04 - Bukan Karpet Ajaib

1658 Words
Angin kencang menerpa wajahku yang tidak tertutup oleh benda apa pun, aku menutup mataku rapat-rapat agar tidak ada sesuatu yang tiba-tiba bisa saja masuk ke mataku. Sayangnya, aku telat menutup mulutku, yang membuatku tersedak sesuatu. Ugh … semoga bukan serangga liar yang tidak sengaja kutelan. Lagi pula, kenapa benda yang bisa membuat tubuhnya terbang ini tidak bisa stabil!? Benda ini terus bergoyang-goyang, membuatku takut jatuh. Tolong! Setidaknya aku tidak ingin mati muda! “Jangan takut, kalau takut bisa-bisa kita jatuh nih, bayangin aja kamu terbang di langit, kayak lagi mimpi. Bisa?” kata Marchi—blabla itu. Meski saran dari orang yang namanya masih susah kusebut ini terasa tidak berguna, aku tetap berusaha untuk melakukannya. Namun tentu saja usahaku tetap gagal, goyangnya benda yang bisa terbang ini membuyarkan konsentrasiku, membuatku semakin takut akan terjatuh. Cengkramanku semakin kencang pada Marchi—blabla ini. “Aaaaaaa aku ga bisaaaa!!” Teriakku sambil menyembunyikan wajahku pada bahu Marchi—blabla untuk menghalau angin kencang dan serangga liar. Aku merasa Marchi—blabla ini berbalik badan, dia menarik kedua tanganku yang tadi masih memegangi baju Marchi—blabla ini dan langsung merangkulkan kedua tangannya ke punggungku. Dengan lembut ia berkata, “Tenang-tenang. Aku ga akan biarin kamu jatuh, oke? Asal kamu tenang, kamu ga akan mati muda.” Oh! Perkataannya tidak membantu sekali! Seakan bisa mendengar pikiranku, Marchi—blabla ini terkekeh pelan dan menambahkan, “Coba bayangin rasanya pas kamu lagi berenang.” Aku pun mencobanya. Berenang ... lagi berenang ... terus berenang … terus berenang … terus aku mikir, kalau lagi berenang di laut lalu ada hiu gimana? Ahhh!! Bukan itu saatnya. Tenang ... tenang ... dan ... papan luncur melayang itu pun mulai stabil dan tidak goyang-goyang atau bahkan berputar-putar seperti roller coaster seperti sebelumnya. Merasa papan luncur ini tidak akan berbahaya lagi, aku membuka mataku perlahan untuk melihat keadaannya. Sedikit kaget, aku baru sadar kalau wajah Marchi—blabla ini sangat dekat dengan wajahku. Matanya yang berwarna biru cerah seperti memantulkan kilau bintang di langit. Karena merasa malu dengan sifat asliku yang keluar tadi, dengan cepat aku memalingkan wajahku ke pinggir dan kembali dikejutkan dengan apa yang kulihat. Bulan! Aku melihat bulan yang seperti berada di dekatku! Aku merasa tubuhku gemetar karena senang, melihat bulan sedekat ini tanpa bantuan teropong atau benda lainnya, dan juga taburan bintang membuat kilauan dari bulan terlihat semakin indah. Senyuman lebar tersungging di wajahku tanpa sadar, cengkraman ku mulai mengendur. “Gimana? Percaya, kan aku bisa sihir?” Tanya Marchi—blabla sambil melepaskan rangkulannya padaku, kemudian ia menggenggam tanganku. Aku berdeham sedikit karena mungkin saja suaraku saat ini gemetar saking gregetnya. “Ya … ya deh kalau udah bisa terbang gini, aku percaya!! Kapan-kapan ajak aku terbang lagi, ya?” Jawabku padanya, tidak memalingkan wajahku dari keindahan bulan itu. “Oh iya, ngomong-ngomong, kalau di film-film gitu. Orang yang bisa sihir terbang kan pakai sapu terbang. Kok kamu engga?” tanyaku sambil menatap wajah Marchi—blabla ini.  Marchi—blabla tiba-tiba memasang ekspresi terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak, dan membuat papan luncur terbang ini oleng sedikit, aku terkesiap dan Marchi—blabla ini berhenti tertawa dan kembali merangkulkan tangannya ke pinggangku. “Hahaha, sapu terbang? itu sudah tidak di gunakan sejak berabad-abad lalu. Zamannya nenek dari nenek-neneknya nenekku yang neneknya aku punya nenek. Kenapa? di dunia mu orang-orang masih berpikir kalau orang yang bisa menggunakan sihir terbang dengan sapu terbang?” “Ya.. yaaa terakhir kali aku nonton film Harr* P*tter (Nama kembali disamarkan) terbang dengan sapu terbang,” Jawabku ga mau kalah.  Orang ini kembali tertawa renyah. “Anak seumuranku sekarang ga pakai sapu terbang lagi, kita pakai benda yang lebih keren, yang juga ga cepet ngabisin kekuatan sihir, Flying Gear nih salah satunya, papan luncur ini,” kata Marchi—blabla. “Sebenarnya ada berbagai macam, ada sepeda, sepatu roda, bentuk seluncuran surfing juga ada. Tapi aku lebih suka papan luncur seperti ini. Lebih enak di pakainya.” “Kalau karpet ajaib?” tanyaku. “Kamu kebanyakan nonton film Dis*ey.” Jawaban itu berhasil membuat mulutku akhirnya tertutup. Setelah rasanya sebentar lagi bakal masuk angin, akhirnya aku dan Marchi—blabla ini kembali ke rumah. “Jadii … gadis keras kepala, aku boleh tinggal di sini? sesuai janji mu tadi,” tanya Marchi—blabla ini sambil memasang ekspresi menjengkelkan di wajah nya. Aku menarik napas dan menghembuskannya kencang-kencang, baru ingat janji yang tadi kubuat dengannya. “Hahhh ... sebenarnya sihir itu tidak bisa diterima oleh logikaku yang sederhana ini. Tapi yah, karena kau sudah menunjukannya ... kau boleh deh tinggal di sini. TAPI, kalau kedua orang tuaku pulang, kau harus keluarrrr.” “Yeheyy!! Asikkkk asikkkk ga usah keluar duit,” sahut Marchi—blabla ini kegirangan. “Eitss ... jangan seneng dulu, karena awalnya aku cuman tinggal sendiri di sini, dan beres-beresin rumah ini sendiri. Nah karena sekarang kamu juga mulai hari ini tinggal di sini, berarti kamu harus bantu aku beresin rumah biar gampang.! Aku yang masak, kamu yang bersih-bersih rumah,” kataku sambil melipat tangan di d**a. Harus tahu siapa boss sebenarnya di sini.. huahuhaua. “Ahh? jadi aku harus menyapu, mengepel, cuci piring, cuci baju, nyetrika, ngejemur, bersihin kamar mandi?” kata Marchi—blabla ini histeris sambil mengangkat sebelah alis matanya. “Hei! Kau pikir aku ini majikan yang menyiksa pelayan rumahnya? Lagian kamu kan cowok, bisa sihir pula, pasti gampang banget dong,” kataku sambil nyentil kening orang ini. “Baik-baik, aku yang akan masak, cuci piring, dan mencuci pakaian, kalau kamu bersihin kamar mandi, jemur pakaian, ngepel sama nyapu lantai. Oke?” Marchi—blabla ini memasang ekspresi sok serius dan menempatkan jari telunjuknya di keningnya dengan gaya berpikir. “Hahh ... baiklah baik. Aku kan cuma penumpang gratisan di sini.” “Jadi? kita mulai dari awal ya. Ehem ... namaku Kumo Akari, 16 tahun, aku tinggal sendiri di rumah ku. Karena kedua orang tuaku bekerja sebagai arkeolog. Sekarang mereka ada di luar negeri—kalau kau?” tanya ku sambil menunjuk Marchi—blabla ini. “Heee? harus mulai dari awal lagi? kan aku pernah ngenalin diri—“ “Ahh udah cepat jelasin aja!!” kataku sambil memotong perkataan nya. Ia pun mendengus “Hahh baik … baik. nama ku Marchikuelle Ish-Qyumeina Melhei ne-Wienan aku seorang penyihir handal termuda dari negeri ku Merqopolish,  negeri sihir,  umur ku 17 tahun,” kata Marchi—blabla ini, dia menarik napas sebentar lalu melanjutkan, “Tujuan ku ke dunia ini karena aku mencari benda tersegel yang sebenarnya terlempar dari negeriku dan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak karena adanya benda tersebut di dunia ini ... hmmm.. sekarang aku baru saja di sahkan tinggal di rumah seorang gadis keras kepala yang namanya—“ “Hei hei sudah cukup,  seperti pembuka sebuah Drama saja,” potongku. ”Jadi ... kamu lagi nyari benda yang terlempar ke dunia ini? Maksud dari dampak yang bisa terjadi karena benda itu apa?” Tanya ku sambil berjalan dan duduk di sofa. “Sebenarnya,  negeri sihir itu tidak hanya Merqopolish,  tapi juga ada negeri sihir lainnya. Bisa di bilang Merqopolish lah Ibu kotanya negeri sihir,” kata Marchi—blabla ini dan ikut duduk di sofa “Beberapa bulan lalu ada Dark Witch yang entah kegilaan apa yang tiba-tiba ia pikirkan membuka gerbang Gehenna,  dan penyihir itu mencoba mengendalikan raja Iblis, Satan untuk menguasai kedua dunia utama di kehidupan kita ini, dunia sihir dan duniamu,” kata Marchi—blabla yang terdengar seperti menjelaskan kalau satu tambah satu itu jendela, “Tapi, para penyihir handal dari beberapa negeri sihir bisa menangkal kembali gerbang Gehenna. Sayangnya, meski para iblis itu tidak berhasil keluar, ada beberapa kutukan yang berhasil dibuat oleh mereka dengan memasukkannya ke beberapa benda. Untung saja penyihir dari Merqopolish berhasil mengumpulkan semua benda itu sebelum kehilangannya. “Namun, saat benda itu dikirim ke Merqopolish untuk dihancurkan, ternyata sekelompok Dark Witch itu belum menyerah, dan menyerang tim yang membawa benda itu ke Merqopolish. Menurut tim yang bertugas, Dark Witch  membuang benda itu ke dimensi lain, dan salah satu dari dimensi lain itu adalah ... duniamu ini. Yang kami takutkan, Dark Witch itu menemukan benda-benda terkutuk itu terlebih dahulu, dan bisa-bisa ia melepas penyegel dari benda itu, dan membangkitkan kembali kekuatan iblis yang berada di dalamnya. Lalu, tugasku itulah, yang mencari benda-benda tersebut.” Marchi—blabla ini pun berhenti dan kembali menghela napas panjang. Hmm … kalau cerita ini dijadikan film, setidaknya akan kucoba tonton. Tapi sayangnya, ini dunia nyata. “Bahaya juga ya ... tapi, apa yang pergi ke duniaku ini hanya kamu?” tanya ku. “Tidak, Merqopolish mendeteksi bahwa ada sepuluh benda yang terlempar di dimensi ini. Beberapa di antaranya ada di Jepang. Penyihir lainnya pergi ke negara lain untuk mencari sisanya.” “Oh ... berarti penyihir memang banyak, ya? Aku kira sedikit,” kataku yang entah kenapa sedikit kecewa karena membayangkan kalau penyihir itu seperti makhluk mistik yang hanya ada di mitos belaka. Marchi—blabla mengusap dagunya berpikir. “Yah, sebenarnya saat pertempuran menutup gerbang Gehenna dan menyegel iblisnya saja udah banyak korban yang tidak kembali hidup-hidup,” katanya, wajahnya tiba-tiba kosong dan matanya seperti menerawang kejadian yang lalu. “Lagi pula sebelum kami menjadi penyihir yang handal, kami harus melewati beberapa seleksi. Seperti sekolah gitu, mirip film yang kamu sebut tadi Har*y P*tter, dan aku sudah lulus dari ujian itu, hebatkan? Aku yang paling muda loh ... biasanya yang lulus lebih dari dua puluh tahunan.” Raut wajahnya kembali berubah lagi, dengan bangga dia bilang seperti itu. “Lagi pula, aku sangat tampan.” Aku hanya memutar kedua bola mataku mulai kesal dengan tingkahnya yang narsis. “Ngomong-ngomong, Nama kamu kepanjangan nih, dari tadi aku manggil kamu Marchi—blabla. Aku panggil Maaki aja ya? lebih gampang!” “Maaki? aneh bangetttt ga mau ahh,” tolaknya. “Yeee gaada huruf yang cocok sama nama kamu tau, mau Maruchi? apa Machi?” kataku pilih-pilih nama yang enak disebut oleh lidah. “Ahhh Michi aja Michi, keren tuh. Michi … Michiru! haha. Nama artis di negeri sihir tuh,” jawab dia milih nama sendiri sambil ngangguk-ngangguk puas dengan pilihannya. “Michiru? seperti nama anjingku yang dulu! haha. yosh yosh Michiru :3” jawab ku sambil pasang wajah jahil dan mengusap kepala Michiru. “Yahhh, masa nama anjing sihhh ...” jawab Michiru sambil manyun. “Haha udah ah, udah malem nih, besok aku sekolah. Kamu bisa tidur di kamar tamu. Meski gaada yang tidur di sana, kamarnya tetep bersih kok. Kamu juga istirahat sana, cape kali berhari-hari perjalanan dari dimensi lain ke sini.” kataku dan mengucapkan selamat malam pada Michiru sesaat setelah aku menunjukkan kamar untuk tempatnya tidur. Michiru mengusap-usap dagunya sambil menganggukkan kepalanya merasa puas dengan kamar gratisannya itu. Setelah ia membalas mengucapkan selamat malam, aku pun masuk ke dalam kamarku. Di tengah malam, tiba-tiba aku terbangun. Hmm … kenapa rasanya gampang sekali orang ini tinggal di rumahku? Apa seharusnya aku sedikit waspada lain kali?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD