Dua Wanita

2026 Words
Memang ya, mengurus dua wanita dalam satu waktu itu susah banget. Apalagi yang modelnya plin-plan kayak Yoga. Fani itu menggelapkan mata sedangkan Helena itu membutakan hatinya. Yoga sendiri tidak bisa berhenti dari Fani yang telah lama menjadi perusuh dalam hidup atas izinnya. Sedangkan, Helena adalah obsesi yang belum bisa tergenggam dalam tangannya. Fani di depannya lahap memakan nasi goreng seafood favoritnya, beberapa paper bag tergeletak begitu saja di samping gadis itu. Fani yang masih sama. Gelap mata saat sudah berhadapan dengan makanan. Tidak pernah sekalipun Yoga melihat gadis itu mengeluh soal berat badannya yang tiba-tiba naik, karena kenyataannya Tuhan menciptakan gadis itu dengan keajaiban makan sebanyak apapun tetap punya tubuh ideal. "Ya ampun Ga, makanan kamu nggak kesentuh sama sekali, kamu nggak laper apa seharian muterin mall sama aku?" Hafal tabiat Yoga yang malas saat diajak ke mall pada weekend membuat Fani tahu bahwa mengajak Yoga ke mall pas padat-padatnya adalah sebuah keajaiban terbesar. Namun pria itu terlihat tak semangat, ada sesuatu yang ingin disampaikannya, namun Yoga tak kunjung membuka mulutnya. Fani hanya bisa menanti tanpa mau bertanya lebih dahulu. "Muka kamu udah mirip kayak orang yang lagi nahan berak aja dah," sindir Fani sembari menyuapkan nasi gorengnya. Yoga menatap mata Fani sekilas dan kembali ia harus menepis rasa tak tega. "Jadi gini, tadi klien aku ngirim pesan katanya kita bakal ketemuan hari ini juga buat bahas kesepakatan kerja. Masalahnya, kamu pulangnya sama siapa?" Fani menghentikan suapannya, ia menatap Yoga mengerti. Ini yang dikhawatirkan Yoga. Gadis itu menekuri jemarinya yang bermain-main di pinggiran piringnya. "Aku bisa pulang sendiri kok," jawabnya memaksakan senyum aneh. Ini weekend dan Yoga masih menerima klien di hari libur? Jelas saja Yoga bukan pembohong yang ulung. Tapi, Fani tidak boleh egois seperti ini, bisa jadi Yoga memang bertemu dengan klien. "Harus gitu ya ketemu hari ini?" tanya Fani memastikan. Yoga mengangguk cepat. "Iya. Urgent banget soalnya." Fani mengangguk. "Aku bisa pulang naik taksi. Asal kamu jaga diri aja ya," pesan Fani. Mereka menghabiskan makannya dalam diam, juga dengan diamnya Fani yang menyisipkan kepercayaan kepada Yoga bahwa pria itu menjaga kepercayaannya. Yoga menunggu Fani sampai menemukan taksi, setelah mobil itu berlalu diketiknya sebuah pesan singkat kepada seseorang. "Kita ketemu di Benata saja." *** Helena menepikan mobilnya begitu sampai di tempat yang mereka janjikan. Gadis itu melipat wajahnya saat memasuki kafe, Yoga melambaikan tangannya begitu melihat Helena datang. "Masih hidup aja, aku pikir semalem udah ditelan buaya," sapa Helena ketus. Yoga mencium pipi Helena untuk meredakan kemarahan gadis itu. "Maaf ya, semalem tiba-tiba aku ngantuk banget. Mungkin efek kekenyangan kali ya," bohong Yoga. Helena mengerucutkan bibirnya manja. "Kamu nggak tau aku nunggu kamu lama banget," cebiknya. Yoga tidak tahu mengapa ada perasaan seperti ini. Ia jelas sudah mempunyai Fani yang segalanya, tapi cinta itu buta. Mau Fani cakepnya kayak Gigi Hadid, tetap saja Yoga menginginkan Helena menjadi pendamping hidupnya. "I miss you very much and hope you miss me too," ucap pria itu Helena mengecup bibir pria itu sekilas. Mereka hanya bermain cinta, ingatkan dia bahwa Yoga tidak lagi untuknya dan dia harus secepatnya mencari pengganti Yoga walaupun hanya sebagai pelampiasan. "I miss you so bad, Babe," ucap Helena lirih. Permainan ini akan dimulai hari ini. Startnya dari sebuah kecupan-kecupan kecil yang ikut mengintip di sela pembicaraan mereka. Yoga tidak tahu lagi bagaimana nasib pernikahannya dengan Fani jika Helena masih ada untuknya. Fani benar-benar kebanting saat disejajarkan dengan gadis itu. Helena tahu yang dilakukannya saat ini pasti menyakiti Fani, tapi sepertinya setan lebih menguasai pikiran Yoga untuk sekadar mengingat Fani yang menunggunya di rumah dengan kepercayaan bahwa suaminya tengah bertemu dengan klien. "Boleh aku main ke apartemen kamu?" tanya Yoga menggoda. Helena menyunggingkan senyum menggodanya. "No, no, no, Babee. Kita harus menahan semua ini. Karena aku tau ini hubungan terlarang." Yoga kecewa saat gadis itu mengingatkan akan status hubungan mereka yang ruwet. "Kenapa gini banget sih cinta kita?" Helena tersenyum tidak paham. "Kalo aku tau bakal kayak gini, aku udah nyuruh kamu buat hamilin aku biar kita nikah," kelakar Helena membuat Yoga tergelak. Kalau ada yang bilang selimut tetangga lebih hangat, atau tikungan sekretaris lebih aduhai, maka benar omongan itu. Karena kenyataannya Helena memainkan perannya dengan lihai. Ia bisa membuat Yoga bertekuk lutut mengemis cinta padanya. Cukup dengan memancing Yoga dengan kecupan, pria itu membalas lebih, ada yang menggugah gairahnya saat satu pagutan Yoga melemaskan lutut Fani. Mereka berciuman di parkiran pada senja kala itu, terburu-buru membuka pintu mobil dan ambruk di sana berdua dengan posisi Yoga menindih Helena. Gadis itu meraih wajah Yoga dan kembali mencium pria itu ganas, Yoga menutup pintu mobil Helena dan kesetanan mencium bibir gadis itu, memagutnya, menyesap lehernya, sampai satu tangan Yoga nyaris membuka pakaian Helena yang langsung dicegah gadis itu. "Jangan Ga. Kita harus menahan diri buat nggak kelewat batas." Yoga seperti menemukan kesadarannya lagi begitu gadis itu menahan satu tangannya untuk tidak bertindak lebih dari itu. Pria itu kelabakan dan buru-buru menjauhkan dirinya dari Helena. Pria itu kemudian membuka pintu mobil lebar-lebar, membiarkan udara merenggangkan gairah mereka dan seorang tukang parkir yang menatap mereka penuh selidik di ujung sana. Namun, ada satu orang yang terpaku tak jauh dari sana. Berhasil mengabadikan beberapa potret adegan ciuman mereka. Dan mendesah prihatin. "Sepandai-pandainya tupai melompat, bakal keseleo juga," gumamnya. *** Apa yang paling mengerikan dari kuis dadakan di masa kuliah dengan kunjungan mertua dadakan yan membuat Fani nyaris kelabakan karena tidak tahu harus menjamu apa. "Yoga mana Fan?" Ibu Yoga ikut membantu Fani menurunkan belanjanya. "Tadi katanya mau ketemu sama klien, Bu," jawabnya ragu. Dave yang mendengar jawaban Fani langsung mencureng. "Yoga bilang ketemu klien?" Fani mengangguk lamat-lamat. Gadis itu disibukkan dengan kesibukan bersama Ibu saat Dave tenggelam dalam lamunannya. Yoga itu bukan tipe yang pekerja keras banget macam ayah, apalagi sampe menerima klien pas libur gini. Dulu temannya main ke rumah pas dia lagi libur kuliah saja suka diusir. Ada satu hal yang membuat Yoga jadi keranjingan keluar saat jam liburnya sampe rela direbut. Satu hal yang krusial sekali. Menyangkut hal yang paling disukainya. Sebagai adik dan partner in crime Yoga dari kecil, kebohongan Yoga selalu kaku, untuk mendapat izin keluar dari ayah ia rela berbohong mengerjakan pr bersama supaya ia bisa pergi bermain dengan teman-temannya. Tapi, Fani? Sahabatnya sendiri dibohongi? Patut dicurigai, hal apa yang disembunyikan Yoga dari Fani dan mereka semua. Belum sempat Dave berhenti memikirkan masalah itu, Yoga sekonyong-konyongnya muncul di pintu dengan wajah tegang. "Lo udah lama di sini?" tanyanya panik. Dave mengangguk saja. "Lagian lo rajin banget sih, waktu libur buat ketemu klien. Yang sekarang boss mah beda ya gaya hidupnya," sindir Dave tajam. Pria itu tidak menggubris lagi usikan Dave, ia lebih mementingkan suara ibu yang melengking dari dalam rumah. "Ini kenapa anak orang ditinggalin sendiri di mall," omel Ibu seketika begitu melihat sosok menjulang Yoga di pintu dapur Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tadi aku udah anter Fani sampe dia dapet taksi kok, Bu," jawab Yoga dengan nada membela. "Ya maksudnya Ga, ini istri sendiri kenapa kudu di telantarin sih, klien kan bisa disuruh nunggu bentar. Ditunggu klien kok kayak ditunggu cewek saja. Apa itu ... gercep buat ketemu," papar Ibu panjang lebar. Yoga kesedak saking benernya. Ini kenapa dia merasa serba salah melihat Fani yang diam fokus pada masakannya. Didekatinya gadis itu kemudian direngkuhnya Fani, Yoga mengecup kepala Fani. "Aku minta maaf ya, udah ninggalin kamu sendiri, pulang sendiri," ucap Yoga sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh merasa menyesal mempermainkan hati Fani. Pria itu merasakan tepukan di punggungnya saat Fani mengucap, "Aku tau kamu melakukan yang terbaik." Membohongi Fani ternyata lebih pahit dari yang dibayangkannya. Fani menyuapkan sesuap sayur ke mulutnya. "Buka mulut kamu, coba deh, enak nggak?" Yoga menurut dan membuka mulutnya. Kemudian mengacungkan jempolnya saat masakan Fani menyentug lidahnya. Ibu melihat adegan itu dengan senyum-senyum. "Dulu ibu sama ayah kamu juga gitu Ga," curhat Ibu membuat Yoga dan Fani serempak menoleh pada Ibu yang duduk tenang. Mendengar suara Ibu hendak bercerita, Fani mendekati Ibu. "Dulu ibu sama ayah juga dijodohin sama orangtua, Ibu nggak suka sama ayah, karena ayah jutek, apalagi ayah kamu itu kaku persis kayak Yoga." Yang diomongin cuma cengar-cengir menyadari dirinya kaku. "Tapi ayah kamu perhatian banget sama ibu, dulu ibu suka dicuekin tapi semua hal yang dilakukan ayah kamu itu karena dia kaku. Nggak pernah deket sama perempuan." "Tapi, ayah suka sama orang lain nggak saat ibu udah nikah sama ayah?" tanya Fani langsung menyadari ada yang salah dengan pertanyaannya. Yoga melotot sambil mengeja kata G-O-B-L-O-K. Tahu kalau Fani sedang menyindirnya dengan tajam. Ibu dengan tegas menjawab. "Kalau ayah sampe suka dengan orang lain, ya ibu bakal buat ayah kapok nggak deket lagi sama mantannya itu," ucap Ibu berapi-api, kemudian melanjutkan, "tapi belom ada kisahnya ayah jadi playboy kayak gitu." Yoga menelan ludahnya merasa tersindir. "Ayah pernah ninggalin Ibu buat ketemu sama orang lain nggak?" Pertanyaan itu muncul dari Dave yang bersandar di tembok. Ikut mendengarkan cerita ibu dengan saksama. Yoga kembali tersentil. Semua orang seolah berkonspirasi untuk menyudutkannya. Apalagi Ibu dengan kisahnya yang mirip tapi seolah menyudutkan Yoga seperti seorang banci cinta yang nggak berani membela orang yang dicintainya. "Ayah nggak pernah sekalipun nelantarin ibu kayak Yoga tadi." "Aku nganterin Fani pake taksi," sewot Yoga. Ibu tidak peduli dengan pembelaan Yoga dan membuat pria itu melirik tajam pada sosok yang cengar-cengir atas lemparan umpannya berhasil termakan. Dave akan mengusik Yoga dengan pertanyaan menyudutkan pria itu. "Ayah ngebela dan bener-bener jaga ibu dengan cintanya yang unik. Ibu nyaris meninggalkan ayah saat ayah terlihat cuek dengan ibu. Tidak seperti pria lain yang ibu kenal dulu, ayah tidak bisa mengekspresikan rasa sukanya pada ibu. Ibu nyaris frustrasi menghadapi kejenuhan seperti itu." "Tapi ayah adalah satu-satunya pria yang tetap menemani ibu di titik terendah ibu. Saat ibu merasa semuanya meninggalkan dan membenci ibu." Ada air mata haru yang terselip di nada ceritanya. Didengar dari nadanya pun Fani tahu seberapa cinta wanita paruh baya itu dengan ayah. Lalu, apa ia akan setegar ibu yang tetap kokoh dalam keterdiaman dan pernikahan konyol mereka. Yoga yang tidak menerima dan Fani yang mencintai sampai mirip gembel cinta. Dunia memang sebercanda ini dalam memainkan perannya. "Hati wanita itu rapuh Ga, itu kenapa wanita seringkali menangis saat ia punya masalah," ucap Ibu bijak. "Jangan nyakitin hati perempuan. Ibu juga pasti sakit kalo sampe kamu nyakitin hati Fani." "Dengerin kalo ibu ngomong tuh," sambar Dave cepat. Yoga pengen melumat itu anak segera. Ibu memang sensitif soal perasaan. "Eh bacot! lo sendiri apa kabar? banyak mainin hati cewek di luar sana," adu Yoga tidak terima. Mumpung ada ibu di sini, Yoga sekalian membuka kedok Dave, playboy b*****t yang punya mantan segudang itu. "Eh, gue baik yaa ... gue tuh cuma mengaplikasikan ucapan, perbanyak cabang, pertahankan pusat," bela Dave bangga. Yoga memiting leher cowok itu sampai nggak bisa napas. "Masih bisa ngebela diri di depan ibu lo?" tantang Yoga tidak main-main. Dave dengan nada kecekik tetap membela dirinya dengan sungguh-sungguh. "Sebangsat-bangsatnya gue, tetap punya pilihan dan tujuan utama. Gue bukannya playboy, gue cuma nyeleksi cewek mana yang pantas di akad sama cewek yang pantasnya dikasih pantat." Dave ngakak sendiri dengan ucapannya. Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah kedua anaknya. "Yang pasti kalian para cowok jangan sampe bikin sakit hati cewek. b******k banget!" umpat Ibu. "Buu," ucap Yoga dan Dave bersamaan. Ibu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kemudian terkekeh saat menyadari nada teguran di sana. "Ibu cuma mau jadi pembela para wanita di dunia ini. Jangan sampe wanita kalah sama laki. Kalo lakinya gatel sama cewek, santet aja sekalian. Dia nggak tau kalo perempuan itu lemah, butuh dikasihani, bukannya dimainin." Yoga dan Dave saling melempar pandangan. Berkedip dalam diam, sepakat melakukan sebuah perjanjian, diam-diam diambilnya ponsel masing-masing di saku mereka dan mulai fokus pada kegiatan mereka. Membiarkan ibu meluapkan segala keluh kesahnya hanya pada ... Fani seorang. Good job, boy! Fani hanya bisa mesem saat Yoga mengacungkan jempolnya begitu melihat Fani seperti murid yang patuh dengan gurunya. "Pokoknya Fan, jangan sampe Yoga bikin kamu nangis. Bilang sama ibu, kalo sampe dia bikin kamu sakit." Dan Fani hanya menggumamkan keluhan dalam hatinya. "Pernikahan kita sudah tidak baik-baik saja sejak awal mula."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD