Episode 4

1070 Words
Amber dan Laura sudah sampai di apartemen Mereka duduk di kamar sambil merebahkan diri melepas penat. Ya, yang mereka pusingkan itu adalah kejadian mengenai buku itu.  Laura tidak mau memikirkan hal yang membuatnya pusing. Selama seminggu, ia dihantui rasa takut. Sekarang, gadis itu sudah bebas sebab sudah mengembalikan kertas itu pada tempatnya.  "Kira - kira, si cupu mengalami hal yang sama dengan kita apa tidak ya?" Celetuk Amber tiba - tiba. Laura dima sambil merentangkan kedua tangan. "Laura, jangan merentangkan tanganmu. Aku jadi tidak bisa bernafas." Amber menghempas kasar tangan gadis itu.  "Semua sudah berlalu. Jangan memikirkan buku kuno itu lagi." Laura bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Ia mengambil tas di atas nakas. "Tugas dari Madam Glory sudah kau selesaikan?"  Gadis itu bertanya sambil merogoh tasnya. Tangan cantiknya meraba buku tebal di dalam tas itu. Karena penasaran, Laura mengambil buku tersebut. Betapa terkejutnya saat melihat buku yang telah diberikan kepada Caesar kembali padanya. Ia bahkan berteriak keras hingga menjatuhkan benda itu tebal itu.  "Ada apa?" tanya Laura sambil terperanjat melihat keadaan Laura. Baru saja ia bersantai ria. Sahabatnya satu itu malah berteriak keras. Mentang - mentang apartemennya kedap suara.  "Bu… buku itu kembali!" teriak Laura sambil menunjuk ke arah lantai. Amber menutup mulut terkejut.  "Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah tadi kau telah memberikan kepada Caesar?" Amber turun dari ranjang mengambil buku itu untuk memastikannya. "Ini benar buku kuno itu."  Sial, Laura tidak pernah ketakutan seperti ini. Buku kuno tanpa tuan menempel padanya. Apa buku itu berhantu? Terkutuklah orang yang membuat buku itu. Dia pasti sudah gila. Membuat buku tanpa judul.  "Kita berikan buku itu ke orang lain lagi," ucap Laura sambil menyambar jaket. Ia tidak akan membawa tas karena takut buku itu akan masuk ke dalam tasnya.  Amber mengangguk setuju. Ia membawa buku itu lalu diikuti Laura. "Kenapa kau tidak membuangnya saja?" Amber memberi usul kepadanya.  "Sudah aku bilang. Aku tidak ingin membuang buku. Buku adalah jendela dunia." Amber mendengus kesal. "Tidak semua buku adalah jendela dunia. Kau bahkan sampai terbawa mimpi karena barang ini."  Tidak dapat dipungkiri, Laura memang bermimpi hal - hal menakutkan setelah mendapatkan gambar Raja Hantu itu.   "Kita kemana? Perpustakaan kota?" tanya Amber. Laura hanya diam menatap lurus seorang anak kelas menengah atas yang tengah membaca sebuah buku.  "Amber, sepertinya gadis itu suka membaca buku. Kita tidak perlu repot - repot berjalan jauh." Mata Amber langsung tertuju pada objek yang dibicarakan. Kali ini, gadis itu akan memberikannya langsung.  "Biar aku saja." Amber berjalan mendekat ke arah gadis itu. "Apakah kau suka membaca buku?" tanyanya.  Gadis itu mendongak ke atas lalu tersenyum. "Semua buku, aku suka baca." Amber tersenyum puas. Ia memberikan buku kuno tersebut. "Buku ini untukmu. Aku harap kau suka." Amber langsung pergi setelah memberikan buku. Ia berlari kecil seperti bocah. Laura hanya memutar bola mata malas saat melihat kelakuannya. Bayangkan saja, di umur yang sudah menginjak dua puluh. Dia bersikap seperti itu. Dan terlebih lagi, gadis yang sedang membaca buku tersebut menggelengkan kepalanya.  "Sudah beres. Ayo masuk!" ajak Amber sambil merangkul lengan Laura dengan semangat. Kali ini, gadis itu akan membiarkan dia bersikap konyol karena telah dibantu.  Mereka pun masuk ke dalam gedung apartemen. Ketika sudah berada di depan pintu, seseorang menegur mereka. "Tunggu!!" teriaknya.  Mereka langsung menoleh dan terkejut karena gadis yang yang diberikan buku itu berlari ke arah keduanya.  "Hos… hos huft." Dia mengatur nafas terengah - engah sambil memegang buku tersebut. "Maafkan aku. Tapi, aku tidak bisa menerima buku ini." Gadis itu menyerahkan kepada Laura.  "Kenapa?" Amber bertanya langsung. Sebab waktu tadi ia memberikan buku tersebut sang gadis sangat senang.  "Aku…." Ucapan gadis itu menggantung membuat mereka berdua penasaran.  "Katakan, kenapa kau memberikan buku ini kembali?" Laura menatap gadis itu. Ada raut wajah gelisah di sana. Mungkinkah dia ketakutan? Atau buku ini juga menghantuinya.  "Buku itu, hanya ingin kau memilikinya." Bagaimana bisa gadis menengah atas itu berkata demikian. Dia seperti mengetahui hal - hal diluar nalar.  "Apakah kau bisa menceritakan apa yang terjadi?" tanya Amber. Gadis itu ingin membuka suaranya. Namun, tubuhnya gemetar. Ia melihat sesuatu di belakang mereka.  "Maafkan aku. Sepertinya, aku harus pergi." Gadis itu berlari kencang menuju ke lift lalu masuk. Tubuhnya merosot kebawah sambil gemetar. Mulutnya komat kamit tidak karuan.  "Aku sudah memberikannya kepada kakak itu. Jangan menggangguku." Lampu lift padam dan menyala dengan bergantian. Sosok hitam samar terlihat di sana. Dia kemudian mendekat sambil membisikkan sesuatu.  Gadis itu semakin bergetar dan terisak. "Tolong…, pergilah." Sosok hitam itu menghilang. Lampu kembali normal. Gadis tersebut bernafas lega.  Sedangkan Laura menatap kosong ke arah buku yang di letakkan di atas meja. Ia bingung, kenapa barang tebal itu selalu kembali kepadanya? Sial, di dunia ini. Ia harus mengalami hal mistik. Ini dunia modern, ingin rasanya gadis itu berteriak keras namun semua hanya mimpi belaka. Jika ia berteriak seperti orang gila, semua orang pasti akan menertawakannya.  Dan sekarang, Laura harus berurusan sendirian dengan barang di atas meja itu. Amber tiba - tiba ada sesuatu yang harus diurus. "Amber benar - benar tidak bisa membantuku."  Tadi, Amber memohon pada Laura untuk pulang dan tidak jadi menginap di apartemennya.  "Okay, aku akan mengirimmu ke perpustakaan kota agar aku bisa tidur nyenyak." Laura bangkit dari kursi. Ia berdiri di depan lemari untuk mengambil kardus kosong.  Perpustakaan kota lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Ia berencana mengirim buku itu dengan paket ekspres. Tentunya, barang tersebut akan cepat sampai.  "Maafkan aku, pasti nanti kau akan berguna untuk seseorang." Laura memasukkan buku itu dengan hati - hati seperti berlian. Ia membungkusnya dengan rapi. Setelah itu, ia keluar ruangan menuju ke kotak pos yang ada di bawah.  Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seorang kurir sedang membawa barang ke pelanggannya. Laura berlari kesana dengan cepat. "Sir, bisakah kau mengantar barang ini ke perpustakaan kota?" tanya gadis itu.  "Hari ini, aku sudah lelah. Ini adalah surat terakhir," jawabnya dengan nada pelan.  Laura tidak kehilangan akal. "Tolonglah, Sir. Aku akan memberi upah yang sepadan." Tunggulah sebentar, aku akan mengantar barang ini." Gadis itu mengangguk senang lalu menatap kepergian sang kurir. Sebentar lagi, ia bisa bebas.  Tidak berapa lama kemudian, kurir itu datang. Laura menyambutnya dengan wajah yang cerah. "Bagaimana, Sir? Jadi mengantar paket ini?" Sang kurir mengangguk pelan. Hati gadis itu tentu berbunga - bunga. Ia langsung menyerahkan bungkusan tersebut lalu memberi uang sepadan padanya.  Urusan buku sudah beres. Laura meninggalkan lobi apartemen dengan semangat. Malam ini, ia akan tidur dengan nyaman tanpa gangguan mimpi buruk.  "Akhirnya, aku bisa tenang." Laura merebahkan diri ke atas ranjang menatap langit kamar. Ia melirik jam yang ada ada di dinding.  "Lebih baik aku tidur." Mata gadis itu perlahan menutup. Pertahanannya sudah runtuh. Ia terlelap dalam tidurnya. Ketika terlelap, buku itu kembali berada di atas nakas. Sosok hitam yang berada di sudut kamar menghilang setelah buku itu kembali. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD