Sakit hati itu boleh asal tidak terlalu larut, bagaimanapun juga urusan kita di dunia tidak melulu soal hati. Masih ada banyak yang harus terjamah oleh tangan-tangan kita.
Meski Fani sedari pagi hampir putus asa menerka sikap Yoga yang marah-marah, malam ini ia sengaja menunggu Yoga dengan tenang di meja makan sendirian.
Di depannya sudah tersaji satu mangkuk penuh sop daging, nila yang dibumbu pedas manis, ayam balado, dan rendang. Masakan siapa? yang jelas bukan masakan tetangga. Meski bar-bar, Fani juga pantas mendapat julukan 'wanita feminim musiman'.
Ia bisa melakukan apa yang dilakukan para ibu rumah tangga di dunia, meski masa lalunya sering keluar masuk kelab.
Gadis itu menutup semua makanan dengan tudung saji, kemudian menatap ponsel di tangannya. Mengapa sampai semalam ini?
21:00.
Ga, kapan kamu balik?
Send.
Dua jam Fani menunggu Yoga, tapi tidak ada tanda-tanda Yoga akan pulang. Fani beranjak memberesi semua makanan di meja makan. Mendingin.
Seperti hatinya saat ini, ia tidak tahu harus menghubungi Yoga atau tidak, karena selama ini, selama ia menjadi sahabat dari Yoga, tak sekali pun ia mengganggu urusan Yoga. Ada banyak pria untuk dijadikan pelampiasan saat Yoga sibuk dengan urusan cinta.
Namun, saat ini Yoga bukan seorang yang dicintainya saja, pria itu adalah hidupnya. Sampai suara deru mobil yang berhenti di bagasi. Gadis itu terburu-buru menghampiri Yoga.
"Dari mana?"
Yoga melepas jasnya kemudian tersenyum tipis pada Fani. "Dari kerja. Udah liat, kan?"
Fani mengerucutkan bibirnya capek. "Punya kuota nggak sih?" tanya Fani aneh.
Yoga mengangguk heran. "Masih ada, baru aja isi ulang kemarin," jawab Yoga polos.
Fani mendecak kesal. "Terus kenapa nggak bales pesanku?"
Heh! Hanya seremeh ini Fani jadi ngambek berat dengannya? Yang benar saja. Yoga mengintip notifikasi dan benar menemukan pesan Fani menyempil diantara banyaknya pesan pekerjaan.
"Tadi aku lembur, jadi nggak sempet liat ponsel," kilah Yoga cepat.biar nggak panjang aja urusannya.
"Lembur kok nggak bilang-bilang?"
Yoga menghentikan langkahnya, ia menghela napas pendek. "Kok aku nangkapnya kayak ada aroma-aroma kecurigaan ya?" tanya Yoga melirik Fani yang bersandar di pintu dengan cemberut.
Fani memutar bola matanya dengan lagak bosan. "Ya kali aja kamu keluar sama cewek sampe larut gini," ceplos Fani yang langsung membuat Yoga menoleh.
"Kalo nggak tau yang pasti jangan asal nyeplos," sewot Yoga. Pria itu memberikan jasnya kepada Fani.
"Bawain jasku ke kamar aja." Gadis itu menerimanya masih dengan pandangan memicing.
Yoga jadi jengah. Fani itu playgirl dulunya, tapi cemburunya juga gede kalau berurusan dengan Yoga. Salah Yoga juga mempersilahkan Fani masuk dalam banget di hidupnya.
Fani mendekatkan wajahnya ke Yoga, kemudian ia mencureng. Meneliti wajah Yoga dengan saksama. Pria itu memundurkan wajahnya teratur.
"Stop! Jangan mundur!"
"Ya kamu ngapain elaah, pasti mau nyosor nih," pekik Yoga tertahan.
Kemudian, beralih mengendus kemeja Yoga. Masih wangi parfum laundry yang familiar. Begitu juga dengan jas di tangannya.
Begitu tidak dilihatnya tanda-tanda yang dikhawatirkan di wajah dan pakaian Yoga, barulah Fani bisa melepas napas lega.
"Ngapain sih kayak anjing pelacak gitu. Ngendus-endus nggak jelas," jeplak Yoga nggak mikir perasaan Fani.
Fani mempoutkan bibirnya. "Tega banget sih ngatain aku kayak anjing."
"Ya maaf, lagian ada bau apa sih? bau menyan? sorry, aku nggak main dukun."
"Bau santet! Ya kali aja aku nemuin jejak lipstik di baju kamu, atau parfum cewek di jas kamu."
Yoga menekan kedua sisi kepalanya dengan frustrasi. Harus ekstra sabar punya istri macam Fani ini.
Cemburu banget, ngaco, aneh, suka nuduh, suka-
"Udah berenti ngatain aku dalam hati. Biasanya di sinetron, cowoknya pulang malem abis jalan sama selingkuhannya, terus istrinya nemuin cap bibir di kemeja suaminya."
Yoga tertawa remeh. "Dasar korban sinetron! Itu cuma karangan fiktif. Nggak kamu banget suka sama sinetron," ungkapnya mengingat Fani menggilai drama Korea dan China
Fani mengetukkan telunjuknya di dagu sembari berpikir. "Tapi, sinetron itu biasanya diambil dari kisah nyata, realita orang yang dibumbui."
Yoga tertampar. Semua ucapan Fani membuatnya terlempar pada memori 5 jam yang lalu.
***
Kantor lagi padat-padatnya pas masuk jam pulang kerja. Helena memberesi kertas-kertas di depannya dan bersiap pulang.
Begitu berdiri dilihatnya sepasang kaki berhenti di depannya memblokir jalannya untuk keluar. Gadis itu menghela napas panjang.
"Kenapa lagi sih?" keluhnya tertahan.
"Aku cuma pengen ngomong sama kamu aja. Nggak boleh?"
Helena mencebik kesal. "Aku capek. Haus. Laper-"
"Oke. Tepat banget, sekarang kita ke restoran aja, sekalian makan bareng sama aku."
Helena mengangkat wajahnya dengan ternganga. Yoga di depannya sudah memasang wajah riang. Gadis itu jadi tak tega saat lengannya sudah digamit dan ia hanya bisa pasrah saat diseret Yoga masuk ke mobilnya.
"Eh, mentang-mentang boss, nggak berarti bisa seenaknya nyuruh aku ikut kamu pas udah abis jam kerja ya. Dasar gila kompeni."
Yoga tertawa kecil. Beginilah seorang Helena, ia memang cerewet dan kalem sesuai keadaan yang mendesaknya mengeluarkan sifat mana yang dikehendakinya.
Helena terpana melihat Yoga tertawa. Karena tawa itu tidak lagi miliknya, ia hanya seorang perusak di rumah tangga Yoga. Kalimat itu selalu didengungkan dalam benaknya.
"Kita mau kemana sih?" tanya Helena menoleh pada Yoga yang fokus pada jalanan.
Yoga tersenyum misterius. Dalam benaknya terbayang lagi bagaimana senangnya seorang Helena melihat tempat itu kembali. Kencan pertama mereka.
Mereka akan meluncur ke restoran awal Yoga menembak Helena, juga Fani.
Hati Yoga tersentil. Mendadak ia malas untuk mengingat Fani, jika malam ini Fani tahu Yoga bersama Helena, mungkin gadis itu akan marah kepadanya.
Tapi siapa yang peduli?
Begitu mobil terhenti di halaman restoran, Helena bergeming dengan pandangan kabur.
"Helena Putri Atmadja, i want to ask you and give me an answer," ucap Yoga dengan gugup. "Will you be my girlfriend, hm?"
Helena menepis ingatan saat Yoga mengungkapkan kalimat itu satu tahun yang lalu. Ia bahkan tidak punya rencana sama sekali untuk mengingat hal itu. Terlalu sakit saat cinta harus tercerabut paksa dalam hati.
Yoga melongokkan kepalanya saat melihat Helena masih terdiam di mobil. "Kenapa? surprise banget ya?"
Helena cuma bisa menatap Yoga dengan senyum di matanya. Gimana dia nggak surprise sama pria di depannya?
Helena tuh emang b*****t. Tapi, wajah kalemnya menipu semua orang dengan ulungnya, semua pria pernah dalam genggamannya.
Lalu kenapa hanya Yoga yang membuat Helena jadi terpaku dengan boss polosnya ini. Dibilang polos sebenernya Yoga pantas dianggap g****k saking bucinnya dengan Helena. Pria tampan yang entah punya riwayat masalah cinta apa sampai enggan mencintai dan dekat dengan perempuan lain, selain ... Fani.
Yoga tersenyum riang. Tangan mereka saling bertaut. Helena ingat saat Yoga mengajaknya kemari. Ia terpesona dengan semua konsep yang disajikan restoran ini.
Sudah ratusan kali selama hidupnya ia masuk ke tempat mewah dan romantis. Tapi, satu-satunya restoran yang diingatnya adalah saat ia bersana Yoga.
"Ini kenapa jadi nostalgia sih?" ceplos Helena begitu mereka duduk di nomor 16.
Yoga menyeringai. "Aku sengaja booking meja yang sama. Biar kamu inget ada kenangan di sini sama aku, Len."
Yoga menatap Helena dibalik lilin yang menyala. Hidungnya, bibirnya, matanya, semuanya seolah terpantul sempurna dalam keremangan yang memabukkannya.
"Ini sengaja bikin aku baper lagi, kan?" selidik Helena yang langsung ditanggapi Yoga dengan tawa.
"Apa aku keliatan kayak lagi PDKT sama kamu lagi?"
"Atau berusaha narik perhatian kamu lagi? Padahal aku cuma ngajak kamu makan, di kantor tadi kamu belum makan siang, kan?" tanya Yoga dengan harap yang terselip cemas dalam hatinya, semoga Helena tidak bangkit dari duduknya dan meninggalkan Yoga karena ia telah menjadi masa lalu saja.
Helena mengerucutkan bibirnya lucu. "Orang yang masih suka mengharap mah gini. Suka ngeles," gumam Helena yang masih bisa di dengar Yoga.
Pria itu meledakkan tawanya lagi. Gantian ditatapnya gadis itu lekat-lekat, seolah Yoga menatap Helena untuk terakhir kalinya, ia tengah mengukir wajah Helena dalam ingatan.
"Sekarang, kalo aku bilang tetap mencintai kamu, apa aku salah?"
Helena menatap wajah di depannya tanpa berkedip. Tidak dilihatnya tanda-tanda kebohongan dalam mata pria itu.
"Tapi, Ga ... kita itu udah nggak bisa—" Yoga menempelkan telunjuknya di bibir Helena. Gadis itu mengatupkan bibirnya seketika.
"Aku hanya bertanya apakah aku masih diperbolehkan mencintaimu?"
Helena sadar sekarang ia berhadapan dengan siapa, pria itu dilahirkan dengan aura kuat yang membuatnya tak bisa membantah tak berkutik meski kepalanya dipenuhi berontakan akan jalan cinta mereka.
Yoga menganggukkan kepalanya. Memberi titah tersirat yang wajib disetujui oleh Helena.
Tak dibiarkannya perempuan itu lepas dari fokus matanya. Hingga gadis itu mengangguk lamat-lamat dengan senyum.
"Kenapa kamu pilih aku Ga?" tanyanya lirih. Yoga memutar bola matanya mencari kata yang tepat.
"Karena kamu itu tipe aku banget. Kalem, penyayang, manja, dan dewasa. Aku bisa nyaman banget sama kamu. Beda banget kalo sama Fani, bawaannya suka ngajak ribut mulu kalo sama dia," papar Yoga.
Hati Helena mencelus. Secara tidak sengaja ia membandingkan dirinya dengan Fani. Meski, lebih unggul, ada dalam diri Fani yang tidak terima saat kenyataan menghantamnya.
Yoga itu terlalu paham dengan sifat Fani. Sedangkan, pria itu hanya menatapnya selintas saja.
Helena sudah tahu cukup lama, bahwa segala yang dilakukan Yoga seringkali ada unsur campur tangan dari Fani. Meski itu berupa usulan, persetujuan, penolakan, dan kebencian Fani. Yoga akan patuh saja dengan Fani.
Kelihatannya saja Yoga membenci Fani, tapi dalam nada cerita Yoga, pria itu benar-benar memahami Fani. Lalu, jika benar segala yang dilakukan Yoga ada campur tangan dari Fani. Apakah cincin, hal romantis lain, dan ... rekomendasi restoran ini dari Fani?
"Ngelamunin apa sih?" usik Yoga melihat Helena terdiam dengan serius di depannya.
Helena menatap Yoga ragu. "Apa aku orang pertama yang memijakkan kaki ke sini sama kamu, Ga?"
Yoga terdiam sejenak. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"
Helena menautkan jemari-jemarinya, ikut salah tingkah saat pria itu menatapnya penuh selidik. Rasanya nggak mungkin kalau dia bilang cemburu dengan Fani.
"Ya- ya jelas kamu yang pertama datang ke sini lah, Lena," jawabnya gugup.
Jelas saja. Dia kesini dengan Fani terlebih dahulu atas dasar 'meminta persetujuan' dari suhu, selaku sohib yang kemana-mana selalu lengket dengan Yoga.
Helena mengangkat alisnya dengan ragu. "Apa iya?"
Cepat-cepat Yoga mengangguk, satu kebohongan telah dilakukannya. Akan ada kebohongan lainnya yang mengikuti.
"Bukan dengan sohib kamu itu ... Fani." Helena hati-hati saat mengucap nama familiar itu. Mengamati perubahan mimik Yoga saat mendengar nama itu.
Nihil. Yoga justru tertawa.
"Segitunya ya? apa aku keliatan kayak boss kaku, yang nggak romantis, dan nggak tau tempat romantis?"
Helena tersenyum. "Sama sekali enggak. Aku cuma nanya aja. Kalian kan deket banget." Dan aku nggak suka kalian deket lebih dari aku, Ga.
Yoga tertawa lagi. Hambar. Lagi-lagi selalu nama Fani yang disebut diantara mereka. Sekalinya, bukan Yoga yang menyebut nama itu, hatinya tetap terasa kecut saat Helena menyebut nama itu.
Sang pemilik nama entah tahu atau tidak, akan ada kisah baru yang berjalan dibalik matanya.
"Jadi, aku lolos nggak nih buat balik mencintaimu lagi kayak dulu?" tanya Yoga menggoda. Helena mengusap pipi Yoga dengan lembut.
Pria itu tersenyum, menangkap tangan Helena dan mengecupnya. "Aku anggap jawaban kamu iya. Emang siapa yang mau nolak pesona boss charming kayak aku?"
Elusan Helena berubah menjadi tamparan di pipi Yoga. "Narsis kamu kambuh. Kudu cepet ditabok biar sadar."
Demi apapun, Yoga rela sakit demi gadis di depannya ini.
***
Fani sudah terlelap saat ia mengendap-endap di dapur. Kopi hitam cukup untuk menemani malamnya bersama Helena. Chattingan sampai puas.
Niatnya terhenti saat matanya menubruk satu pandangan, berjejer dalam susunan rapi dan sudah mendingin.
Makanan-makanan buatan Fani sudah mendingin. Masih utuh seolah belum tersentuh. Yoga memegang perutnya.
Aku udah kenyang, tapi ....
Diambilnya dua piring dan dua sendok. Lupakan soal kopi dan begadang sampai puas. Di kamar ada seseorang yang belum mengisi perutnya demi dia.
Dibangunkannya Fani dari tidurnya. "Kamu harus makan. Aku mau makan. Ikut nggak?"
Fani menjulurkan kedua tangannya ke depan, yang langsung ditanggapi dengan mencureng. "Mau ngapain?"
Dengan nyawa yang belum terkumpul, Fani berkata ringan, "Gendong, Ga!"
Yoga menghela napas panjang. "Dari bangun tidur aja udah ngeselin, pantes pas buka mata kelakuannya naudzubillah," gerutu Yoga.
Dituntunnya Fani sampai meja makan, disuapinya Fani yang mengunyah masih dengan mata terpejam.
"Masakan ku enak nggak, Ga?" tanya Fani di sela makannya.
Yoga mengunyah makanan di mulutnya lambat. "Asin."
Fani menabok punggung Yoga, langsung membuat pria itu kesedak. Ngeselin sumpah!
"Harusnya bilang 'enak kok Fan', bukannya komentar."
Yoga mendelik ingin protes, sebelum mulut Fani membuka minta suapan lagi. Yoga akhirnya menyuap dengan dongkol.
Di kamar, beberapa pesan dari Helena dibiarkan Yoga tak terbalas. Pria itu lupa tujuannya malam ini meski kisah mereka kembali terjalin.
Jadi, siapa yang menjadi prioritas Yoga?