Pengkhianatan 2

2060 Words
"Jadi, lo udah tau?" Sheryl menggeser tubuhnya merapat ke Radit. Pria itu menoyor kepala Sheryl menjauh. "Gue lebih tau daripada cerita Fani ke elo. Karena korbannya nggak tau secara live gimana kelakuan b*****t mereka di belakang." Sheryl merapikan poninya yang berantakan akibat ulah Radit barusan. "Emang gila yaa itu laki. Nggak nyangka gue tuh kalo Fani bisa sampe nikah dengan anjing macam Yoga itu," umpatnya. Radit lebih nggak karuan lagi, sebagai cowok yang mencintai Fani diam-diam, dia merasa tidak terima dengan perlakuan Yoga pada Fani, meski bisa saja Fani melakukan perselingkuhan seperti yang dilakukan Yoga. Masalahnya, Fani udah cinta mampus sama Yoga itu. Kalau saja ada kesempatan, rasanya Radit ingin membahagiakan Fani saja. "Gue kasian sama Fani, tapi jujur gue nggak bisa nolong," keluh Sheryl lagi. "Gue rela kalo akhirnya Fani jadiin gue shepianya," gumam Radit. "Apa, Dit? lo ngomong apa, Njing?" Radit menoleh dan menutup mulutnya. "Enggak. Gue juga lagi mikir gimana buat ngabisin si Yoga." Sheryl mencebik. "Lo mau disantet Fani?" sarkas gadis itu membuat Radit sadar kalau masalah bisa makin runyam jika sampai Yoga yang di sakiti. "Terus siapa dong yang pantesnya gue sakiti?" "Ceweknyaa!" ketus Sheryl pakai muka dendam lagi. Radit menggelengkan kepalanya. "Gue pantang disebut banci, itu kenapa gue nggak mau pas ribut sama pelakornya terus dikatain 'banci lo beraninya nyerang cewek' gitu gimana?" Serius banget muka Radit menerka kejadian yang bakal terjadi kalau sampai dia menyerang cewek. "Khusus buat lo, nyerang dia halal. Gue jamin nggak bakal ngatain elo banci." Gantian Sheryl yang serius mendukung. Bukannya berterimakasih, Radit justru menggeplak kepala Sheryl dengan gemas. "Elo doang yang nggak bakalan ngatain, tapi orang lain bakal ngelemparin gue pake botol sambil teriak 'b*****t lu!', abislah citra ganteng gue di kantor ini." Radit diam sejenak. "Lagian gue nggak mungkin nyerang itu pelakor di kantornya sendiri, kan?" Sheryl balik menoyor lebih ikhlas kepala Radit. "Ya enggaklah blo'on, lo kuntit aja itu pelakor sampe daerah sepi terus lo sikat dah ..." "Terus gue apain?" sela Radit beneran pakai wajah serius saking tidak pahamnya dengan rencana Sheryl kali ini. Sheryl mendecakkan lidahnya. "... nih gue terusin ya, abis lo sikat di tempat sepi, bawa aja ke kamar lo. Lo perkosa di sana." Gadis itu menutup kalimatnya sembari memejamkan mata, seolah itu adalah rencana terbaik. Radit kontan menggeplak kepala Sheryl. "Guobloook! lo nggak ada otak emang ya. Nyesel gue dengerinnya sampe serius." Sheryl ngakak. Pagi itu di depan lobi kantor, mereka melihat Fani turun diantar oleh Yoga dari Land Rover-nya. Wanita itu melambaikan tangannya pada Radit dan Sheryl di depan lobi. "Ceria amat muka lo, abis ketiban emas?" sapa Sheryl terheran melihat Fani semringah. "Ah, gue tau ... semalem kalian abis enaena kan, makanya muka kayak abis kejatuhan durian runtuh gitu ... merah-merah," ucap Radit makin ngaco. Fani malah ngakak. "Lo bisa aja deh, Njing." Mereka barengan masuk ke kantor masih sambil menerka apa yang membuat Fani sepagi ini sudah good mood. Tidak biasanya ia secerah ini. "Lo tau, si Yoga itu romantis bangetlah, kemarin gue di beliin dia louboutin yang udah gue idamin dari jaman kuliaaahh Sheeer, katanya itu buat hadiah annive pernikahan kita," curcol Fani dengan Sheryl selagi belum jam masuk kerja. "Bukannya annive nikah lo nggak sekarang? Lusa ye?" tanya Radit mengingat pernikahan Fani sebagai hari patah hatinya sendiri. Fani mengangguk. "Eh gilaaak, ingatan lo kuat banget ya Dit." Radit mesem saja. Gimana nggak kuat, kalo seharian itu gue abisin buat nangisin elo di kamar kayak banci. "Dih beneran nggak sih, kalo iya, gue pengenlah. Ntar gue main ke rumah lo, mau liaaaat," rengek Sheryl tiba-tiba. Fani memeletkan lidahnya. "Yeeee ... elo ada laki jaksa buat apa kalo nggak diperes aja itu duit." "Astaghfirullah, Fan. Dosa banget lo jadi kuman." Fani ngakak. Tiba-tiba wajah Fani mendung. "Tapi, malam ini Yoga bakal pulang larut lagi. Dia bakal ngerjain tugasnya di kantor kayak kemarin, itu makanya dia ambil cuti pas hari anniv kita," papar Fani. Radit dan Sheryl saling tatap kemudian mengangguk prihatin. *** "Kopi, Dit," tawar Fani begitu melihat Radit masuk ke dapur. Pria itu menganggukkan kepalanya, bersandar di pantry sembari terus menatap lekat Fani. "Kenapa, Dit?" tanya Fani melihat tatapan lekat Radit padanya. Radit tersenyum. "Kalo diliat-liat elo tuh cantik ya, Fan," ucap Radit manis. Sebenarnya ini sih ucapan tulus Radit pada Fani cuma ya tergantung respon Fani seperti apa. "Iyalah. Emang gue tuh cantik, pake banget lagi, Dit," jawab Fani narsis. Radit ngakak. Inilah Fani, berbeda dengan cewek lain yang bakal pakai hati saat menanggapi ucapan Radit. "Kalo gue suka sama lo, gimana? lo tuh beda banget Fan, maybe you look ordinary to others, but you are very extraordinary to me," ungkap Radit lebih terang-terangan. Fani memutar tubuhnya persis menghadap Radit yang saat itu juga menatapnya lekat. "Tell me, you're seducing a fellow devil to fall in love? Impossible, Babee." Fani makin ngakak saat dilihatnya Radit membuang napas kasar. "Emang lo tuh susah banget ya, buat digombalin," keluh Radit. Fani mesem saja. "Semua cewek tuh mudah banget dibuat nyaman, digombalin, cuma ya ... kalo modelnya kayak lo gitu, gue udah paham kali." Radit membetulkan pakaian kerjanya. "Emang model gue gimana Fan? cakep gila, kan?" Fani menyunggingkan senyum manisnya sembari mendekatkan wajahnya ke Radit. Memberikan cowok itu pandangan lembut yang nyaris membutakan kewarasan Radit sendiri. "Cakep sih iya, tapi gue nggak bakal jadi penghuni harem lo." "Anjiir!" Radit menoyor kepala Fani tak segan-segan. "Punya teman laknat banget dah." Fani mengangkat sebuah nampan berisi tiga gelas kopi kemudian memberikannya pada Radit. "Bawain dong, Dit. Udah gue buatin, lo yang bawa doooong," paksa Fani. Radit mengalah. Memangnya siapa yang bakal bisa menolak perintah Fani. Cowok itu menghela napas pendek sambil tersenyum. "Berasa jadi jongos dia, Ya Tuhan," ratap pria itu. *** Suara desahan yang di sebuah ruangan terdengar sejak tiga puluh menit yang lalu, tidak ada orang yang mendengarnya, hanya mereka berdua yang asyik dan bergumul dengan nafsu sendiri. Helena di pangkuan Yoga mulai kewalahan menahan hasrat yang besar. Tangan wanita itu menekan-nekan kepala Yoga untuk terus menyesap lehernya. "Ssshhh ... Aahh, astaga," desah Helena semakin ganas. Bawah Helena sudah basah sejak tadi. Tapi, tidak, bukan sekarang tanggal mainnya. Yoga merasakan sesuatu mendesak, ingin segera dipuaskan, namun sang wanita tak juga mau untuk memberinya akses untuk bisa dipuaskan dan mereka akan melepas desahan bersama. Tangan Yoga mulai menyusup di rok Helena. Helena merasakan sensasi yang sama. Sensasi yang familiar, lebih dahsyat dari yang lain. Helena menekan kenikmatan itu dengan mencegah tangan Yoga untuk terus masuk lebih dalam lagi. Yoga kecewa saat Helena menggelengkan kepalanya dengan teratur. "Tidak sekarang sayang," ucap Helena sembari mengecup bibir Yoga. Helena turun dari pangkuan Yoga, merapikan roknya yang kusut akibat tangan Yoga yan meremas tak sabaran. Yoga tersenyum menatap gadis di depannya. "Nggak pernah aku merasakan dosa sedahsyat ini." Dosa emang b*****t ya. Sudah jelek, menjurus ke jahannam, nikmat lagi. Yoga yang tak polos lagi. Yang namanya polos itu bisa saja luntur pada waktunya, seperti kepompong yang bakal berubah menjadi kupu-kupu pada masanya. Jadi, kalau Yoga sekarang menjadi lebih lihai dalam berkelit dan sering berbohong demi bisa bertemu dengan Helena, itu bukan berarti licik. Justru, kemajuan yang pesat karena sekarang ia tak lagi menjadi cowok polos yang paham ini itu. Seseorang akan menjadi diri yang lain saat ia merasa tertekan, atau justru lingkungan yang menyebabkan mereka bertingkah seperti itu. Kasus Yoga ini, entah dikategorikan yang mana, karena kemajuan ini sangat-sangatlah salah. Pernikahan mereka semakin tidak terbentuk saja, hanya ada manipulasi dari si cowok dan kegoblokan yang hakiki dari ceweknya. "Apa Fani pernah membuatmu merasakan sensasi ini?" Helena menunduk menciumi leher Yoga kemudian menggigit telinganya. Terasa geli, namun bukan itu, ada sensasi panas dan menggairahkan saat Helena melakukannya. Helena kembali tegak dan tersenyum. "Kamu ingin aku berhenti atau meneruskan?" Yoga mengerang. Ini sungguh menyiksa. Helena sudah berhasil menggodanya. "Aku mohon jangan berhenti." Helena terkekeh. Gadis itu menyusuri wajah Yoga dengan bibirnya diikuti jemarinya yang lentik. Dari wajah, ke leher kemudian jemari gadis itu bermain-main di kancing jas Yoga. Membuka jasnya, kemudian menyusul membuka kemeja pria itu, Helena kembali duduk di pangkuan Yoga. Yoga menegang saat Helena mulai mencium dadanya, bermain di sana dengan manja. Yoga mengerang tersiksa. "Ya Tuhaaaan." Helena menghentikan kegiatannya kemudian menatap Yoga yang terpejam dengan wajah tersiksa. "Kenapa? kamu kesakitan?" tanya Helena ragu dengan pertanyaannya sendiri. Yoga membuka matanya, ada kilat aneh yang ditangkap Helena. "Kamu harus bertanggung jawab untuk ini. Gantian kamu," ucap Yoga langsung mengangkat tubuh Helena dan mengempaskannya di sofa. "Eh." Helena terkejut saat bibir Yoga memaksanya untuk memberi akses menjelajahi bibirnya. "Gaaa," desah Helena hanya bisa mengalungkan lengannya di leher Yoga. Gadis itu meyadari ciuman Yoga lebih jago. Tangan Yoga sudah meraih pita baju Helena sebelum bayangan Fani berkelebat dalam benaknya. Mendadak Yoga menghentikan tangannya di udara. Helena membuka mata saat Yoga menariknya duduk. "Kita cukup main sampai di sini ya," ucap Yoga keliatan kacau. Helena menatap Yoga. "Kamu kenapa?" Yoga menggeleng. Ia juga tidak mengerti, yang ia tahu Fani tiba-tiba memenuhi benaknya. "Nanti malem jadi main ke apartemenku, kan?" Helena mencoba mengusik Yoga yang terdiam. Merasa kesal karena Yoga tiba-tiba melepasnya. "Iya. Aku udah janji sama kamu buat main ke sana." Meski kesal, Helena cukup tahu diri, ia memilih pergi membiarkan Yoga terdiam. "Pasti mikirin Fani," gumam Helena sebal. Sementara itu, Yoga mendesah panjang. Ada ketakutan tersendiri jika Fani akan mengetahui hal ini. Perselingkuhan mereka. "Kenapa jadi mikir Fani? Nggak penting." *** Hari ini Yoga pulang cepat dan menemukan gadis itu tengah sibuk di dapur. Yoga menatapnya sejenak. Sebelum sang istri menyadari bahwa ia telah pulang. Aroma dari sup daging yang dibuat Fani menggoda hidung Yoga, gadis itu bersiul senang sambil menyanyi, seperti anak kecil. Yoga mendesah. Menggigit bibirnya, merasakan kesakitan yang akan di derita Fani saat ia tahu bagaimana busuknya Yoga nanti. Seseorang tolong katakan, adakah yang bisa menghapus cinta dari hati Yoga? Bagaimana cara ia menghapus cinta dan mencintai Fani seutuhnya. Sesuai janjinya, untuk mencoba mencintai Fani. "Eh, udah dateng aja, katanya mau pulang malam?"tanya Fani Yoga menggeleng. "Aku pulang cepet." "Sini makan deh." Fani menggamit lengan Yoga dan melepas jasnya, ia dengan tekun mengambilkan nasi dan lauk di piring Yoga. Pria itu menatap penuh selidik pada sayur sup di depannya. "Asin nggak nih? Bisa darah tinggi ntar aku kalo sampe asin kayak kemarin?" selidik Yoga. Fani memutar bola matanya gemas. "Ganteng, kalo belom nyobain sayurnya jangan banyak bacot deh, nggak ada adab," jawab Fani sok manis. Yoga meringis dengan sindiran tajam Fani. Pria itu mengambil sendok, akan memulai suapan pertamanya sebelum Fani mencegah sendoknya meneruskan langkahnya ke mulut. "Apa lagi siiiiihh?" keluh Yoga merasa terganggu. Kalau Fani sudah seperti ini, pasti akan ada langkah selanjutnya yang bakalan aneh atau bikin naik darah. "Aku cuma mau ngebuktiin sesuatu, kalau makan sup pakai cara beda bakalan lebih enak katanya." Yoga menurunkan sendoknya kemudian menatap Fani tertarik. "Mau nyoba kayak gimana?" Fani tersenyum, ia pindah di samping Yoga. "Kayak gini." Fani menyuapkan sup ke mulutnya, kemudian ia menarik wajah Yoga, mencium bibirnya dengan lembut lalu memaksa bibir pria itu terbuka. Yoga membuka bibirnya, saat Fani mentransfer sup itu ke mulutnya. Namun, ciuman itu berlanjut lebih ganas. Yoga memejamkan matanya begitu juga dengan Fani yang merasakan Yoga semakin memperdalam ciuman mereka. Jelas ini bukan ciuman terhebat seperti yang dilakukan oleh Lee Min Ho dan Jun Ji Hyun di drama Legend Of the Blue Sea, juga bukan ciuman yang dilakukan Ji Chang Wook dan Park Min Young di drama Healer, Jo In Sung dan Gong Hyo Jin, di drama It's Okay, that Love. Sekali lagi, jelas itu bukan ciuman yang bakal diganjar dengan best kissing oleh produser. Namun, Fani dan Yoga terengah satu sama lain saat napas mereka sama-sama nyaris habis. Yoga meneruskan ciumannya saat Fani masih menatap pria itu dengan tatapan lembut. Tangan Fani mulai melepas satu persatu kancing kemeja Yoga. Pria itu menggendong Fani, membawanya ke kamar dengan ciuman yang semakin panas. Yoga membuka pakaian Fani satu persatu masih dengan lumatan. "Argh ... Gaa, pintunya." Yoga menoleh pada pintu kamar yang masih terbuka, kemudian ia berlari menutup dan melanjutkan kembali pekerjaan yang telah dimulainya. "Datangi aku, Gaaa," desah Fani saat tangan Yoga memperdalam ciuman meteka dan lidah pria itu mulai menjelajah ke tubuh Fani. Bip ... bip ... bip Yoga mengerang saat ponselnya berbunyi, pria itu mengeluarkan ponselnya kemudian terkejut saat menemukan satu nama yang menghubunginya. Helena. Yoga berdiri. "Maaf, aku ada pekerjaan di kantor mendesak." Yoga meninggalkan Fani yang sudah telentang dengan gairah memuncak. Wanita itu hanya bisa menatap nanar kepergian Yoga yang tiba-tiba. "Yogaaa, brengseekk!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD