Universitas XX merupakan universitas terkenal di kota tempat Laura tinggal. Banyak para anak konglomerat yang menjadi mahasiswa di sana.
Tidak jauh dari tempat parkir, ada mobil berwarna merah baru saja terparkir di sana. Semua mata memandang ke arah gadis yang baru keluar dari mobil. Pakaian simpel tapi modis. Jangan lupa topi yang selalu menghiasi rambut panjangnya.
Banyak para mahasiswa menaruh kagum kepadanya. Namun, gadis itu hanya cuek dan acuh. "Kau selalu menjadi pusat perhatian, Laura," ucap Amber sambil menggandeng lengan Laura.
"Aku tidak minta mereka mengagumiku," jawab Laura dingin. Mereka berdua berjalan menuju bangunan megah yang tidak jauh dari parkiran. Mata keduanya tertuju pada seseorang yang tengah di buli oleh dua orang gadis.
"Bangsawan berlevel b***k rendahan," ucap Amber sambil menatap kedua gadis itu sinis. "Maya dan Madalia benar - benar keterlaluan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk menyudutkan si culun itu," imbuhnya menatap iba.
"Caesar bukan pria culun, Amber. Dia hanya tidak ingin kelihatan mencolok." Lagi - lagi, Laura membela pria culun bernama Caesar itu. Amber hanya mampu melongo saja.
"Kau tidak mau membantunya?" tanya Amber. Laura diam berjalan menuju ke arah Maya dan Madalia.
"Sepertinya, ada yang kurang perhatian sehingga mencuri perhatian." Laura berbicara tepat disamping Maya.
"Well, putri tidak dianggap datang menjadi pahlawan," ejek Maya sambil terkekeh bersama Madalia.
"Tapi, setidaknya perilakuku lebih terhormat dari pada dirimu," ujar Laura sambil menepuk pelan bahu Maya. "Caesar, lebih baik kau ikut aku ke perpustakaan. Daripada bersama kucing liar yang kehilangan pemiliknya."
Caesar langsung beranjak dari tanah. Ia mengikuti Laura dan Amber dari belakang. Sementara Maya hanya bisa diam menahan amarah.
'Lihat saja, kalau tiba waktunya nanti. Aku akan membuatmu menderita. Dan kau tidak akan bisa berdiri dengan sombong,' batin Maya.
Maya berbalik arah meninggalkan tempat itu bersama Madalia. Dua kubu itu selalu bertolak belakang. Tentu saja hal itu membuat salah satu mahasiswa yang ada di sana tersenyum puas. Dia tidak pernah mengira, dua gadis populer sendang bertengkar memperebutkan dirinya.
"Sudah puas menontonnya, Antonio?" tanyanya sambil menepuk pundaknya. Antonio hanya tersenyum. "Aku suka menyulut api."
"Kau masih saja membuat mereka bertengkar. Lagi pula, Laura juga tidak menyukaimu." Pandangan mata Antonio berubah sinis. "Setidaknya, dia tetap menatapku, John."
John hanya bisa menghela nafas. Bentuk perwujudan balas dendam karena ditolak oleh Laura tahun lalu membuat darah Antonio mendidih. Tapi, pria itu sebenarnya hanya ingin mencari perhatian dari gadis pujaannya.
"Apakah kau tidak mencari tahu alasannya?" Antonio berbalik arah menatap Jon yang tengah berdiri dihadapannya. Meski Laura sudah memberikan alasan. Tapi bukan berarti dia akan menyerah. "Dia hanya takut. Sejujurnya, dia juga mencintaiku."
Ada alasan kenapa Antonio berkata seperti itu. Ia hanya tidak terima bahwa Laura sengaja menolak cintanya hanya karena takut jatuh cinta.
Sementar itu, ketiga orang kini telah duduk di dalam bangku perpustakaan. Caesar hanya menunduk tanpa berbicara sepatah katapun.
"Pergilah…, Caesar." Laura tidak tahan melihat Caesar yang duduk seperti kelinci takut diterkam anjing buas.
"Ta...tapi, bu… bukannya kau membutuhkanku." Badan Caesar terlihat gemetar tidak berdaya.
"Hei, mata empat. Laura hanya membantumu untuk keluar dari nenek sihir itu." Amber berucap sambil menunjuk ke arah Caesar. Pria itu semakin ketakutan.
Laura pun mendengus kesal, "Berhenti menakutinya, Amber. Dan kau," tunjuknya kepada Caesar. "Pergilah…."
Caesar menunduk lalu pergi meninggalkan mereka berdua di perpustakaan. Laura menghela nafas panjang sambil menatap ruangan itu. Ia tidak ingin kejadian seminggu yang lalu terulang kembali.
"Ada apa?" tanya Amber. "Kau sepertinya gelisah." Gadis itu berdiri menghampiri Laura lalu duduk di sebelahnya.
"Kita cari buku itu sekarang. Lebih cepat lebih baik." Laura menggeser kursi lalu berjalan menuju rak pertama kali kertas itu ditemukan.
"Kau yakin di sini tempatnya. Ini bukan tempat untuk buku cerita," ujar Amber merasa tidak yakin. "Kita cari di rak bagian n****+. Pasti ada di sana." Gadis itu berjalan ke arah rak n****+.
"Kau cari di sana. Aku tetap akan mencari di sini." Laura mencari buku itu dengan teliti. Ia sangat penasaran seperti apa rupa dari buku itu. Kenapa setiap menyebutkan 'Raja Hantu' dirinya diliputi rasa dingin, mencekam dan juga perasaan takut luar biasa.
"Shittt, aku harus fokus. Jangan lengah dan terpedaya, Laura," gumam Laura sambil memilah buku.
Suara jam membuat suasana semakin hening. Laura meneguk ludahnya susah payah. Jangan sampai hal itu terulang lagi. Mulutnya terus berkomat kamit agar terhindar dari kejadian waktu itu.
Salah satu buku berwarna biru tiba - tiba jatuh di depannya. Mata indah itu tertuju pada buku. Diambilnya dengan cepat lalu membaca cover yang tertera di sana. Helaan nafas kecewa terlihat jelas. Kalau di pikir - pikir, sudah setengah jam dia berada di perpustakaan. Tapi, buku itu juga tidak kunjung ketemu.
Buku yang ada di tangan kemudian dikembalikan di rak semula. Entah apa yang mendorongnya untuk menoleh ke belakang. Karena bahunya seperti ada yang menepuk. Sontak Laura menoleh. Matanya membulat melihat sampul coklat tua seperti kulit sapi. Ia yakin itu adalah buku yang kuno.
Laura menatap lekat buku kuno itu. Karena penasaran, ia pun mengambilnya. Perlahan tapi pasti, jari lentiknya membuka buku tersebut dengan hati - hati. Setelah dibuka, ada bagian yang sobek. Warna kertas pun sama dengan kertas yang ada di tasnya.
"Akhirnya, ketemu." Laura berjalan menuju kursinya. Ia mengeluarkan kertas yang ada di tas lalu merekatnya kembali. Gadis itu berharap setelah ini, tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Kau sudah menemukannya?" tanya Amber tiba - tiba. Laura menoleh. "Seperti yang kau lihat," jawabnya sambil memperlihatkan buku itu.
Amber duduk di samping Laura. "Aku mencari dengan susah payah. Kau tega tidak memberitahuku kalau sudah menemukannya." Gadis itu merebut buku itu lalu membukanya perlahan halaman selanjutnya.
"Apakah ini benar bukunya?" tanya Amber kepada Laura. Gadis itu mengangguk sambil membuka buku itu. "Lihat, aku sudah menempelkan dengan rapi dengan bantuan dobel tip." Amber menatap gambar tersebut. Matanya langsung tertutup rapat - rapat karena ketakutan. "Tutup buku itu!" teriaknya.
Laura menutup buku itu dengan cepat. "Aku sudah menutupnya. Amber lalu membuka mata dan berbisik pada Laura. "Gambar di buku itu bergerak, Laura." Bola mata gadis itu melotot sempurna. Jantungnya bertabuh dengan cepat bukan karena jatuh cinta. Melainkan karena ketakutan.
"Kita harus mengembalikan buku ini secepatnya." Amber memberi usul kepada Laura karena merasa buku itu tidak beres.
Dari jauh, pustakawan mendekat ke arah mereka berduanya. Ia menatap buku itu dengan seksama. Helaan nafas terlihat jelas di sana. Dia pun menghampiri keduanya.
"Kau bisa memiliki buku itu, Laura." Pustakawan berbicara dengan nada lembut.
"Tapi, Miss, buku ini milik kampus. Aku tidak bisa membawanya." Sang pustakawan memegang tangan Laura lembut.
"Panggil aku Miss Ana. Buku itu sudah tidak dibutuhkan. Aku bahkan berniat membuangnya." Laura dan Amber menatap Ana dengan pandangan curiga. Mereka bingung kenapa Ana tahu nama Laura.
"Bagaimana Anda bisa mengenal saya, Miss?" Pertanyaan Laura di hadiahi tawa oleh Ana.
"Kau sering meminjam buku di perpustakaan ini. Tentu aku tahu namamu dari kartu mahasiswa milikmu." Laura tersenyum canggung lalu menunduk malu.
"Bawalah pulang buku ini. Simpan baik - baik." Ana beranjak dari kursi lalu kembali ke tempatnya. Setelah dia pergi, Amber mendekat ke arah Laura.
"Kau yakin akan membawa buku itu?" Sejujurnya, Amber tidak ingin Laura terlibat hal diluar nalar.
"Ya, mau bagaimana lagi. Nanti kalau akan sudah selesai membacanya, aku akan berikan buku ini ke perpustakaan kota." Laura memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Ia kemudian beranjak dari kursi.
Amber termenung beberapa detik. Dia kemudian berlari menghampiri Laura yang masih berdiri di ambang pintu.
"Jangan lambat seperti siput," ejek Laura sambil terkekeh geli.
"Cih, ejek terus sampai berbusa."
Kegiatan mereka dari awal sudah dipantau oleh sosok bertudung hitam yang ada di pojokan. Sosok itu menghilang setelah keduanya pergi.