Melupakan Segalanya

2069 Words
Delete. Satu kontak berhasil terhapus. Helena mengembuskan napas pendek, butuh usaha besar untuk hal sekecil menghapus kontak. Ada beribu kenangan, cinta, dan rindu yang masih ditinggalkannya untuk pemilik kontak itu. Ia bahkan masih ingat saat satu notifikasi chat masuk ke dalam ponselnya siang itu. "Save nomor saya, Yoga Basudewa Prasti." Helena menelungkupkan wajahnya di meja, ia merasakan kekosongan yang teramat dalam relungnya. Bullshit, dengan omongan dia akan mencintai Helena sampai kapanpun. Karena yang tulus akan kalah dengan yang selalu ada. Berulang kali dia melihat gadis bernama Fani. Dia tidak cantik, tapi sangat cantik, pintar, supel, dan berjiwa seorang leader. Semua hal yang diidamkannya ada dalam diri Fani. Yoga pasti berbohong jika ia bersahabatan dengan Fani, sahabat macam apa yang menikahi sahabatnya sendiri. Perjodohan? seorang Yoga lebih dari mampu mencari wanita selain sahabatnya sendiri. Apa namanya kalau pernikahan mereka bukan karena cinta? Setumpuk foto tergeletak rapi di sebuah boks bertuliskan 'SAMPAH RESIDU' bersamaan dengan sampah lainnya. Ternyata melupakan lebih berat daripada melepaskan. Meskipun sudah dilepas dengan terpaksa, Helena selalu lupa bahwa Yoga tidak lagi miliknya, sampai ia selalu ingin memeluk pria itu seperti biasanya. Hatinya mendidih setelah sebuah foto dikirimkan kepadanya. Bukti kuat untuknya agar lekas mundur dari pertahanan mencintai Yoga. Sementara itu, Yoga merasakan hal aneh pada orang-orang kantornya pagi ini. Setiap yang ditemuinya melempar senyum geli kepadanya. "Mereka kenapa sih?" tanya Yoga heran. Arul, temannya menepuk pundak Yoga dengan senyum yang sama. "Gilaaa lo ya Ga, ngadain resepsi enggak, tapi yang mesra-mesraan elo. Seluruh tamu undangan iri liat kalian," ujar Arul dengan nada iri berat. Wait. Tamu undangan? Resepsi? Jangan bilang- "Apa lo belom check notifikasi i********: lo pagi ini, Bro?" Lekas ia mengambil ponselnya. Mata Yoga melotot saat notifikasi di i********: bejibun dengan komentar bermacam-macam. FaniAresta_ What's called a wet kissing, hem? Sebuah foto saat mereka berciuman diambil dari jarak terdekat. Entah siapa yang kurang kerjaan mengambil foto mereka saat itu. Tapi yang Yoga tahu, ia terlihat sangat menikmati ciuman itu dengan Fani. Rest in peace, Yoga. "Faniiii," geram Yoga. Ia mengontak gadisnya saat itu juga. Dua kali dering lalu suara Fani terdengar. "Ya, dengan Fani Aresta Boutique, siap melayani anda," sapanya ramah. "Nggak usah becanda," tegur Yoga tanpa basa-basi. Fani tertawa kencang. "Eh, aku kira kamu klien Ga, soalnya namanya Gaga, sama kayak kamu, tapi masih gantengan kamu-" "Nggak usah banyak bacot. Hapus foto itu sekarang juga!" perintahnya tak terbantahkan. Mendengar suara Yoga dengan emosi maksimal, Fani tetap melanjutkan aksinya ini tanpa beban. Sejauh mana Yoga akan melarangnya atau dia hanya gertak sambal. "Fan, lo masih di sana, kan?" tanya Yoga gelisah. Ketika Yoga sudah memakai 'gue-elo' di situ dia tengah emosi paling puncak karena takut akan sesuatu terjadi. "Apa sayaang? kamu nggak liat apa, di situ kamu menikmati banget pas ciuman sama aku." Fani menyentuh bibirnya kemudian tersenyum geli. "Gue. Bilang. Hapus!" tekan Yoga lagi. Fani menggeleng, kemudian ia menolak, "Ga, kayak orang malu aja sih, kita udah halal sayang. Tenang aja. Nggak bakal diciduk polisi terus diamanin dengan kasus prostitusi atau tindak m***m di tempat keramaian." Serius sekali Fani menjelaskannya, padahal di ujung sana Yoga sudah ingin mencakar wajah Fani kalau di dekatnya. "Heh, gue samperin elo sekarang. Awas aja kalo lo ngumpet." "Aku bakal nyambut kamu dengan tangan dan baju terbuka," ucap Fani m***m. Bocah kampret! Gadis itu tidak tau saja kalau Yoga makin nanjak-nanjak setelah mendengar jawabannya. Merasa dipermainkan gitu. Padahal bukan kali ini saja Fani melakukan hal ini sebelumnya. Berulangkali foto di i********: Fani selalu menandai dirinya, tapi kali ini Yoga kalut. Takut sesuatu terjadi, semakin runyam urusannya jika orang tersebut salah paham. "Lo di mana?" tanya Yoga gelisah. Fani mengedarkan pandangannya. Dirinya sudah rapi untuk kerja, tapi waktu luangnya masih tersisa dua jam sebelum dia berangkat keluar kota, cukup untuk membuat Yoga emosi. "Enaknya di mana Ga? di kamar aja gimana?" tanya Fani seolah pada dirinya sendiri, "Iya, di kamar aja. Nanti biar gampang kalo mau enaena." Fani ngakak di ujung sana. Yoga makin gemas dengan ulah Fani. "Gue pengen cepet-cepet sampai kalo udah kek gini." Fani memelotot. "Pasti udah pengen kissing sama aku?" "Pengen makan lo!" Dan bantingan ponsel didengar Fani sebelum sambungan terputus. Fani tertawa kecil. Yoga itu kaku, tapi sekalinya romantis, dia bisa membuat Fani terbuai, tatapan matanya selalu melumpuhkan kerja otaknya. Braak! Mampus! Fani beranjak dari duduknya, melihat Yoga tergesa-gesa memasuki rumah. Fani menghadang Yoga di depan pintu kamar. Pria itu melacak keberadaan sesuatu. "Mana ponsel lo?" "Kamu bukan lo," ralat Fani. Yoga tak menggubris, justru pria itu memojokkan Fani, menguncinya dengan tatapan selembut pria dengan gairah yang meledakkan jiwa. Pria itu mengusap rambut Fani, mencium aroma apel di shampo yang habis dipakai gadisnya, ia mengangkat sedikit dagu Fani. Melumpuhkan kerja otak Fani sejenak dengan tatapan melenakan. "Berikan ponsel itu, Fan," titahnya. Fani dengan gerakan gugup merogoh saku celananya dan memberikan ponselnya pada Yoga. Setelah mendapatkan, Yoga menyeringai kecil, pria itu menjauhkan badannya segera. "Thanks, Fanii, bakal gue hapus foto aib semalam." Fani tersadar dan terkejut saat ponselnya sudah berpindah tangan pada Yoga. s**t. Semudah itu ia dikendalikan oleh pria yang sekarang menjadi suaminya. Sejak dulu ia tak pernah bisa menolak saat Yoga meminta. Bucin. Apalagi Yoga itu anaknya sadar pesona, dia tahu Fani tak kan bisa menolak ajakan atau perintahnya. Beberapa detik setelah Yoga memegang ponselnya, senyum geli terbit di bibir mungilnya. "Password lo apaan?" tanya Yoga. "Nggak tau!" "Fan!" Fani memalingkan pandangannya sebelum Yoga membuatnya seperti terbius dengan ucapannya. Mengerti tidak mungkin lagi memaksa Fani, Yoga memberi ancaman lain. "Kalo lo nggak ngasih tau passwordnya sekarang, gue sita ponsel lo sampe pulang kerja," gertak Yoga. Fani memeletkan lidahnya mengejek. "Bodoamat. Ambil aja, palingan sampe sore nggak bakal bisa dibuka," ejek Fani. Yoga mendecak kesal. Ia tidak akan pernah main-main dengan ucapannya. "Awas aja ya lo, kalo sampe nanti sore ilang. Pulangnya bakal gue siksa lo hidup-hidup," ancam Yoga makin ngaco. "Disiksa pake ciuman? enaena? aku ikhlas Ga." "Awas aja lo! gue pakein rantai biar lo—" Ponsel Yoga berbunyi, menginterupsi ancaman yang dibuatnya. Yoga menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia meninggalkan Fani karena seseorang telah menghubunginya. Ia lupa telah meninggalkan kantor. Semua itu karena Fani. Yoga meninggalkan Fani tanpa sepatah kata. "Hati-hati di jalan ya, Gaaa," teriak Fani riang, "kalo kamu liat galeriku, jangan kaget. Isinya bakal buat gairah kamu makin meledak. Aku jamin," imbuhnya diiringi tawa. Cewek sarap! Bangsat! cewek bar-bar kayak gitu dinikahin sama gue? Apes banget nasib lo, Ga! Sepeninggal mobil Yoga, sebuah mobil menyusul datang, Fani dengan segera menghampiri mobil tersebut dan menyapa pengemudinya. "Sorry, udah ngerepotin kamu," ucapnya sungkan pada pria di balik kemudi. "Nevermind, Fan. Tenang aja, aku nggak bakal repot kalo kamu yang minta," jawabnya yang hanya dibalas kedikan bahu. Omongan manisnya selalu dianggap Fani angin lalu. Cewek itu sendiri, mengeluarkan ponsel lain dalam tasnya. Yoga tidak tahu saja, saat ponsel Fani digenggam olehnya satu pesan telah meluncur ke orang lain. "Partner kerja gue yang baik sekali, tolong jemput saya bisa? suami saya lagi sibuk, udah berangkat pagi banget." *** “Yang berat itu bukan tentang kehilangannya, tp membiasakan diri tanpa kehadirannya.” Sepertinya Helena harus menerima ucapan itu, karena yang terjadi sekarang adalah Helena benar-benar gila saat kehilangan Yoga. Harusnya ia bisa memprediksi bahwa yang namanya boss tetaplah cowok b******k yang bakal meninggalkan anak buahnya kapan saja. Sultan mah bebas, pengen penghibur aja pakai acara beliin cincin. Ngajak makan di resto mahal. Di saat ia menaruh Yoga dalam hati, pria itu menaruhnya dalam mulutnya saja. Tidak benar-benar mencintai Helena. Ada lusinan pria yang pernah dikenalnya, dari yang lokal sampai yang bule. Dari yang partner kerja sampai yang CEO. Semua pernah menatap Helena memuja. Tapi, kenapa ia harus jatuh hati pada bossnya kali ini? Berulang kali ia menjadi sekretaris dan menghadapi boss yang sering m***m. Tapi, mengapa ia harus tertawan pada Yoga yang sejarahnya tak pernah membuatnya mendesah. Dulu Helena sering memuji dirinya, karena mempunyai tubuh semolek ini. Setiap pria yang memandang selalu memujinya dan berakhir dengan mengajaknya berkencan. Tapi, Yoga? Ia berbeda. Yoga tidak hanya menawannya, tapi ia juga membuat Helena berharap bahwa kenangan mereka tak lekang. "Harus banget makan siang di sini ya Ga?" tanyanya kepada Yoga yang sudah melahap ketopraknya siang itu. "Kenapa? enak kok. Coba deh makan dulu." Helena tersenyum paham. Biarpun namanya boss, selera makan tidak bisa membohongi bahwa dia berasal dari keluarga biasa dulunya. Helena mulai menyuap sendok pertamanya dengan ragu, detik kemudian dia tersenyum. Makanan pinggir jalan tidak seburuk bayangannya. Sehabis makan, barulah masalah datang, ban mobil pria itu kempes, padahal pergi tadi keadaan baik-baik saja. "Gimana dong?" paniknya. Yoga memutar otak, dibukanya maps dan berdecak kesal setelah menemukan apa yang dicarinya. "Ada bengkel mobil tapi satu kilo dari sini." "Terus kita gimana balik kantornya? kamu sih, minta makan ke luar. Jauh lagi," omel Helena tanpa bisa dicegah. Yoga menyeringai. "Ya kita jalan aja. Aku bakal nyuruh orang buat ambil mobilku ke bengkel nanti aja." Mereka berjalan dua puluh menit sebelum Helena pasrah dengan sepatu heels-nya. Kakinya bakal lecet parah jika dipaksa berjalan dengan sepatu itu. Tapi, Yoga dengan segala kebucinannya, berbalik memunggungi Helena. Gadis itu tergagap. "M-mau apa Ga?" Pria itu melengak sebelum berdecak kesal. "Sini aku gendong cepet. Kaki kamu bisa lecet parah kalo sampe dipaksa jalan sampe kantor." Helena ragu-ragu naik ke punggung Yoga, ia mengalungkan lengannya ke leher Yoga. "Ga," panggilnya. Yoga menoleh, Helena mencium pipinya sekilas. "Thanks banget ya, sia-sia dong kamu makan ketoprak tadi. Akhirnya laper lagi. Kenapa kita nggak pesan ojek online aja sih," usul Helena sambil melamun. Seketika Helena diturunkan, gadis itu terpekik kaget saat Yoga tanpa kata menurunkannya. Pria itu merogoh ponselnya. "Kenapa nggak bilang dari tadi. Kita, kan bisa pesen ojol," omelnya. Gadis itu menabok punggung Yoga keras. "Ya kamu nggak gini juga kali. Asal nurunin anak orang. Sakit tauk!" Pria itu hanya meringis ganteng. Helena juga pernah dibuat Yoga nyaris mati berdiri. Saat itu ia menemukan Yoga tengah tersenyum-senyum di ruangan. Saat ia dipanggil pria itu untuk satu laporan. "Kamu belom mengerjakan satu laporan lagi, Lena," ucap Yoga dengan raut serius. Ia tampak mencari satu berkas dalam map dan memberikannya pada Helena. Gadis itu merasa bingung. Semua pekerjaan selalu dikerjakan hari itu juga. "Laporan apa?" "Baca saja. Kamu perlu tanda tangani itu." Helena membuka berkas tersebut dan tersenyum saat ditemukannya sebuah surat cinta bukan laporan seperti yang dikatakan Yoga. Ia membalik kertas sesuai petunjuk dan makin terkejut. 'I Love You, Helena Putri Atmadja?' Sebuah cincin ditempelkan di sana dengan solatip. Langsung saja gadis itu menabok lengan Yoga. "Si Gilaaaaa. Gimana kalo cincinnya jatuh? Ini cincin mahal Gaaa," pekik gadis itu panik. Yoga tidak bisa membayangkan hal itu jika benar-benar terjadi, padahal membeli cincin itu ia harus siap menyeret Fani dulu untuk memilih yang terbaik sebelum akhirnya dia juga harus merelakan voucher game-nya dikuras Fani di Timezone. Yoga tertawa keras. "Gimana? kamu suka?" Helena tidak bisa berkata-kata selain menganggukkan kepalanya. Pria itu mendekat dan mencium bibir Helena. Merasakan aroma cherry dari lipcream yang dipakainya pagi itu. Gadis itu mengalungkan lengannya di leher Yoga, mulai memejamkan mata saat lidah mereka saling bertaut, menukar air liur. Ciuman panas yang membuat Helena bertekuk lutut. Yoga menjauhkan wajahnya dan tersenyum. "I never play, when i love you, Babee," ucap Yoga mengecup bibir mungil Helena. "Bagaimana dengan cewek di luar sana. Mereka pasti iri berat liat kamu kayak gini." Yoga mengusap bibir Helena, "Kita buat mereka nightmare sekalian. Mereka pasti iri berat sama kamu, Len." Helena tertawa. "Kalo cuma kencan sama kamu, semua cewek juga bisa kayak aku. Tapi kalo sampe ada yang lebih dari itu ...," putus Helena, "mungkin aku bakal jadi lucky girl, karena memilikimu." Yoga terdiam sejenak. Keningnya berkerut sebelum bertanya, "Maksudnya?" Helena memainkan jemarinya di d**a Yoga, kemudian tersenyum malu. "Andai kamu bisa jadi suami aku Ga. 'Cause i hope you become my future, Babe." Yoga menyeringai. "You will get it." "Kapan?" Yoga terdiam lagi. "Besok gimana?" Kemudian mereka tertawa keras. "Bercandaaa. Tapi, secepatnya aku akan bilang sama Papa-Mama." Bercanda. Helena tersenyum saat itu. Sama seperti di detik ini, ia juga tersenyum saat ini. Ia tertawa atas kebodohannya yang mempercayai Yoga begitu saja. Harusnya ia tahu, saat itu Yoga hanya bercanda dan harusnya dia tertawa, bukannya jatuh cinta. Ditutupnya boks coklat itu bersama kenangan yang mulai mengabur, bersama dengan surat cinta Yoga dan segala barang yang pernah diberikannya. Dibenamkannya boks itu di deretan terbawah loker miliknya. Belum puas dengan itu, ia mengunci loker itu, mungkin untuk selamanya. Ternyata melupakan sesulit ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD