Suasana di dalam kamar Aro, tiba-tiba sunyi sepi setelah Bianca keluar. Hanya terdengar suara meringis yang samar-samar dan halus. Saat itu, Aro menggenggam kedua tangannya untuk bertahan dari rasa sakit yang luar biasa.
Sekitar 10 menit terdiam, "Setelah ini, istirahatlah! Saya akan membuatkan bubur dan sup."
"Tidak perlu! Sebaiknya kamu juga beristirahat. Saya tahu kamu lelah."
"Aro."
"Ya?"
"Berhati-hatilah! Dia bisa membunuhmu kapan saja ia mau."
"Em," sahut Aro sambil menunduk.
Sementara Bianca masih berada di luar kamar Aro untuk mendengar cukup banyak perbincangan diantara keduanya. Ia berusaha untuk tenang dan tidak berisik, demi semua informasi yang berharga.
"Aro!" panggil Marlon terdengar sendu.
"Ya, apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Sebaiknya, kamu menjauhi perempuan itu! Dia milik tuan besar, berada di sisinya, hanya akan menghancurkan tulang-tulangmu."
"Apa maksudmu, Marlon? Saya hanya pengawal saja, mana mungkin melakukannya. Bahkan untuk memikirkannya pun saya tidak mampu."
Bianca menelan air liurnya berat dan masih ingin mendengarkan apa pun dari bibir Aro.
"Kamu bisa membohongi semua orang, tapi tidak dengan saya. Malam tadi, kamu menumbalkan tubuhmu untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan dan teriakan tuan besar."
"Itu hanya perasaanmu saja."
"Selama ini, kamu tidak pernah perduli dengan apa pun, dengan siapa pun. Bahkan ketika tuan besar membakar gadis belia di hadapanmu, kamu tetap saja diam, tidak bergeming sedikit pun. Tapi tadi malam ... ."
"Cukup!" bentak Aro yang tidak ingin mendengarkan apa pun dari mulut sahabatnya tersebut.
"Aro, jauhi nyonya muda! Dia hanya akan membawa petaka di dalam hidupmu. Apa yang kamu harapkan darinya?"
"Tidak ada. Hanya saja ... ."
"Apa?"
"Ketika saya menatap bola matanya, saya merasa hangat. Seperti berada di tengah malam yang gelap dan dia adalah rembulannya. Dan saat saya memandang bibirnya, saya merasa seperti berada di sisi aliran sungai yang sejuk. Nyaman, tenang, terkadang perasaan saya bergelombang dan riak."
Bianca memegang dadanya yang berdegup kencang. Sebab ia pun merasakan hal yang sama tadi malam, ketika sedang menatap dan bersama Arogan.
"Itulah cinta, Aro. Itulah yang dinamakan cinta, Arogan," kata Marlon berkali-kali, guna menyadarkan sahabat tersebut.
"Apa? Tidak mungkin. Saya hanya mengagumi kecantikannya saja, tidak lebih."
"Esok, tuan besar akan melepaskan kulit dari tubuhmu. Lusa, ia akan menggunakan tulang-tulangmu untuk memenuhi isi perut annjing peliharaanya. Dan seterusnya, ia akan meletakkan kepalamu di atas lemari untuk hiasan di dalam ruangan tidurnya. Tinggalkan dia! Buang jauh-jauh perasaan gilamu itu, Aro!" Marlon menunjuk ke arah Aro dengan tangan yang gemetaran. Ia benar-benar terlihat ketakutan.
"Saya ... ."
"Diam!" Marlon tampak marah dan kesal. "Sekarang, diam di sana dan tunggu makanan dari saya!"
"Tenanglah, Marlon!"
"Dasar gila!" Marlon kesal dan meninggalkan Arogan untuk membuatkan sup. "Dia menggali kuburannya sendiri," gerutu Marlon sembari meninggalkan Aro.
Terlalu marah, Marlon berjalan cepat tanpa memperdulikan apa pun, sehingga ia tidak menyadari kehadiran Bianca.
Pada saat yang bersamaan, Bianca yang baru saja menemukan hati yang sebenarnya, terus menangis karena menyadari bahwa perkataan Marlon adalah benar.
Bianca ingin mengambil sikap, ia tidak ingin Aro menderita dan menjadi korban atas dirinya. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan Aro, ia ingin melakukan sesuatu untuk mencurahkan isi hatinya.
Bianca menghapus air mata. Ia pura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa. Hanya ada satu yang ia inginkan, yaitu memeluk Arogan sepenuh hatinya walau hanya sekejap saja.
Kaki jenjang Bianca melangkah hati-hati ke dalam kamar tidur Arogan. Ia memperlihatkan wajah boneka miliknya, bersama mimik yang dipenuhi dengan kebodohan.
Bianca memang sengaja berbohong dan menutupi semua informasi yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri, hanya untuk membuat situasi antara dirinya dan Aro tetap nyaman.
Bianca tiba di belakang Aro dan ia terdiam ketika melihat luka menganga di bagian punggung laki-laki yang sudah membuat hatinya bergetar hebat tersebut.
"Cepat sekali kamu kembali, Marlon? Jangan bilang ada masalah?!" kata Aro tanpa membalik wajah karena obat yang diberikan Marlon sudah membius tubuhnya, demi mengurangi rasa sakit dan akhirnya Aro tidak mampu merasakan tubuhnya.
Namun, tetesan air yang berasal dari mata Bianca dan terjatuh di punggung Aro, dapat menyadarkan laki-laki bertubuh kekar tersebut, bahwa orang yang bersamanya saat ini, bukanlah Marlon.
"Nyonya?"
"Ma-maafkan saya!" pinta Bianca yang menyadari bahwa air matanya sudah menyisakan rasa perih pada luka lebar di punggung Arogan.
"Apa yang Anda lakukan di sini? Bukankah seharusnya Anda sudah kembali ke dalam kamar?"
Bianca memutari tubuh Aro dan berdiri di depannya dengan wajah yang tertunduk. "Saya tahu, itu pasti perih dan apa yang dilakukannya kepadamu? Kenapa sekejam itu? Kamu sudah bekerja sangat lama dan mengorbankan jiwa raga," oceh Bianca tanpa henti, seolah ia tidak bisa menerima semua yang ia lihat saat ini.
Aro menutup mulutnya rapat-rapat. Sepertinya ia sulit, bahkan tidak bersedia untuk menjawab pertanyaan seperti ini.
Saat itu, Bianca mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk mempertanyakan hal yang sama, sekali lagi.
"Saya tidak ada tempat untuk pulang, tidak punya rumah untuk dikunjungi, dan tidak memiliki saudara untuk menyandarkan diri."
Seketika, Bianca terdiam. Ia memahami situasi dan kondisi Arogan. Hanya saja, ia masih sulit untuk menerima kenyataan pahit yang ada di hadapannya.
"Sebaiknya Anda segera kembali ke kamar! Terutama, jika Anda menginginkan keselamatan bagi saya!" Aro mengusir Bianca secara halus dan itu lebih dari cukup menggores hati gadis tersebut.
"A-apa?" Bianca seakan tidak percaya dengan bahasa Aro tersebut. Halus, namun sangat membunuh. "Maaf jika kehadiran saya hanya mempersulit hidupmu. Saya berjanji, mulai detik ini, tidak akan melakukannya lagi. Permisi," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir bergetar cepat.
Ketika mendengar ucapan Bianca tersebut, tiba-tiba Aro dapat merasakan sakit yang sama. Baru kali ini, Aro merasakan jantungnya teriris karena perkataan dari wanita yang baru saja ia kenali kurang lebih 30 hari.
Aro mengangkat wajah untuk memperbaiki semuanya, namun Bianca sudah bergerak cepat untuk meninggalkan dirinya.
Keinginan terakhir gadis itu pun tidak tersampaikan. Sebab, Bianca tidak sanggup mendengar Aro mengusirnya untuk menjauh.
Dengan langkah cepat setengah berlari, Bianca kembali ke dalam kamarnya. Ia menjatuhkan tubuh mudanya di atas tempat tidur dalam posisi tengkurap, lalu menangis sejadi-jadinya.
Bianca kembali terbayang luka lebar di punggung Aro dan kata-kata terakhir dari bibirnya. Sambil menggenggam alas kasur, ia berjanji, tidak akan menyusahkan Aro lagi. Apalagi sampai menangis di hadapannya.
"Papa, mama, sedang apa?" tanya Bianca sambil menghisap air hidungnya.
Gadis belia itu bersedia menerima semua penderita ini hanya untuk keselamatan papa dan kesehatan mamanya.
Namun tanpa sepengetahuan Bianca, Jack sudah membantai seluruh anggota keluarga. Hanya satu yang tersisa karena sempat melarikan diri, yaitu pembantu di keluarga Azwara yang berusia 43 tahun.
Bersambung.