Chapter 20

1102 Words
Sesampainya di halaman rumah, Nafisah langsung tersenyum melihat Rafa yang sedang duduk di baby stoller. Sementara di sebelahnya ada pengasuh baru bernama Ibu Anita berusia 35 tahun. Senyum Nafisah langsung memudar bertepatan saat mesin mobil baru saja di matikan oleh Adelard. "Mas, dia siapa?" "Maaf aku belum cerita padamu. Dia Ibu Anita, pengasuh baru buat Rafa?" Tiba-tiba Nafisah teringat Zulfa. Karena terakhir yang ia tahu, putranya itu bersama sahabatnya. "Zulfa baik-baik aja, kan?" "Alhamdulillah dia baik. Katanya dia mendadak sibuk mengurus butiknya di Bali yang kontrak sewanya akan berakhir." dan terpaksa Adelard berbohong demi Nafisah, sesuai perintah Marcello padanya. "Jadi dia ke Bali? Akhir-akhir ini dia sulit di hubungi." "Aku tidak tahu dia ke Bali atau tidak. Insya Allah dia akan baik-baik saja. Lagian kesibukan yang dia lakukan untuk bisnis. Tidak ada yang perlu di khawatirkan, Nafisah. Sekarang ada Rafa yang sedang merindukan Mamanya." Perlahan, benak Nafisah menghangat. Tanpa banyak bicara ia pun segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah baby stoller Rafa. "Assalamu'alaikum, ganteng." Rafa langsung tersenyum dan sumringah. Ia merentangkan kedua tangannya dan ingin di gendong oleh Mamanya. "Masya Allah, Mama benar-benar rindu sama kamu." Nafisah juga mencium gemas pipi Rafa. Sementara Adelard hanya bisa tersenyum melihat keduanya. "Rafa sudah makan, Bu?" tanya Nafisah pada Anita. "Alhamdulillah sudah, Mbak Nafisah. Tinggal tidur siang yang belum." "Biar saya yang tidurkan Rafa. Sudah lama sekali Rafa tidak tidur sama saya." Nafisah dan Rafa berlalu memasuki rumah mereka. Nafisah merasa sangat bahagia akhirnya bisa kembali bertemu dan memeluk putranya. Sesampainya di kamar Rafa, Nafisah langsung memeluk Rafa sambil duduk di sofa. Ia akan mendidurkan Rafa dalam pelukannya Begitu Rafa sudah tertidur, Lagi-lagi Nafisah teringat Zulfa. Pelan-pelan Nafisah memposisikan dirinya untuk berdiri dan memasukkan Rafa ke dalam box bayi. Tak lupa ia juga menutupnya dengan kelambu anti nyamuk. Setelah itu Nafisah kembali memegang ponselnya. Ia menekan nomor panggilan Zulfa. "Kenapa nomornya masih nggak aktip ya?" **** Seperti yang di janjikan Marcello, pria itu menepati janjinya. Ia datang ke rumah Zulfa satu hari sebelum hari H sebagaimana hari akad nikah. Marcello juga bertanya pada Zulfa konsep dekorasi apa yang dia inginkan? Jangankan menjawab, Zulfa bahkan memilih bungkam dan memilih tidak mau berbicara sama sekali. Alhasil, disini lah sekarang. Akad nikah yang sangat sederhana. Hanya mengundang tetangga dan keluarga inti. Marcello juga sudah mualaf 3 hari yang lalu. Keputusan dan keyakinan itu sebenarnya sudah Marcello pikiran semenjak dirinya berada di Indonesia beberapa tahun silam. Selama itu lah, Marcello menjadi terbiasa melihat bagaimana orang-orang yang memeluk agama muslim itu beribadah di mesjid, bagaimana cara mereka bersikap dan beradab yang akhirnya sedikit banyaknya membuat Marcello tersentuh. Hanya satu kata yang terucap sebelum Marcello mualaf, "Islam itu indah" Zulfa menatap dirinya di depan cermin rias. Sekarang wajahnya sudah cantik dengan polesan makeup elegan tetapi masih terkesan natural. Seharusnya pernikahan ini menjadi pernikahan bahagia sebagai pernikahan impian. Tetapi kenapa Zulfa merasa hari ini hanyalah hari biasa yang tidak terjadi apapun? Zulfa berusaha untuk menahan air matanya. Sejujurnya ia sangat malu kalau sampai jasa MUA yang telah di persiapkan Marcello untuk merias wajahnya bisa tahu kalau ia terlihat tidak bahagia. Sejak tadi Zulfa melirik ke arah pintu melalui pantulan cermin yang ada di depan matanya. Ia berharap kalau Papi atau Maminya akan datang melihatnya sebagai putri yang sebentar lagi akan melepas status lajang dengan tatanan riasan pernikahan. Tetapi nyatanya, hingga sekarang mereka tidak juga masuk ke dalam kamar. "Kak, ini sudah selesai. Saya izin foto dulu hasil make-upnya, ya. Masya Allah, manis banget Kakaknya." Akhirnya Zulfa mencoba memaksakan senyumannya. "Em, iya silahkan." Waktu terus berjalan. Akhirnya ucapan ijab qabul dan akad nikah berjalan dengan lancar. Zulfa pun berdiri, menanti kalau ia akan di jemput untuk di pertemukan dengan sang suami. Tetapi begitu pintu sudah terbuka, Zulfa terkejut. Seorang wanita yang sudah berusia pertengahan tahun datang menghampirinya. Wanita ini darah bule yang bernama Eloisa, Ibu kandung Marcello. "Oh God! You're beautiful. My son is very lucky to have a wife like you.." Kali ini Eloisa sengaja mengucapkan kata-kata bahasa Inggris. Ia yakin kalau ia menggunakan bahasa Italia, menantunya ini tidak akan mengerti. "I'm Eloisa. Your current mother in law.." Zulfa tercengang. Rupanya wanita yang bernama Eloisa ibu adalah Ibunya Marcello. Apakah semudah itu Marcello membuat orang tuanya kemari walaupun hanya memakan waktu 3 hari dengan pernikahannya yang dadakan? Zulfa masih terdiam dengan situasinya yang begitu dadakan ini. Sampai akhirnya ia kembali tersadar begitu Eloisa memeluknya. Akhirnya Zulfa tersenyum, jika Papi dan Maminya tidak mendatanginya. Paling tidak ada sosok mertua yang bisa membuat hatinya tenang. "I'm Zulfa. Nice to get to know you closer, Mrs Eloisa." "Now on I am also your mother and you are my daughter. Finally, I have a daughter! it feels so good." Benak Zulfa langsung menghangat begitu Eloisa benar-benar menerima dan menyayanginya walaupun baru pertama kali bertemu. Akhirnya, tidak ingin menunda waktu, Eloisa langsung menggandeng lengan Zulfa dan mengajaknya keluar. Perasaan senang yang tadinya sempat menghampiri mendadak langsung hilang. Sekarang hanya perasaan takut dan merasa bersalah yang Zulfa rasakan. Terutama kepada orang tuanya sendiri. Zulfa memilih menundukkan wajahnya. Beberapa orang yang melihat mungkin menganggap Zulfa sedang malu-malu. Tidak ada yang mengetahui perasaan sebenarnya kalau Zulfa sedang terluka sampai akhirnya dirinya pun duduk di sebelah Marcello. Marcello langsung merubah posisi menghadapnya untuk bersiap memasangkan cincin pernikahan mereka. Sekali lagi, Zulfa mencoba untuk tidak menangis karena keterpurukan hatinya. Ketika semua orang menatap menyaksikan momen itu, hanya Papi Zulfa yang memilih menatap ke lain. Guratan senyum yang pria paruh baya berikan kepada tamu undangan saat ini hanyalah sebuah senyum kepalsuan. Untuk kali kedua, Marcello memegang tangan Zulfa dalam keadaan wanita itu sadar. Tangan Zulfa terasa dingin. Marcello mencoba memahami itu dan akhirnya menyematkan cincin pernikahan itu di jari manisnya begitupun dengan Zulfa yang juga menyematkan cincin itu di jari Marcello dengan perasaan yang tertekan. Sekarang, keduanya sudah sah menjadi suami istri. Air mata yang tadinya Zulfa tahan akhirnya tumpah menetes di pipinya. Semua yang ada disana menatap haru, menganggap air mata Zulfa barusan adalah air mata bahagia seorang wanita yang akhirnya di sahkan oleh pria yang di cintainya. Salah satu Fotografer mengabadikan momen bahagia penuh kepalsuan ini. Hingga tanpa diduga, Marcello merangkul pinggul Zulfa tanpa ragu. "Aku tahu air matamu ini adalah air mata derita. Maaf sudah membuatmu hancur. Aku janji akan membuat rasa sakitmu akan hilang sering berjalannya waktu.. "bisik Marcello pelan. ***** Di kira mudah apa, ngembaliin semuanya setelah apa yang terjadi. Apakah Marcello bisa? Jgn lupa nantikan chapter 21 ya. Maaf telat update, lagi kena asam lambung. Makanya bawaannya lemes nyeri perut dan lagi gak konsisten nulisnya?? Makasih sudah baca. Seperti biasa, chapter 21 bisa kalian lihat melalui link story i********: aku. Jgn lupa follow ya lia_rezaa_vahlefii

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD