06 - Secepat Us*in B*lt!

1801 Words
         Mataku yang hampir tertutup rapat karena mendengar penjelasan panjang tentang sejarah oleh Rakishi-sensei. Untung saja lonceng istirahat pergantian kelas berbunyi sebelum aku sampai di alam mimpi.         Entah kenapa semua teman sekelasku membereskan perlengkapannya dengan cepat, kukira akan ada kelas tambahan atau perpindahan kelas. Ternyata, setelah mereka membereskan perlengkapannya, dengan gesit mereka langsung berlari ke arahku … atau bukan. Mereka langsung mengelilingi Michiru yang duduk di belakangku.         Puluhan pertanyaan langsung membanjiri Michiru. Aku melirik Michiru yang terlihat jelas kesusahan, lalu dia mengerling ke arahku meminta tolong. Dengan senyum cerah, tentu saja kutolak. Aku langsung berbicara pada Seika di mana kita akan makan untuk istirahat makan siang.         “Michiru, umurmu sama dengan kami, ‘kan? Tapi kau terlihat sangat tinggi dan lebih dewasa!”         “Apa kau pernah membintangi film, Michiru? Wajahmu sangat tampan, pasti kau pernah direkrut untuk membintangi sebuah film, bukan?”         “Apa kau punya akun Yout*be?”         “Bahasa Jepangmu cukup lancar, apa kau pernah tinggal di sini sebelumnya?”         Hmm … semangat, Michiru.         Tetapi, tiba-tiba perasaanku tidak enak karena sebuah pertanyaan. “Michiru, kau tinggal di mana saat ini? Apa kau tinggal sendiri?”         Seketika aku sadar, sesuatu yang bersinar terlintas sebentar di kedua mata Michiru. Dengan senyum yang terlihat jelas akan membuat masalah, ia menjawab, “Aku tinggal di rumah Akari!”         Akari … Akari … Akari … Kumo Akari!? Semua siswi yang menempel pada Michiru itu langsung menatapku dengan mata yang sangat mengerikan. Terlihat jelas semua berpikiran sama, ‘Ada hubungan apa antara murid pindahan ini dan Kumo Akari? Kenapa mereka bisa satu rumah? Terlebih langsung memanggil namanya!’         “Bukan begitu, Akari?” tambah Michiru yang membuat suasana semakin panas.         Dasar kompor! Batinku menangis. Aku berdeham singkat kemudian berkata, “Kebetulan kedua orang tuaku berteman baik dengan orang tua Michiru saat berkunjung ke Eropa. Karena ada urusan bisnis, kedua orang tua kami sama-sama pergi bekerja … dan akhirnya Michiru memilih untuk tinggal di Jepang sementara waktu.”         Michiru terkekeh pelan. Aku menatapnya dengan tajam. ‘Tidak ada makan malam untukmu!’ Merasa Michiru mengerti apa yang aku pikirkan, tiba-tiba Michiru berkata, “Itu benar! Tradisi keluargaku setidaknya setiap anggota keluarga harus belajar di luar negeri. Akari harus tinggal sendiri karena orang tuanya sibuk bekerja, dan kedua orang tuanya khawatir dengan Akari. Akhirnya aku memilih untuk mengambil kelas di Jepang.”         “Oh … seperti itu ceritanya,” kata siswi yang lain akhirnya menarik tatapan tajamnya dariku. Tetapi tetap menghujani Michiru dengan banyak pertanyaan setelahnya.         “Hei, semuanya? Michiru baru saja pindah ke sini, dan mungkin ia belum terbiasa. Selama satu tahun, Michiru akan bersekolah di sini. Jadi … bagaimana jika pertanyaan kalian disimpan untuk pembicaraan kalian selanjutnya?” kata Tetsushi yang mencoba menenangkan massa yang mengeroyoki Michiru *loh. “Hei Michiru, aku Tetsushi Kaji sebagai ketua kelas. Jika kau butuh sesuatu, tidak perlu sungkan untuk bertanya padaku.”         Aku menganggukkan kepalaku pada sifat baik Tetsushi ini. Terlihat jelas wajah Michiru langsung lega. Kemudian ia membalas jabatan tangan Tetsushi. Akhirnya, kelas kembali tenang. Tetapi tidak dengan satu orang. Seika menatapku tajam meminta penjelasan, untung saja lonceng untuk kelas selanjutnya berbunyi. Setidaknya aku akan menjelaskan hal itu padanya saat jam istirahat makan siang.         Entah bagaimana bisa seperti ini, tetapi yang jelas Aku, Seika, Michiru, Tetsushi dan Kazuyoshi tiba-tiba pergi ke kantin bersama-sama untuk istirahat makan siang. Melihat bule tampan yang tiba-tiba menjadi murid sekolah mereka membuat seisi sekolah menjadi heboh. Selama perjalanan mereka menuju kantin, saat makan di kantin, dan saat kembali ke kelas semua mata tertuju pada Michiru.         Namun entah ia sadar, atau ia sadar, atau ia memang sadar dengan pandangan itu, Michiru tetap mengabaikan pandangan itu dan berbicara dengan bahasa Jepang yang ada sedikit aksen berbeda. Ia bercerita tentang kehidupannya di Itali, entah itu benar atau tidak, tapi yang jelas ceritanya terlihat sangat meyakinkan karena ia mengekspresikannya dengan gerak tubuhnya juga.         Karena cerita yang menyenangkan tapi aku tidak tahu itu betul atau tidak, istirahat makan siang berlalu tanpa kejadian yang berarti. Aku bertemu dengan Takamura-sensei di lorong dan memintaku untuk membantu Michiru berkeliling sekolah.        Hmmm … karena tidak ada kegiatan lain, dan Michiru mengedip-ngedipkan sebelah matanya secara misterius, aku pun setuju untuk melakukannya saat jam kelas berakhir.         .         .         Lonceng kelas terakhir pun berbunyi. Banyak siswi yang melemparkan dirinya untuk mengajak Michiru berkeliling sekolah atau sekitar kota. Tentu saja tawaran itu ditolak olehnya. Dengan meminjam nama Takamura-sensei, aku pun berhasil mengajak Michiru berkeliling tanpa ada gangguan. Seika terlihat jelas ingin ikut, tetapi aku dan Michiru lebih gesit dan meninggalkan Seika terlebih dahulu. Maaf, Seika!!         Meski sedikit pegal karena mengelilingi sekolah yang tentu saja termasuk seluruh lapangan sekolah, bangunan ekstrakurikuler, dan seluruh lantai sekolah sampai ke lantai empat yang menjadi auditorium, akhirnya tugasku selesai!         Michiru sempat terkesan dengan fasilitas lengkap sekolah ini. Tentu saja, karena sekolah ini disponsori oleh keluarga Rizumu …         “Ayo kita ke atap, Akari. Aku harus melihat sekitar sini untuk mencari benda-benda itu,” kata Michiru tiba-tiba.         “Ah? Tapi aku tidak punya kunci pintu atap sekolah … mungkin aku harus minta izin terlebih dahulu,” balasku.         “Sshh, tidak masalah,” katanya cepat sambil menarik tanganku menuju tangga untuk sampai ke atap sekolah.         Aku mencoba untuk membuka pintu atap itu, dan tentu saja terkunci. “Sudah kubilang kan terkunci?”         Michiru terkekeh pelan, kemudian ia mencoba untuk membuka pintu itu dan berhasil. Aku mengangkat kedua alisku tentu saja tahu kalau pintu itu terkunci sebelumnya. Ah, tunggu. Dia kan penyihir …         Michiru terkekeh pelan lagi sambil menarik tanganku untuk pergi ke atap. Tiba-tiba angin berhembus lembut dan petal bunga sakura terbang tinggi. Matahari yang mulai terbenam membuat langit berwarna sedikit keemasan.         Wow, aku sempat terpikat dengan rambut pirang Michiru yang terlihat seperti keemasan ketika terkena sinar matahari sore. Untung saja aku tahu sifat aslinya … kalau tidak bisa-bisa aku sudah terpikat seperti teman-teman sekelasku itu.         Michiru menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. “Nyaman sekaliii. Gimana? Gimana? Suka kann?” tanya Michiru yang terlihat mempesona—akibat efek angin yang berhembus mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Kemudian ia tiba-tiba tiduran di atas lantai.         “Jangan tiduran seperti itu, kotor,” kataku,         “Baik, ibu …” kata Michiru sedikit cemberut, tapi dia tetap tidak memiliki niat untuk bangun.         Aku hanya menggelengkan kepalaku menyerah, kemudian duduk di sebelah Michiru. “Bagaimana? Kau bisa melihat atau merasakan benda-benda apalah itu?”         Michiru menutup kedua matanya. Hmm … entah ia berusaha untuk fokus mencari benda-benda itu atau tidur. Akhirnya aku memilih untuk tidak mengganggunya.         Beberapa kali aku menatap jam tangan yang terlingkar manis di pergelangan tangan. Sudah sepuluh menit Michiru menutup matanya, tetapi ia tidak bergerak atau berkata apa pun. Aku memilih untuk menunggu sepuluh menit lagi.         Langit yang berwarna jingga dengan semburat awan berwarna ungu semakin gelap sekarang. Akhirnya aku menyentuh Michiru pelan dengan jari telunjukku. Tetapi ia masih tidak bergerak. Karena responnya yang sedikit itu, aku mulai menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan keras.         Michiru langsung membuka matanya, terlihat sedikit kebingungan di matanya. “Hah, kenapa langit sudah gelap? Berapa lama aku tertidur?”         Rasanya kedua alisku berkedut karena kesal. “Jadi kau benar-benar tidur!? Aku kira kau fokus atau apalah itu untuk mencari benda itu!”         Michiru terkekeh pelan. “Awalnya gitu … tapi ternyata aku ketiduran!” entah kenapa ia mengatakan hal itu dengan nada yang bangga. “Aku akan mencarinya lagi nanti. Ayo kita pulang, laper nih.”         Alisku kembali berkedut kesal. “Kamu makan mie instant aja malem ini!” kataku sambil berdiri dan meninggalkan Michiru yang masih bingung.         “Lah kok gitu!?” katanya sambil mengejarku.         .         .         Tentu saja aku tidak … atau belum setega itu pada Michiru. Sebelum pulang, aku dan Michiru mampir ke Betamart terlebih dahulu untuk membeli bahan-bahan makanan.         Dengan senang hati Michiru membantuku untuk mendorong trolly belanjaan. Dengan cepat ia memasukkan daging, daging, daging, minuman soda, daging, daging, kue kering, dan daging.         Aku memukul tangan Michiru yang terus mengambil potongan daging. “Kau pikir untuk apa daging sebanyak itu!? Dan ini, kau terlalu banyak ambil snack, siapa yang mau bayar?”         “Tenang, tenang aku yang bayarr,” kata Michiru sambil memasukkan kue kering lainnya.         Meski tidak bisa percaya seutuhnya pada orang ini yang memohon untuk tinggal dan makan gratis di rumahku, aku tetap membiarkannya untuk mengambil makanan ringan karena aku juga mau hehe *ehem*.         Akhirnya trolly belanjaan itu pun penuh, bahkan terlihat bisa jadi bahan makan untuk satu bulan. Hmm … kalau Michiru tiba-tiba bohong dan kabur, apa uangku masih cukup? Aku khawatir dan mengintip dompetku. Michiru yang melihat tingkah lakuku itu terkekeh pelan.         “Jangan bohong kalau kamu yang bayar. Uangku ga cukup nih!” kataku sambil cemberut.         Michiru malah terkekeh pelan lagi. “Tenang, tenang. Aku gaakan kabur dan biarin kamu bayar semuanya.”         Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Tapi tetap diam dan mengantri di kasir. Tiba-tiba wajah Michiru yang masih tersenyum-senyum ga jelas melihat tumpukan makanan ringan di dalam trolly tiba-tiba berubah.         Oh, jangan bilang dia mau kabur … dan benar saja tiba-tiba dia lari. Aku berhasil menarik bajunya sebelum dia terlalu jauh. “Mau kabur ya!?”         Tetapi wajahnya yang panik itu terlihat bukan karena ia ingin kabur dari tanggung jawabnya untuk membayar cemilan yang dia ambil. Tetapi lebih pada sesuatu yang serius. Dengan cepat Michiru mengambil sesuatu dari sakunya dan melemparkannya padaku.         Dompet berlapis kulit berwarna cokelat mendarat dengan sempurna di tanganku. “Bayar belanjaannya dan langsung pulang, Akari! Jangan tunggu aku!” sahut Michiru kencang kemudian ia berlari secepat Usain Bolt.         Aku memiringkan kepalaku bingung dengan tingkah Michiru yang tiba-tiba itu. Aku membuka dompet Michiru, dan sedikit terkejut karena banyak uang di dalamnya!         Apa sebenarnya Michiru itu memang banyak uang? Atau dia menggunakan sihir mengubah daun jadi uang? Hmm … sebaiknya aku cepat-cepat bayar belanjaan ini dan pergi dari sini sebelum uang ini kembali berubah jadi daun.           Untung saja uang itu tidak berubah jadi daun. Karena terlihat aman-aman saja, akhirnya aku memilih untuk menunggu Michiru di depan Betamart sambil meminum sekotak s**u.         Tetapi, setelah lebih dari setengah jam Michiru tidak kembali, akhirnya aku memilih untuk mencarinya. Khawatir dia tersesat atau apa …         Aku menitipkan belanjaanku pada petugas keamanan minimarket itu, dan memberinya bakpao isi daging dan juga satu kotak s**u. Setidaknya sedikit membuat petugas itu senang. Aku juga bertanya pada petugas itu apa dia melihat seorang bule dengan rambut pirang panjang. Petugas itu memberitahuku kalau bule rambut panjang itu lari secepat kilat ke arah sekolah.         Karena merasa tidak ada yang aneh kalau Michiru tiba-tiba pergi ke sekolah, aku pun berpikir untuk mencarinya di sana.         Langit sudah sepenuhnya gelap. Untung saja banyak lampu di sepanjang  jalan menuju bukit sekolah. Tetapi, beberapa kali aku melihat kilatan aneh yang terlihat jelas bukan cahaya lampu.         Penasaran, aku berjalan ke arah cahaya itu. Setelah semakin dekat, terlihat kalau cahaya itu seperti kembang api yang berwarna warni. Hmm … apa ada pertunjukan? Cahaya itu berada di dekat taman sekolah.         Setelah sampai di sana, ternyata bukan pertunjukan atau apalah itu yang membutuhkan efek cahaya warna warni. Aku melihat Michiru dengan tampang yang sangat serius, menembakkan kekuatan sihir pada seseorang yang menggunakan jubah berwarna hitam yang menutupi seluruh tubuhnya.         Yang lebih mengejutkannya lagi, orang yang menggunakan jubah itu juga menggunakan sihir untuk menangkis serangan Michiru.         Terlihat jelas ia seorang penyihir sama seperti Michiru, tetapi kenapa mereka berdua bertarung?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD