Yoga Basudewa
Orang bilang fall in love itu indah, padahal fall itu sakit. Jatuh, ya, jatuh, nggak ada jatuh yang membuat hidup orang bahagia. Meskipun setengah mati tidak percaya sama yang namanya jatuh cinta itu bakal berakhir bahagia, tapi Fani tetap berharap bahwa ia akan dianugerahi kebahagiaan tanpa batas. Misalnya saja, Yoga yang bakal mencintainya sampai nyembah-nyembah.
"Aku mau berangkat, ada meeting penting." Ucapan Yoga membuat Fani terlempar kembali ke alam nyata. Pria di depannya sudah beranjak dari duduknya, Fani bergegas memberikan tas kerja pada pria itu dengan senyuman cerahnya.
"Hati-hati di jalan ya ... Babe," goda Fani sambil mengedipkan matanya pada Yoga. Pria itu hanya melengos membiarkan godaan Fani mengambang di udara.
Begitulah tingkah Yoga pada Fani. Masih sama seperti kemarin, juga masih seperti minggu lalu, masih sekeras tiga bulan yang lalu saat mereka menikah. Tak ada cium pipi dan cium kening. Tak mengapa, Fani masih bisa berjuang lebih dari hari ini.
"Mas," panggil Fani.
Yoga menghentikan langkahnya tanpa mau berbalik. "Apa?"
"Jangan lupa belajar mencintaiku hari ini ya?" Fani menarik turunkan alisnya dengan imut. Pria itu hanya memencet hidung mancungnya dan kembali meneruskan langkahnya yang tergesa. Cewek itu tersenyum geli, setidaknya cukup untuk hari ini, cukup dengan Yoga berhenti dan memencet hidungnya, itu berarti Yoga masih menganggap keberadaannya di sana.
Masalahnya Yoga seringkali lupa dengan keberadaannya di rumah mereka, padahal jelas sekali siapa yang sering menyiapkan baju kerja Yoga tiap pagi, siapa yang menyiapkan kopi Yoga tiap harinya, dan masih banyak lagi tugas Fani untuk sekadar disebutkan di sini.
Seringkali Fani menyesali keputusannya untuk jatuh hati pada Yoga secepat ini, hanya dengan menatap mata Yoga, Fani merasa aman.
Tiga bulan yang lalu, tepat di tempat dan waktu yang sama persis. Pukul delapan pagi di kamar pengantin mereka, satu hari setelah acara pernikahan mereka, Yoga mendatangi Fani yang sibuk berbenah rumah baru mereka.
"Aku mau ngomong sama kamu," ujar Yoga datar.
"Ngomong apa sih?" Fani menghentikan pekerjaannya sejenak. Yoga sendiri kelabakan begitu ditatap Fani sedemikian rupa. "Dan nggak perlu natap aku kayak gitu."
"Aku tau pernikahan kita bukan lahir dari sebuah cinta, kita adalah dua orang yang sama-sama terjebak dalam pernikahan akibat janji lama orangtua kita dan kamu tau siapa orang yang aku suka, Fan." Yoga melayangkan tatapannya pada Fani yang masih mendengarkannya dengan saksama. Di bagian ini, Yoga sedikit gelisah.
"Terus?" pancing Fani membuat Yoga semakin tak nyaman.
"Dan aku nggak bisa nyentuh kamu secepat ini." Usai kata itu keluar, Fani menganga dengan tatapan kosong. Ia seperti tak mengenal Yoga tiga bulan ini.
"Terus kamu mau kita seperti apa? Orangtua kita bakal sedih liat kita kayak orang asing gini, Ga," lirih gadis itu.
Yoga sudah memikirkan cara terbaik saat ada pertanyaan yang serupa dilontarkan oleh Fani. Pria itu duduk di ranjang, memberikan jarak pada Fani yang menunduk menautkan kedua jemarinya.
"Kita harus pura-pura saling jatuh cinta, Fan," pinta Yoga, "kita harus meyakinkan orangtua kita dengan seolah-olah kita sudah saling mencintai dan ... lakukanlah peranmu sebagai istri yang baik di depan mereka saja."
"Tapi, Ga ... gimana kalo mereka akhirnya tau kita cuma pura-pura saja?" ujar Fani pelan.
"Loh kenapa? bagus dong, nanti kita tinggal urus surat perceraian saja." Kini Fani makin kaget dengan ucapan Yoga. Ini benar-benar bukan Yoga sahabatnya, bukan Yoga yang dikenalnya selama ini.
"Kenapa nggak sekarang aja kamu ceraikan aku?"
Yoga menggenggam erat tangan Fani dengan tatapan memohon. "Aku hanya ingin menuruti kemauan mereka selama ini, aku tidak ingin menyakiti mereka. Kamu tau aku tak mungkin menyakiti ibu, kamu sahabatku Fan, selamanya akan jadi sahabatku," jelas Yoga penuh keyakinan.
Fani makin menundukkan kepalanya dalam-dalam meresapi setiap kalimat yang dilontarkan Yoga, semuanya terasa pecah, mengambang di udara.
Semenjak itu pula segala yang dilakukan Yoga untuknya adalah ilusi, segala keromantisan Yoga, baginya adalah sandiwara.
***
Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah ketika kamu sudah tidak dipercaya oleh orang yang kamu cintai. Ketika orang yang pernah mengisi hati kamu mendadak menjadi orang asing yang menyapamu dari balik kaca, seolah sengaja memberikan jarak untuk kamu atas segala dosa yang kamu perbuat.
"Selamat pagi, Pak," sapa Helena.
"Pagi, Say—" Helena memalingkan mukanya pada setumpuk berkas di mejanya. Yoga melanjutkan langkah dengan senyum hambar. Ini sudah terjadi selama tiga bulan. Helena, kekasihnya, yang sekaligus sekretarisnya menjadi dingin kepadanya. Semenjak sepucuk undangan bertuliskan nama Yoga dan Fani tercetak di sana. Helena menjadi hancur, kemudian ia membangun dinding kokoh untuk membatasi segala yang mungkin akan membuatnya hancur lagi. Seorang Yoga telah menjadi milik orang lain, sebagai perempuan yang berpendidikan dia tidak ingin merusak rumah tangga orang lain dengan bersikeras memikat suaminya. Meski ia tahu, bahwa mereka saling mencintai.
Pria itu mengempaskan tubuhnya ke kursi, memijit pangkal hidungnya, merasai penat yang melanda. Entah mengapa hidupnya menjadi seruwet ini. Helena-nya yang manis dan kalem, Helena yang manja berubah dingin. Dan seperti tidak ada lagi rasa cinta yang tersisa di mata gadis itu. Retina Yoga menangkap foto pernikahannya dengan Fani.
Orang yang sudah menjungkir balikkan hidupnya sampai menjadikannya sehampa ini.
"Fan, coba liat deh cewek yang pake baju biru itu," ucap Yoga siang itu di suatu kafe bersama Fani saat makan siang. Fani melongokkan kepalanya dan melihat gadis manis menyebrang jalan untuk kemudian masuk ke minimarket.
"Iya liat. Emang siapa sih?"
"She's my girlfriend. Gimana menurut kamu?" Fani menganga dengan ekspresi tak percaya.
"Udah punya pacar aja, nggak bilang sama aku lagi." Fani melongokkan kembali kepalanya seolah mencari keberadaan gadis itu. "Namanya siapa?"
"Helena."
Yoga menyimpan detail kenangan bersama Fani yang melibatkan Helena.
"Ya ampun, Gaaaa ... kamu kalo mau beli cincin suruh mbaknya pilihin sekalian, nggak perlu ngajak aku ah," keluh Fani saat Yoga menyeret paksa untuk ikut mencarikan cincin buat kado Helena.
"Heh! Mbaknya pasti bilang kalo semua model cincin bagus di tangan Helena. Aku nggak mau ketipu, lagian lingkar jari Helena kayaknya satu ukuran sama kamu."
Fani memejamkan matanya pasrah saat Yoga menggamitnya masuk ke toko perhiasan. "Aku berdoa semoga Helena senang dengan pilihanku yang pastinya asal-asalan."
Yoga mendelik ke arah Fani. "Pilih pake hati dong, Fan."
"Kenapa nggak ajak orangnya sekalian ke sini sih?"
Yoga melengak sebentar sebelum melihat-lihat etalase yang memamerkan cincin emas. "Kalo diajak nanti nggak surprise dong kadonya."
Seorang pelayan mendekati mereka. "Mau pilih cincin buat tunangannya ya, Pak?" sapa pelayan ramah. Yoga menoleh ke arah Fani yang diam mematung dengan wajah kesal.
"Dia bukan tunangan saya kok, dia asisten saya." Mendengar ucapan Yoga, Fani mendelik di belakang pria itu. "Mbak, bisa tolong carikan cincin yang bagus buat dia?"
Pelayan itu mengangguk dan mulai mengambil beberapa model cincin yang menurutnya indah. Fani mengamati setiap model cincin beserta harganya. Nyaris jantungan karena harga dari setiap cincin bakal menguras dompetnya selama dua bulan.
Fani mengambil satu cincin, terlalu simpel untuk ukuran cincin yang dibandrol mahal, tapi juga terlihat elegan, dan manis saat dipakainya. "Indah sekali," celetuk Yoga tanpa sadar. Fani mematung, menatap jemarinya yang terbalut cincin emas itu.
"Good job. Udah Fan, kita ambil yang itu aja, aku yakin Helena pasti suka sama cincin pilihan kamu. Dia manis banget pastinya pas pake itu," ujar Yoga sembari menerawang.
Fani menyunggingkan senyum tipis. "Iya, pasti manis banget."
Yoga menggelengkan kepalanya, mendadak ia bisa mengaitkan segalanya satu persatu. Tingkah Fani, ucapan gadis itu, dan tawa gadis itu.
"Ngapain sih, kita makan di restoran kayak gini?" tanya Fani begitu sampai di restoran yang dipilih Yoga. Suasananya memang romantis, sangat pas untuk sepasang kekasih yang akan menghabiskan malam minggu mereka di sana.
"Ini bukan masalah restorannya Fan, tapi yang aku denger, ayam panggang di sini enak banget, kita perlu cobain," kilahnya saat itu. Yoga menggenggam tangan Fani yang kemudian mendapat tatapan aneh dari pemiliknya.
"Aku alergi makan di restoran kayak gini, beresiko baper berkepanjangan," celetuk Fani seperti biasanya.
Yoga tertawa.
"Emang kamu nggak tau kenapa aku sampe ngajak kamu ke sini? coba deh liat lilin-lilin di jembatan itu, lagu endless love yang kamu denger, dan suasana remang yang romantis. Apa sejauh ini kamu masih belom paham kenapa aku ngajak kamu ke sini?" Pertanyaan Yoga hanya dibalas dengan tatapan tidak mengerti Fani.
Yoga makin menggenggam erat jemari Fani. "Aku cinta kamu, Fan."
Mulut Fani terbuka lebar, dia menatap Yoga tak habis pikir. "Se-serius kamu, Ga?"
Dan pecahlah tawa Yoga setelah melihat ekspresi Fani saat itu. Dia cukup bahagia melihat respon Fani yang membuatnya mengulas senyum lebar. "Sumpah, lucu banget ekspresi kamu pas kaget," ucap Yoga dengan sisa-sisa tawanya, "gimana Fan, akting aku keren gak? rencananya aku mau nembak Helena di sini, kayak tadi."
Wajah Fani seketika berubah, seperti kelabakan dengan perasaannya yang kacau. Gadis itu ikut tertawa, meski, nampak kaget.
"Ya ampun, Gaaa ... aku pikir kamu udah nggak sehat ngajak aku ke sini, nembak aku lagi." Fani kembali meneruskan tawa hambarnya.
"Gilaaa! keren banget deh akting kamu. Helena pasti suka banget sama momen ini." Yoga menaikkan alisnya bangga. "Yoga Prasti dooong."
Yoga memejamkan matanya lelah. Harusnya cukup dengan tiga kenangan tadi Yoga bisa menyimpulkan mengapa Fani tak menentang perjodohan ini sejak awal seperti dirinya. Mengapa Fani mengiyakan saja perjodohan ini begitu saja, karena kenyataannya Fani mencintainya. Itu alasan yang super logis untuk saat ini dan Fani adalah satu pengkhianat yang memisahkan dia dengan Helena.
***
"Hari ini kita diundang makan di rumah ibu, ada acara syukuran, ibu baru buka cabang butik baru di Surabaya," ucap Yoga datar.
"Jam berapa?" Fani menoleh sebentar untuk kemudian fokus pada jalanan di depannya. Yoga memberikan ponselnya pada Fani, gadis itu menerimanya dan lagi-lagi menahan napas sebentar, bukan karena acara itu akan dilangsungkan sekarang dan dia belum sempat dandan sehabis pulang kerja ini, tapi karena wallpaper Yoga adalah Helena dengan pakaian kerjanya, nampak manis sekali.
Sampai kapan hatinya harus dibuat sakit seperti ini?
Yoga mengamati raut mendung Fani di sampingnya, sedikit tak peduli karena hal apa, namun, juga heran karena ponselnya tak kunjung kembali. "Jangan liat isi ponselku lebih dari yang aku izinkan," seloroh Yoga membuat Fani cepat mengembalikan ponsel pria itu.
"Mana belom mandi lagi," keluh Fani. Gadis itu mengambil bedak di tasnya memoles sedikit agar wajahnya tidak terlihat lesu, sedikit lip cream pink yang seringkali membuat pikiran Yoga keruh. Fani tampak mempesona.
"Mas."
"Apa?"
"Aku udah keliatan cantik belom?" tanya Fani sambil cengar-cengir. Fani mendekatkan wajahnya pada Yoga yang langsung direspon gugup oleh pria itu.
"Nggak usah deket-deket," pinta Yoga kelabakan.
Fani tertawa geli. "Aku cuma nanya ih, cantik nggaaaak? Soalnya aku ngerasa lengket banget. Pasti aku bau nih," gerutu Fani. Yoga mengamati Fani sekali lagi, meski tidak munafik seringkali ia memuji Fani cantik tanpa make up, Fani selalu terlihat fresh dan mempesona. Pria itu meringis lagi, sudah berapa kali dia memuji Fani sekaligus membencinya. Apa-apaan ini?
"Udah cantik," jawabnya datar. Fani senyum-senyum mendengar respon Yoga. Pria itu sibuk mengambil sesuatu di sakunya, setelah menemukan ia melemparkannya pada Fani.
"Pake parfum aku dulu, lain kali kalo ada kayak gini, bawa parfum sendiri biar nggak ricuh," katanya lagi. Fani menyemprotkan parfum Yoga, merasakan aroma elegan yang dimiliki Yoga, dia seperti dipeluk oleh pria di sampingnya.
Melihat Fani memejamkan mata seolah menghayati sesuatu, insting Yoga bekerja cepat menyimpulkan kegiatan apa yang dilakukan Fani saat ini.
"Pasti traveling tuh halu," sindir Yoga, "nggak usah mikir kejauhan, aku cuma ngasih parfum doang juga."
Fani melengos mendengarnya.
Resti, ibu Yoga menyambut mereka dengan senyum lebar, hal yang paling membuat Fani sakit adalah senyum di keluarga Yoga, mereka sangat menyayangi Fani lebih dari apapun. Dan melihat Fani bersatu dengan Yoga adalah penantian paling lama yang diinginkan keluarga ini.
"Ya ampun, pasti kalian capek, kan?" Baru datang saja, Fani langsung dipeluk oleh kenyamanan di keluarga ini.
"Iya, tapi abis liat ibu, Fani jadi semangat lagi nih. Ada yang perlu diangkat-angkat nggak nih? Biar Fani bantu," tawarnya.
Resti menggeleng. "Kamu duduk saja sama Yoga, sudah ada Dave tuh yang angkat-angkat barang sekaligus persiapan pesta barbeque."
Resti berpaling menatap putranya, Yoga mengerutkan kening saat ibunya menatapnya gemas. "Kenapa, Bu?"
"Yoga ... Yoga, kamu itu harus disuruh berapa kali sih buat motong rapi rambutmu, masa udah punya istri masih nggak malu berantakan gini," omel Resti seperti mengoneli anaknya yang masih kecil.
Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diomeli ibunya di depan Fani tetap saja membuat dia malu, meski Fani berulangkali tahu pemandangan ini. "Aku sibuk, Bu. Jadi nggak sempet motong rambut, pulang dari sini deh aku potong yang rapih."
"Maaa, udah siap tuh." Panggilan dari Dave menyelamatkan Yoga dari amukan Resti. Yoga cengar-cengir saat Resti berlalu dengan sebal. "Lo emang yang terbaik, Buddy." Yoga merangkul pundak Dave kemudian tertawa bareng.
"Orang kayak Yoga bisa juga takluk nunduk di depan ibu, gue pikir lo cuma takluk di ranjang sama istri sensual lo itu." Yoga menoleh ke belakang, menatap Fani sejenak kemudian melenggang dengan cuek.
Fani tidak ingin meratapi nasibnya di keluarga ini, saat ini, di waktu yang bahagia yang diciptakan keluarga ini. Dia harus berusaha seprofesional mungkin untuk ikut bahagia.
"Kapan kalian mau punya anak?" tanya Dani, ayah Yoga.
Mereka saling tatap, kemudian Yoga tertawa kecil. "Baru diusahakan terus, Yah. Ayah tau nggak, Fani ini lagi sibuk sama kerjanya, iya gak Fan?" Yoga merangkul Fani kemudian mencium pipi Fani mesra. Fani tersenyum, maksudnya, kita mulai main peran gitu ya, Ga? batin Fani pedih.
Fani mengangguk. "Perusahaan lagi kencengin promosi, apalagi aku juga ngurus anak magang di kantor, suka pulang telat."
Dani tersenyum paham. "Asal kalian bahagia saja, Ayah sudah seneng. Liat kalian saling mengerti, memahami satu sama lain." Fani tersenyum kecil. Setidaknya untuk malam ini semuanya berjalan dengan lancar. Karena setelah acara itu, Yoga kembali beku di depannya, kembali menjadi patung tak bernyawa yang tak akan menjawab pertanyaan Fani.
Malam itu, selepas acara itu, Fani seringkali dihantui pertanyaan apakah Yoga benar-benar membencinya dan tidak ingin melihatnya walau sebentar? Pria itu telah terlelap dalam tidurnya, di sofa sana. Lagi-lagi, untuk menipu semua orang, Yoga rela tidur sekamar dengan Fani, namun, tidak satu ranjang.
Fani tersenyum. Baru tiga bulan berjalan, masih ada waktu banyak untuk Yoga, untuk usaha Fani membuat Yoga sadar bahwa ia sangat mencintai Yoga setengah mati.
"Ga, sampe kapanpun aku bakal perjuangin kamu, pernikahan kita, aku harap yang cintamu yang awalnya pura-pura bakal jadi nyata. Dan aku bakal menunggu waktu itu tiba," tekad Fani sembari terus menatap Yoga yang terpejam.
***
"Siapa sih namanya?" Fani segera menutup layar ponselnya dengan tangan. Sheryl, sahabatnya dari SMA yang sama bobroknya, sama-sama sablengnya. Mereka menghabiskan weekend dengan muter dan memanjakan mata dengan isi mall.
"Namanya Yoga. Lo harus tau orangnya, karena dia tipe lo banget," ujar Fani dengan senyum geli. Mendengar ucapan Fani, Sheryl tergugah untuk melihat akun sosial media milik Yoga.
"Idola Marc Marquez, penggemar berat karya Taylor Adams, wajah—" Sheryl menatap Fani tak percaya. "Gila aja Fan, ini tipe gue banget, dia peranakan Amerika apa gimana sih? Gila cakep paraaah."
Fani tertawa.
"Yang gue tau, dia tergila-gila sama yang namanya ketoprak." Tawa Fani makin kencang saat Sheryl membulatkan matanya.
"Anjir ... cakep-cakep lidah udik ya, namanya aja yang keren. Yoga Basudewa Prasti, tapi, makannya ketoprak pinggir jalan," komentar Sheryl tak tanggung-tanggung. Sebagai cewek yang hidupnya keluar masuk negara seenaknya, karena suaminya jaksa. Makanan pinggir jalan adalah hal yang paling dibenci. Udik katanya. Anak orang kaya tidak menyentuh makanan rakyat. Fani tertawa lagi.
"Tapi, doyan vodka nggak tuh?" Sheryl malah ngelantur menanyakan hal aneh. Kening Fani berkerut, seingatnya, Yoga tak pernah masuk club seperti pria-pria berjas lainnya.
"Nggak doyan cewek, nggak doyan vodka dan segala yang berbau setan kayak lo," tandas Fani.
"Fix, dia nggak bakal liat gue yang banyak dosanya ini. Jangankan liat, lewat depan gue pasti tutup idung," keluh Sheryl. Fani makin kencang tertawa.
Setiap orang memang punya cara tersendiri buat menghilangkan penat di otaknya, mulai dengan cara yang normal sampai cara yang paling sangar. Dan, untuk ukuran masalah Fani kali ini, ia punya cara ampuh untuk menghilangkan masalah tanpa masalah. Motto Sheryl yang terinspirasi dari pegadaian.
"Yang di teras tadi suami lo ya berarti?"
Fani mencebik. "Iyalah, lo kira siapa? asisten gue?"
Fani sendiri maklum saat Sheryl bertanya seperti itu, tiga bulan pernikahan mereka, baru kali ini sohibnya itu bertemu dengannya dan bertamu di rumah baru mereka. Kali itu, Sheryl dan suaminya harus terbang ke Austria karena urusan pekerjaan suaminya yang mendadak banget dan menabrak jam pernikahan Fani.
"Lo ngapain liat gue kayak gitu?" tanya Fani panik saat Sheryl menatapnya dengan intens dari ujung sampai ujung. Ditanya seperti itu, Sheryl mengedikkan bahu.
"Lo ... pasang susuk kecantikan di mana sih?" Kini ganti Fani yang membulatkan matanya lebar, untuk kemudian tertawa ngakak.
"Anjiiirr ... apa muka gue sejelek itu sampe lo nanya hal yang absurd banget?"
Sheryl menusukkan garpunya ke cake yang dipesannya. "Ya ampun, Fan ... lo tuh hoki banget ya jadi orang. Suami lo tuh mirip David Beckham versi remaja tau nggak? Cakepnya berkali-kali lipat pas diliat secara live," jelas Sheryl memasang muka iri berat.
Fani meringis lucu. Sheryl tidak tahu saja, dibalik kesolidan yang diciptakan mereka, ada masalah yang membuat Yoga enggan tersenyum padanya.
"Itu alasan kenapa sekarang lo insaf nggak clubbing lagi?" Fani menoyor kepala Sheryl gemas. "Lo punya mulut cumi banget sih."
Sheryl cengo. "Apa cumi?"
"Cucah mingkem!" Sheryl ketawa keras. Dia mengibaskan tangannya dengan sisa tawa di matanya.
"Nggak, gue cuma mau bilang aja. Ternyata cinta itu dahsyat banget, dengan cinta gue bisa berubah jadi sealim ini, meskipun pas ketemu elo lagi gue jadi kayak setan saking kebantingnya," tutur Sheryl lebih halus.
"Gue pikir lo juga merasakan gimana lo rela berkorban demi orang yang lo cinta meskipun lo harus ninggalin kebiasaan lo, meskipun lo terluka, meskipun lo berulangkali tersakiti. Karena lo udah jadi bucin, gue pernah baca, kalo orang dikatakan bucin saat ia sudah kehilangan dirinya di depan orang yang dicintainya," lanjut Sheryl.
Fani banyak tersenyum hari ini, setengah tidak percaya bahwa yang berkata sebijak itu adalah sohibnya yang dulunya seneng banget clubbing, yang suka bolos pas jam pelajaran, suka bikin onar pas dia lagi gabut di kelas.
"Woeee ... ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanya Sheryl dengan ekspresi setengah jijik. Fani memamerkan gigi putihnya. Sheryl langsung paham tatapan mata Fani.
"Anjir, gue jadi keliatan alim banget. Haduh, bucin banget sih gue." Cewek itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Mereka tertawa. Menertawakan segala kekonyolan mereka kali ini. Setidaknya adanya Sheryl cukup buat Fani.
Dalam hati Fani mengiyakan apa yang dikatakan sohibnya. Jelas sekali sekarang, bahwa bisa disimpulkan dia memang ... bucin!
***