jeyke!" Seokjun menggoda Jungkook dengan tawanya yang khas. Semua hal di mata Seokjun adalah lucu.                 San hanya menunjuk letak makan siang para member menggunakan dagunya dan sedikit mengancam jika mereka sampai berani telat makan. Ia bergegas pergi menemui salah satu coordi yang biasa menyiapkan baju Jungkook—hanya sejauh mengecek tidak ada yang koyak dan sebagainya—karena ujung-ujungnya kostum itu akan mendapatlan kendali penuh oleh San.             Saat San akan masuk ke sebuah ruangan, matanya terfokus pada seorang gadis asing yang tengah menatap foto-foto TTS di dinding—yang membuat San tertarik adalah jaket yang digunakan gadis itu. Mirip seperti punya Jimmy dan setahu San harga jaket aslinya sangat mahal. Mungkin sekarang banyak versi KW.             "Ah, Sanayya-ssi, kau kemari untuk mengecek kostum Jungkook?" Ketua coordi noona menyapa. "Sudah clear semua dan sesuai permintaanmu, Jungkook tidak akan ditangani oleh coordi baru."             San masuk ruangan untuk benar-benar mengecek pakaian Jungkook, memastikan semuanya sempurna. Termasuk dengan pernak-pernik pendukung.             Sebelum pamit, San samar-samar mendengar ketua coordi memanggil seseorang, "Kau benar-benar sudah menikah, Aera-ssi?" pada gadis yang tadi San temui sedang menatap foto TTS.             Staf baru BigHit untuk konser kali ini? San mengerti sekarang kenapa ada orang asing berkeliaran di kantor agensi.             Ponsel San bergetar. Lalu dia mendapat jackpot karena Hoonie mengajaknya makan steak bersama.   (*)               Suara ketukkan pada pintu kamar Vantae datang dari San. Gadis itu menunggu beberapa saat agar Vantae mau membukakan pintu untuknya. Minggu depan jadwal TTS kosong, masa tenang sebelum konser dan San ingin mengajak Vantae bertemu Hoonie. San sudah membuat janji karena Hoonie juga ingin Vantae ikut.             "Oh, San? Kau perlu apa?" Vantae tersenyum, kedua matanya hampir tenggelam. Pemuda tampan itu mengenakan celana hitam panjang longgar dan sebuah kaus tipis berwarna putih. "Kau mau masuk? Ada Kookie di dalam."             "Kalian sedang apa?" tanya San dengan alis bertaut.             "Hanya main dengan Yeontan dan juga makan ramen.”             Jungkook melangkah menuju pintu sambil membawa Yeontan dalam pelukannya. Di sudut bibir pemuda itu ada sisa kuah, sudah dipastikan mereka benar-benar makan ramen.              "Kau ada acara tidak minggu depan, Tae? Mau pergi bersamaku?" tanya San langsung, mencoba mengabaikan keberadaan Jungkook.             Jungkook mengintrupsi, "Kau mau pergi ke mana? Mengapa hanya V-hyung yang diajak?"             "Bagaimana, Tae?" San enggan bicara pada Jungkook, fokus menunggu jawaban Vantae namun pemuda itu langsung meminta maaf karena ia berencana pergi makan bersama teman-temannya sewaktu sekolah sebelum sibuk tour.             "Pastinya Hoonie sedih kau tidak bisa ikut, tapi tak apa. Lain kali." San menepuk bahu Vantae, berniat pergi tapi lengannya ditarik Jungkook. "Apa, sih, Kim?" tanyanya.             "Kau mau pergi dengan Hoonie? Bagaimana kalau ada media yang melihat dan Hoonie dapat rumor kencan gara-gara kau?" Jungkook tidak tahu bahwa San sangat bodoh dalam hal ini. Mungkin untuk San, makan dengan siapa saja tak jadi masalah tapi Hoonie adalah seorang idol.             "Kau juga sering makan dengan Lizzy saat masih pacaran, apa ada media yang berhasil memotret kalian? Tidak ada, kan? Santai saja! Aku juga punya tempat private untuk bertemu orang-orang seperti kalian!" Mood San jadi hancur gara-gara ucapan Jungkook.             Pemuda itu tak berbicara lagi, ia memberikan Yeontan pada Vantae lalu pergi begitu saja. San mendengus melihatnya dan ucapan Vantae bahwa Jungkook sedang merajuk, langsung disetujui oleh San.             "Dia marah aku bawa-bawa Lizzy karena mereka sudah putus?" San menunjuk dirinya sendiri sedangkan Vantae mengangkat bahu dengan sebuah cengiran. "Jadi aku yang harus minta maaf, begitu? Ahhh... dia benar-benar."             San membawa langkahnya menuju kamar Jungkook tapi ternyata pemuda itu berada di ruang TV, menselonjorkan kaki panjangnya pada sofa. Memencet-mencet remot, entah mencari tontonan yang bagaimana.             "Hei, maaf, Jungkook-ah," kata San tanpa basa-basi. Takut Jungkook tersinggung karena masalahnya dengan Lizzy masih hangat dan sepertinya pemuda itu masih belum bisa melupakan snag mantan kekasih. San bahkan tidak tahu apa yang dibicarakan mereka berdua ketika malam itu.             "Aku seharusnya yang meminta maaf karena mengaturmu, Sanayya. Terserah kau mau makan dengan siapa."             San menghela napas mendengar jawaban Jungkook. Pemuda itu menurunkan kakinya sehingga San duduk pada bagian sofa yang kosong.             "Tapi berencana untuk berkencan dengan idol bukan suatu hal yang mudah," sambung Jungkook. Matanya terfokus pada layar TV tapi San yakin pikiran jungkook pergi ke mana-mana. Mungkin mengingat hubungan sulitnya dengan Lizzy? Entahlah, bukan urusan San.             San hanya menjelaskan, "Aku tidak berniat mengencani Hoonie. Sudah aku bilang, aku hanya fans."             Hening cukup lama, sampai San tidak nyaman dan dia mengajak Jungkook menonton film The Hunger Game. Mereka berdua menyukai film itu dan selalu mendebatkan apa saja setelahnya.             Film sudah terputar, San menonton dengan nyaman dan bersemangat sehingga ia tak sadar bahwa Jungkook melirik padanya. "Apa?" tanya San saat ia balik melirik Jungkook.             "Kau lebih suka Titanic atau Romeo dan Juliet?" Jungkook bertanya sesuatu yang random.             San sedikit berpikir, kini ia sudah tak fokus pada film The Hunger Game. "Aku tidak menyukai film romantis, Jungkook."             "Tapi kau sudah menonton kedua film itu kan dengan Seokjun-hyung? Pilih saja, San."             "Sepertinya Romeo dan Juliet." San tidak tahu mengapa memilih film itu, menurutnya Leonardo DiCarpio lebih keren saat berperan menjadi Romeo daripada saat berperan menjadi Jack di film Titanic.             "Aku suka Titanic," kata Jungkook.             "Mengapa? Karena ada adegan Rose yang telanjang lalu dilukis oleh Jack? m***m!" San menuduh seolah tahu semuanya. Jungkook seketika mengerutkan dahi, Sanayya ini terlalu ceplas-ceplos membicarakan hal yang seharusnya tabu untuk perempuan.             "Bukan itu!" Jungkook menggeleng, "karena alur cerita dan endingnya sangat rasional, menurutku."             "DiCarpio sama-sama mati pada ending di dua film itu, Jungkook-ah." San kurang suka menonton film romantis tapi jika sudah menonton, pasti memutarnya sampai habis meski ujung-ujungnya kesal dan merasa buang-buang waktu.             "Tapi di film Titanic, Rose melanjutkan hidupnya walau Jack sudah meninggal. Berbeda dengan Juliet yang malah bunuh diri ketika mengetahui Romeo meregang nyawa."             "Itu yang disebut cinta sejati dan abadi, bodoh!" San meledek Jungkook meski dia sendiri gerah dengan kisah Romeo dan Juliet. Peminat dari cerita milik William Shakespeare itu sangat banyak dan tak lekang oleh zaman.             "Menurutku, cinta yang sejati adalah membiarkan cinta itu terus hidup meski kita merasa kehilangan dan tak bisa memiliki." Jungkook berkata dengan perlahan sambil membawa netranya pada San, seolah sangat menyukai film Titanic sehingga larut pada setiap kalimat. "Dan bagiku, membiarkan seseorang yang kucintai tetap hidup—meski ia tak bisa kumiliki, adalah sebuah bentuk nyata dari cinta."             Tidak ada balasan.             "Aku menyukai Titanic, tapi tak akan membiarkan kisahku seperti ending di film itu, San." Jungkook meneruskan, kali ini nada suaranya terdengar rendah dan bersungguh-sungguh. Seperti sedang berjanji pada jagat raya. Menjadikan ini begitu penting. "Cintaku harus tetap hidup."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD